Melihat Suasana Pasar Terpencil di Pelosok Pacitan, Pedagang Menjerit Karena Sepi Pembeli
Walaupun sepi pengunjung, para pedagang pasar memilih bertahan tetap berjualan

Walaupun sepi pengunjung, para pedagang pasar memilih bertahan tetap berjualan

Melihat Suasana Pasar Terpencil di Pelosok Pacitan, Pedagang Menjerit Karena Sepi Pembeli
Desa Ploso merupakan salah satu desa di Kecamatan Tegalombo, Kabupaten Pacitan. Desa itu berada di wilayah perbukitan.
Pemandangan di desa tersebut begitu indah memanjakan mata dan suasananya begitu damai. Walaupun berada di daerah pelosok, namun di desa itu terdapat sebuah pasar.
Hari masih pagi saat kanal YouTube Jejak Richard mengunjungi pasar tradisional Ploso melalui video yang diunggah pada 25 Januari lalu. Hari itu langit mendung. Transaksi jual beli sudah terlihat walau suasananya tidak terlalu ramai.


Pada jam 7 pagi, suasana pasar masih sepi. Halaman pasarnya sebenarnya cukup luas. Namun banyak lapak yang kosong.
Pak Wuri, salah seorang pedagang ayam yang berjualan di pasar itu, mengatakan bahwa suasana pasar memang hampir selalu sepi.
“Makanya susah kalau jualan di sini. Sebenarnya sudah dikasih rezeki sama yang kuasa tapi nyarinya itu yang bingung,” curhat Pak Wuri dikutip dari kanal YouTube Jejak Richard.

Pak Wuri mengatakan, Pasar Ploso buka tiap hari pasaran Wage. Tapi walaupun hanya buka tiap lima hari sekali, suasana pasar masih tetap saja sepi.
Di tengah sepinya pengunjung, beberapa pedagang tetap memilih bertahan untuk berjualan di pasar itu.

Lokasi Pasar Ploso sebenarnya cukup strategis. Selain berada di persimpangan yang paling sering dilalui kendaraan, di dekat sana ada kantor desa dan juga sekolah.
Tak jauh dari Pasar Tradisional Ploso, ada lapak jualan milik Mbah Tukinem.
Di warungnya, Mbah Tukinem berjualan pecel, tape, dan dawet. Warung Mbah Tukinem sering disinggahi warga sekitar yang ingin jajan di tengah aktivitas mereka yang menguras tenaga.
“Namanya orang gunung mas jika masih bisa gerak ya bekerja. Kalau hanya diam saja ya nggak bisa ngasih makan anak,” kata seorang ibu-ibu pencari rumput yang saat itu singgah di warung Mbah Tukinem.
Harga menu makan dan minum Mbah Tukinem tergolong murah. Satu porsi tape harganya Rp1.000, sedangkan segelas dawet harganya Rp1.500.
“Seharunya harganya Rp2.000 soalnya harga gula lagi mahal,” kata ibu-ibu itu.
“Sebenarnya harga dawet Rp 1.000. Cuma sekarang lagi naik,” tanggap Mbah Tukinem.
Dawet Mbah Tukinem rasanya manis dan lembut. Tak heran banyak warga yang singgah ke warungnya untuk sekedar melepas dahaga. Bu Yami salah satunya. Ia baru saja pulang setelah berbelanja di Pasar Tradisional Ploso.

Walaupun sudah tua, Mbah Tukinem masih semangat bekerja. Selain berjualan dawet, dia juga masih bekerja ke ladang.
“Saya cuma jualan lima hari sekali. Kalau nggak jualan ya saya ke hutan. Saya sudah biasa ke hutan. Apalagi sekarang jagungnya sudah mulai panen,” kata Mbah Tukinem.