Perlakuan Pasukan Elite Belanda dan Andjing NICA Bikin Pasukan Siliwangi Emosi

Kamis, 2 Februari 2023 06:09 Reporter : Merdeka
Perlakuan Pasukan Elite Belanda dan Andjing NICA Bikin Pasukan Siliwangi Emosi Perdana Menteri Mohammad Hatta menyalami salah satu prajurit Siliwangi yang baru sampai di Yogyakart. IPPHOS©2023 Merdeka.com

Merdeka.com - Sebagian besar anggota Divisi Siliwangi sejatinya tak menyetujui Perjanjian Renville yang menjadikan mereka harus terusir dari tanah tumpah darah sendiri. Namun demi loyalitas terhadap Republik Indonesia, keputusan yang sulit itu akhirnya diterima dengan lapang dada.

Penulis: Hendi Jo

Akhir Januari 1948, sejumlah perwira TNI disebar ke brigade-brigade Divisi Siliwangi yang berada di seluruh wilayah Jawa Barat. Tugas mereka menyampaikan hasil Perjanjian Renville.

Salah satunya kewajiban bagi seluruh anggota Divisi Siliwangi untuk hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Mayor Islam Salim mendapat tugas untuk menemui Letnan Kolonel A.E. Kawilarang, komandan Brigade II Suryakancana.

Ketika mendapat berita itu dari Islam Salim, Kawilarang marah sekali. Dia merasa keputusan itu sangat merugikan posisi pasukannya yang tengah di atas angin. Tentara Belanda di wilayah Sukabumi dan Cianjur sebenarnya sedang panik dan kocar-kacir saat itu.

"Bukan main bencinya saya. Seperti (mendengar) halilintar di siang hari bolong rasanya…" ungkap Kawilarang seperti dituliskan dalam otobiografinya yang disusun Ramadhan KH, Untuk Sang Merah Putih.

Kawilarang hanya salah satu dari unsur Divisi Siliwangi yang merasa kecewa dengan hasil Perjanjian Renville. Umumnya tak ada prajurit yang paham, mengapa pemerintah menyetujui kesepakatan yang kesannya sangat merugikan pihak Republik itu. Namun, sebagai seorang tentara yang harus patuh pada disiplin, para komandan di lapangan akhirnya menerima saja keputusan tersebut.

"Daripada kita capek mikirin politik pemerintah, ya sudah kita terima saja perintah itu, kita ini kan cuma bawahan…" ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, yang saat itu berposisi sebagai komandan Brigade IV Guntur I.

2 dari 3 halaman

Keluar Hutan

Sejak 1 Februari 1948, para prajurit Siliwangi secara bertahap mulai keluar dari hutan dan gunung. Di antara mereka ada juga yang mengikutsertakan seluruh anggota keluarganya.

Menurut buku Hijrah Siliwangi yang diterbitkan oleh Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, total jumlah peserta hijrah adalah sekira 30.000 orang.

Cirebon dipilih sebagai titik temu seluruh rombongan Divisi Siliwangi dari pelosok Jawa Barat. Dari kota udang tersebut, mereka berangkat ke wilayah Republik dengan menggunakan tiga cara. Diangkut dengan kapal laut menuju Rembang, menggunakan kereta api hingga Yogyakarta dan berjalan kaki hingga Wonosobo atau Gombong. Selanjutnya dari kedua kota itu, rombongan menggunakan kereta api dan truk menuju Yogyakarta dan sekitarnya.

Saat turun gunung itulah, pihak militer Belanda dikejutkan dengan performa prajurit-prajurit Siliwangi. Kendati berpakaian compang-compang dan sebagian berbaris tanpa mengenakan sepatu, mereka tetap menunjukan disiplin tinggi laiknya tentara profesional.

Termasuk saat seluruh prajurit harus menyerahkan senjata masing-masing guna diangkut secara terpisah, sesuai kesepakatan dengan pihak pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN).

"Berbeda dengan penggambaran yang kerap ditulis koran-koran Belanda bahwa TNI itu sejenis kumpulan perampok dan ekstrimis, mereka justru terlihat seperti pasukan yang sangat teratur dan memiliki disiplin…" ujar Piere Heyboer dalam De Politionele Acties.

3 dari 3 halaman

Provokasi Tentara Belanda

Hal yang paling menjengkelkan pihak Belanda, para prajurit Siliwangi itu ternyata dicintai oleh masyarakat Jawa Barat. Itu dibuktikan dengan sambutan antusias rakyat sepanjang rute hijrah. Ketika memasuki Cirebon saja (yang merupakan wilayah Belanda), penduduk sudah berderet sepanjang jalan seraya tak henti-hentinya memekikkan kata 'merdeka' begitu barisan prajurit Siliwangi melintas.

"Untuk menghentikan histeria rakyat, tentara Belanda yang mengawal para prajurit Siliwangi itu bahkan sampai harus menembakkan senjatanya ke udara," tulis Himawan Soetanto dalam Yogyakarta, 19 Desember 1948.

Sebaliknya, para pengawal dari pihak tentara Belanda terutama dari satuan KST (Korps Pasukan Khusus) dan Batalyon Infanteri V Andjing NICA (yang anggotanya terdiri dari orang-orang Indo Belanda dan bangsa Indonesia) kerap berperilaku provokatif.

Selain mengejek dengan sebutan 'rampokers', mereka pun kerap menyanyikan lagu-lagu berbahasa Belanda yang isinya menghina kaum gerilyawan. Banyak anggota Siliwangi yang paham bahasa Belanda merasa terhina dengan provokasi tersebut, namun demi disiplin mereka terpaksa menahan diri.

Tidak sampai di sana. Perlakuan buruk juga diterapkan oleh pihak militer Belanda selama anak-anak Siliwangi berada di dalam kereta api dan kapal laut. Menurut Maman Soemantri, salah satu veteran Siliwangi yang ikut hijrah, pemberian jatah makan dilakukan laiknya kepada binatang.

"Mereka menyajikan makanan buat kami dalam kaleng-kaleng bekas kornet dan sardencis yang kadang sudah berkarat," ujar eks prajurit Divisi Siliwangi dari Brigade Kian Santang tersebut.

Kapal Plancius yang disediakan untuk pengangkutan pun kondisinya sangat kotor. Sehingga menyebabkan banyak prajurit dan anggota keluarga mereka yang sakit. Perlakuan-perlakuan buruk itu tak jarang menimbulkan keributan kecil di antara para prajurit Siliwangi dengan prajurit Belanda.

Sepuluh hari kemudian, hampir seluruh kekuatan Divisi Siliwangi telah sampai ke wilayah Republik. Rombongan Letnan Kolonel A.E. Kawilarang yang diangkut Kapal Plancius tiba di pelabuhan Rembang dan disambut oleh Bupati Soekardi Mangoenkoesoemo.

Sedangkan rombongan yang dipimpin oleh Mayor A.Y. Mokoginta tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta, langsung disambut oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini