5 September 1949: Wafatnya Wolter Mongisidi, Pahlawan Pejuang Kemerdekaan RI
Pejuang kemerdekaan Indonesia dari cengkraman Belanda ini berasal dari Sulawesi.
Pejuang kemerdekaan Indonesia dari cengkraman Belanda ini berasal dari Sulawesi.
Wolter Mongisidi lahir di Malalayang (sekarang bagian dari Manado, Sulawesi Utara) dan merupakan putra keempat dari pasangan Petrus Mongisidi dan Lina Suawa.
Wolter memulai pendidikannya pada tahun 1931 di sekolah dasar Belanda (Hollands Inlandsche School atau HIS), kemudian melanjutkan ke sekolah menengah pertama Belanda (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau MULO) di Frater Don Bosco di Manado.
Wolter Mongisidi kemudian menempuh pendidikan sebagai guru bahasa Jepang di sebuah sekolah di Tomohon. Setelah menyelesaikan studinya, ia mengajar bahasa Jepang di Liwutung, wilayah Minahasa, dan di Luwuk, Sulawesi Tengah, sebelum melanjutkan perjalanan ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada saat Mongisidi berada di Makassar. Belanda berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA (Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda).
Mongisidi yang tidak menerima kedatangan Belanda, menjadi terlibat dalam perjuangan melawan NICA di Makassar. Pada tanggal 17 Juli 1946, Mongisidi bersama Ranggong Daeng Romo dan yang lainnya membentuk tentara perlawanan rakyat Indonesia di Sulawesi (Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi atau LAPRIS), yang terus-menerus mengganggu dan menyerang posisi Belanda.
Wolter ditangkap Belanda pada 28 Februari 1947, namun ia berhasil melarikan diri pada 27 Oktober 1947. Belanda kembali menangkapnya dan kali ini menjatuhkan hukuman mati. Mongisidi dieksekusi oleh regu tembak pada tanggal 5 September 1949.
Jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
Chris Soumokil, Menteri Kehakiman Indonesia Timur pada saat itu memberikan hukuman mati kepada Mongisidi dan menolak permintaan amnesti oleh rekan-rekan dan keluarganya. Soumokil kemudian akan menghadapi nasib yang sama seperti Mongisidi, dieksekusi oleh regu tembak pada 12 Maret 1966 mengutip stekom.ac.id.
Robert Wolter Mongisidi mendapat anugerah dari Pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November, 1973. Ia juga mendapatkan penghargaan tertinggi negara Indonesia, Bintang Mahaputera (Adipradana), pada 10 November 1973.
Ayahnya, Petrus, yang berusia 80 tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut. Bandara Wolter Mongisidi (kini Bandar Udara Haluoleo) di Kendari, Sulawesi Tenggara dinamakan sebagai penghargaan kepada Mongisidi, seperti kapal TNI Angkatan Laut, KRI Wolter Mongisidi dan Rumah Sakit TNI Angkatan Darat Robert Wolter Mongisidi di Manado.
Film ini berkisah tentang kehidupan Wolter Mongisidi, yang dilukiskan sebagai pemuda flamboyan, berani terkadang nekat, agak emosional.
Dalam film ini dikisahkan bahwa Wolter Mongisidi dan pasukannya selalu mengganggu Belanda, dan diburu-buru, sampai akhirnya tertangkap. Ayahnya meminta ia menandatangani permohonan grasi, padahal itu salah satu tipu muslihat Belanda. Ia mati dihukum tembak.
Setiap tanggal 3 September masyarakat Indonesia selalu memperingati Hari Palang Merah Indonesia.
Baca SelengkapnyaTahun 2023 ini, Gempa Besar Kanto memperingati 100 tahun kejadiannya. Berikut kisahnya.
Baca SelengkapnyaBagaimana kondisi langit di Jakarta di hari Peringatan Udara Bersih kali ini?
Baca SelengkapnyaPendaftaran CPNS dan PPPK telah dibuka 20 September 2023 hingga 9 Oktober.
Baca SelengkapnyaKPAI mengirim surat ke Heru Budi sejak Senin, 4 September 2023.
Baca SelengkapnyaIndonesia tengah memperingati peristiwa kelam Gerakan 30 September oleh PKI.
Baca SelengkapnyaSejarah organisasi polisi wanita di Indonesia beserta enam anggota pertamanya.
Baca SelengkapnyaSecara tahunan jumlah wisman yang datang ke Indonesia mengalami kenaikan 52,76 persen (yoy).
Baca SelengkapnyaAnies Rasyid Baswedan akan mengunjungi Sulawesi Selatan pada 23-24 September 2023.
Baca Selengkapnya