Sejarah Gedung Perundingan Linggarjati, Pernah Jadi 'Gubuk Janda' hingga Hotel
Sejarah Gedung Perundingan Linggarjati. ©2021 kemlu.go.id/editorial Merdeka.com
Merdeka.com - Kabupaten Kuningan Jawa Barat, merupakan salah satu wilayah yang memiliki ragam pariwisata uniknya. Salah satu yang menjadi andalan hingga saat ini adalah Gedung Perundingan atau Perjanjian Linggarjati, yang terletak di Dusun Cipaku, Kelurahan Linggajati, Kecamatan Cilimus.
Seperti diketahui, Gedung Linggarjati merupakan salah satu saksi sejarah mediasi Indonesia dengan Belanda yang di lakukan di tanggal 11-13 November 1947. Dilansir dari kemlu.go.id, dalam perundingan tersebut ditetapkan beberapa hasil seperti, Pengakuan Belanda secara De facto atas eksistensi Negara Republik Indonesia yang meliputi Sumatera, Jawa dan Madura.
Selain itu juga terkait perjanjian Republik Indonesia dan Belanda yang akan bekerja sama dalam membentuk negara Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia, Terakhir Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Sebagai medium perundingan, gedung yang dibangun di atas lahan seluas 1.052 m² konon dahulu merupakan gubuk seorang janda. Seperti apa kisahnya? Berikut informasi sejarah tentang Gedung Perundingan Linggarjati.
Bekas Gubug Seorang Janda

Gedung Perundingan Linggarjati saat sebelum direnovasi ©2021 Youtube Kanal Koela/editorial Merdeka.com
Dalam sejarahnya Gedung Perundingan Linggarjati pernah berkali-kali beralih fungsi. Menjadi gedung perundingan hingga museum seperti sekarang.
Agus Suparman, selaku staff pengelola gedung menerangkan jika mulanya bangunan tersebut merupakan gubug/rumah sederhana dari seorang janda. Ia pernah menikah dengan seorang pengusaha gula Belanda di Cirebon pada tahun 1918.
“Jadi dahulu gedung perjanjian ini merupakan gubug/rumah sederhana dari Ibu Jasitem, seorang janda yang dinikahi oleh pengusaha gula Belanda dari wilayah Cirebon, kemudian dibeli oleh pengusaha gula juga dari Pabrik Gula Sindang Laut bernama Mr Yakobus Yohanes Van Os dan direnovasi menjadi semi permanen tahun 1921” kata Suparman 30/01, seperti dilansir dari youtube Kanal Koela.
Dijadikan Hotel untuk Kalangan Belanda

©2021 cagarbudaya.kemdikbud.go.id/editorial Merdeka.com
Beberapa tahun kemudian bangunan yang juga disinggahi Van Os bersama keluarganya itu dijadikan sebuah hotel bernama Hotel Ruustord di tahun 1935. Kemudian diubah kembali menjadi Hotel Hokay Ryokan saat penjajahan Jepang tahun 1942. Terakhir menjadi Hotel Merdeka di tahun 1945.
Gedung tersebut juga sempat menjadi markas Belanda sekaligus hotel di masa kedatangan kembali Belanda ke Indonesia setelah kemerdekaan.
“Gedung ini memang sempat beralih menjadi banyak fungsi, salah satunya menjadi kediaman Van Os, kemudian menjadi Hotel Merdeka dan markas Belanda di tahun 1948 sampai 1950” terang Suparman
Setelah menjadi hotel, Gedung Perundingan Linggarjati juga disebut pernah menjadi Sekolah Rakyat (SR) dari tahun 1950 sampai 1975. Selama setahun kemudian, pada tahun 1975 sampai 1976 gedung tersebut tidak berpenghuni. Sejak saat itu hingga kini lokasi tersebut masih dijadikan sebagai cagar budaya yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan.
Digagas oleh Anak Mantan Bupati Kuningan Sekaligus Mensos Perempuan Pertama Indonesia

Hajjah Raden Ayu Maria Ulfah atau Maria Ulfah Santoso atau Maria Ulfah Soebadio Sastrosatomo ©2021 Wikipedia/editorial Merdeka.com
Suparman melanjutkan jika pelaksanaan perundingan di Kabupaten Kuningan tersebut mulanya digagas oleh Menteri Sosial Perempuan Pertama di Indonesia yakni Maria Ulfah Santoso. Ia juga merupakan anak mantan Bupati Kuningan dan Menteri Sosial Perempuan Pertama periode Kabinet Sjahrir II & III (12 Maret - 26 Juni 1946 sampai 2 Oktober 1946 - 2 Juni 1947).
Ada alasan unik terkait dipilihnya lokasi di Linggarjati Kuningan. Pertama karena lokasinya netral dan berada di tengah-tengah antara pusat pemerintahan di Yogyakarta dan di Jakarta. Kemudian Kabupaten Kuningan masih memiliki hawa yang asri dan tenang, sehingga dianggap kondusif untuk perundingan kemerdekaan dengan Belanda.
“Jadi Maria Ulfah Satoso ini penggagas perundingan di Kuningan, jadi karena antara Yogyakarta dan Jakarta terlalu jauh, jadi ambil yang di tengah tengah. Kemudian udara di sini masih sejuk, dan hotel di sini layak untuk dijadikan perundingan” terang Suparman.
[nrd]
Baca Selanjutnya: Bekas Gubug Seorang Janda...
Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami