Galaunya Anak Muda Indonesia di Tengah Fenomena "Marriage is Scary" dan Tuntutan Sosial untuk Cepat Menikah
Menggaungnya fenomena "Marriage is Scary" membuat anak muda Indonesia serba salah karena juga tuntutan untuk cepat menikah.

Belakangan ini, istilah "Marriage is Scary" telah menjadi fenomena sosial yang menarik perhatian di kalangan masyarakat modern. Banyak yang merasa bahwa pernikahan kini menjadi sesuatu yang menakutkan untuk dijalani. Perubahan pandangan ini muncul dari pengalaman pribadi individu dalam melihat ikatan pernikahan.
"Karena memang zamannya udah berubah, perubahan sosial, sama pengalaman individunya mengalami perubahan, orang memandang perkawinan itu sesuatu yang kompleks," jelas Psikolog Klinis, Dian Ibung, S.Psi, dikutip dari Lifestyle Liputan6.com.
Dian mengungkapkan bahwa fenomena ini semakin terlihat akibat pengaruh media sosial dan pemberitaan yang intens. Dulu, orang cenderung lebih tertutup mengenai pernikahan, tetapi sekarang mereka lebih terbuka untuk berdiskusi. Selain itu, media sosial sering kali menampilkan gambaran hubungan yang sempurna, yang memunculkan berbagai pertanyaan baru tentang apa yang dianggap ideal dalam sebuah pernikahan.
Seiring dengan perubahan zaman, harapan pria terhadap wanita dan sebaliknya juga mengalami transformasi, berbeda dengan pernikahan tradisional yang dialami oleh generasi sebelumnya. Kini, pernikahan dianggap lebih rumit dengan berbagai tanggung jawab dan komitmen yang menyertainya.
"Perasaan takut, cemas, ragu akan pernikahan penyebabnya pernah punya pengalaman yang tidak menyenangkan dari pernikahan," tambah Dian. Banyak individu yang merasakan kekhawatiran dalam menjalani pernikahan berasal dari latar belakang keluarga broken home, pernah mengalami kegagalan dalam pernikahan atau hubungan pacaran, hingga menghadapi toxic relationship.
Namun, masalah ini juga bisa terjadi pada mereka yang memiliki sifat perfectionist dan overthinking. "Karena (mereka) akan memandang pernikahan ideal, karena nggak mungkin ada yang ideal manis terus menerus. Ketika si perfectionist ini tidak mendapatkan kesempurnaan dan si overthinking ini mengalami hal yang tidak menyenangkan, takutnya jadi berlebihan," jelas Dian yang juga seorang Master Grafologi.
Ekspektasi tentang Pernikahan

Penggambaran pernikahan ideal yang sering muncul di media sosial memberikan tekanan tersendiri bagi mereka yang belum menikah. Dian menjelaskan, "Pasangan di medsos flexing bulan madunya, jadi harapannya tinggi. Belum lagi masalah ekonomi, pertanyaan setelah menikah masih bisa kerja apa tidak, mencukupi atau tidak untuk membesarkan anak." Hal ini menunjukkan bahwa ekspektasi yang tinggi dapat menambah beban psikologis bagi individu yang belum berkomitmen dalam pernikahan.
Selain itu, bukan hanya pengalaman traumatis dari hubungan sebelumnya yang memengaruhi, tetapi juga perempuan yang memiliki pandangan feminis sering kali merasa tertekan untuk menjadi alpha woman. Mereka merasa harus mampu berperan sebagai wanita karier sekaligus istri, dan ini bisa menimbulkan kebingungan dalam konteks pernikahan. "Yang pikirannya modern dan merasa akan terjebak sendiri dengan pernikahan," cetus Dian, menyoroti dilema yang dihadapi banyak wanita saat ini.
Oleh karena itu, Dian menyarankan agar individu mengenali diri mereka sendiri dan memahami ketakutan yang sebenarnya terkait pernikahan. Ia mendorong untuk berbicara dengan orang yang tepat dan dapat dipercaya, baik itu anggota keluarga yang lebih tua maupun profesional seperti psikolog. "Ketika sudah tahu masalah di mana, harus dibenahi dan disiapkan, bisa dibantu apa tidak karena ada luka-luka lama, kalo masalah lain berpikir positif akan sangat mampu untuk mengatasi hal tersebut," sarannya menekankan pentingnya pemahaman diri sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.
Bagi mereka yang sudah memiliki pasangan dan merasakan kekhawatiran tentang pernikahan, Dian menganjurkan untuk melakukan komunikasi yang sehat. Hal ini melibatkan pembicaraan mengenai masa depan hubungan dan mencari solusi bersama. "Kurangi tekanan sosial di lingkungan medsos dan nyata. Jangan scroll yang negatif, tapi pelajari bagaimana nikah yang sehat," tandasnya, menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang mendukung dalam mempersiapkan pernikahan yang sukses.
Menghadapi Ketakutan tentang Pernikahan

Sementara itu, Mutiara Maharini, M.Psi, Psikolog Klinis di Personal Growth, menjelaskan bahwa fenomena "Marriage is Scarry" tidak semata-mata berasal dari sudut pandang negatif. "Namun, fenomena ini muncul karena meningkatnya kesadaran tentang kesehatan mental dan hubungan yang sehat, serta adanya perubahan cara pandang terhadap pernikahan," ungkapnya seperti dikutip dari Liputan6.com pada hari Jumat, 14 Februari 2025.
Menurutnya, generasi milenial dan Gen Z kini lebih memahami pentingnya kesehatan mental dan dapat mengenali apa yang membuat mereka bahagia atau tidak. "Saat terlibat dalam sebuah hubungan, mereka memiliki kesadaran yang lebih tinggi, sehingga ketika berada dalam hubungan tersebut, mereka lebih berani untuk take action," tambahnya.
Di sisi lain, Mutiara juga mencatat adanya perubahan sosial dalam masyarakat terkait pernikahan. Jika dahulu pernikahan seringkali didasarkan pada politik dan ekonomi, kini pernikahan dianggap sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan. "Berbeda dengan generasi sebelumnya, orang tua kita tidak memiliki banyak pilihan terkait pernikahan.
Sementara itu, generasi sekarang beranggapan bahwa menikah tidaklah wajib. Mereka lebih memilih untuk tidak menikah daripada terjebak dalam pernikahan yang serem atau berkomitmen seumur hidup tetapi tidak bahagia," imbuhnya. Mutiara menekankan bahwa pernikahan kini dipandang sebagai sesuatu yang berisiko dan penuh ketidakpastian, terutama karena ekspektasi terhadap pernikahan semakin tinggi.
Ia menyarankan agar individu merenungkan kembali ketakutan yang mereka miliki dan memprosesnya agar dapat menemukan hubungan yang sehat. "Penting untuk mencari tahu apa yang menjadi trigger dari ketakutan tersebut dan mencoba untuk memproses apakah itu bisa di-handle, dicegah, atau merupakan sesuatu yang berada di luar control," tuturnya.
Mutiara juga merekomendasikan bagi mereka yang merasa cemas tentang pernikahan untuk berkomunikasi dengan pasangan, mengikuti konseling pra-nikah, atau berkonsultasi dengan psikolog dan profesional lainnya untuk lebih memahami peran mereka dalam pernikahan. Dengan cara ini, individu dapat belajar mengatasi konflik dan memiliki harapan yang lebih realistis terhadap pernikahan.
Selain itu, penting juga untuk memiliki role model pernikahan yang sehat, meskipun tidak semua orang memiliki contoh tersebut. Bagi mereka yang berasal dari keluarga broken home, bisa mencari inspirasi dari hubungan harmonis yang dimiliki oleh paman, bibi, atau orang tua teman, sehingga mereka bisa mengatasi rasa khawatir tentang pernikahan.
Kekhawatiran tentang Pernikahan Ternyata Sudah Ada Sejak Lama

Kei Savourie, seorang Love Coach dari kelascinta.com, mengungkapkan bahwa fenomena "Marriage is Scary" merupakan sebuah counter culture yang muncul sebagai respons terhadap budaya pernikahan yang kuat di Indonesia.
Dalam wawancaranya dengan Liputan6.com pada Jumat, 14 Februari 2025, ia menyatakan, "Orang didorong nikah, budaya nikah kita kuat sekali, makanya di tengah budaya itu ada orang-orang yang tidak setuju dan akhirnya menyebar karena dari medsos." Ia menambahkan bahwa fenomena ini berfungsi sebagai tanda ketidaksetujuan terhadap budaya Indonesia yang sangat mendesak individu untuk menikah.
Kelompok yang mendukung pandangan "Marriage is Scary" merasa skeptis terhadap institusi pernikahan karena menyaksikan banyaknya kasus perceraian dan perselingkuhan. Pengalaman pribadi maupun pengalaman orang tua sering kali menjadi faktor yang mempengaruhi sikap mereka, dan hal ini kemudian dibagikan melalui media sosial.
Sebelum adanya platform seperti media sosial, masyarakat hanya bisa melihat gambaran pernikahan yang ideal, tanpa mengetahui realitas yang sering kali tersembunyi. Di sisi lain, orang tua kerap mendesak anak-anak mereka untuk segera menikah, padahal kenyataannya, banyak perjalanan pernikahan yang tidak seindah yang dibayangkan, bahkan ada yang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Orang jadi was-was, hati-hati masuk ke pernikahan karena takut apa yang indah di awal di kemudian hari jadi mimpi buruk," jelasnya. Ia juga menekankan bahwa pengalaman pribadi dan pengaruh media sosial sangat berperan dalam menciptakan ketakutan tersebut. Namun, jauh sebelum fenomena ini muncul, ketakutan akan pernikahan sebenarnya sudah ada.
"Dulu udah ada yang nggak setuju, jadi nggak mau buru-buru nikah, atau nggak mau mengulang nasib orangtuanya, jadi seolah terlihat meledak, padahal nggak juga sebenarnya, cuma lebih kelihatan karena sekarang ada medsos," tutupnya.
Mengubah Prespektif dengan Konsep Pernikahan yang Sehat
Kekhawatiran dalam menjalani pernikahan sebaiknya tidak dibiarkan berlarut-larut. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menciptakan lingkungan pernikahan yang positif dan sehat.
\"Minimal nonton konten sosmed yang bagus, baca-baca tips relationship yang sehat, jangan melihat konten KDRT, perselingkuhan yang justru bikin takut. Apa yang kita konsumsi akan memengaruhi pikiran dan perasaan, pilih-pilih konten yang dikonsumsi," saran Kei.
Menurutnya, meskipun pernikahan memiliki sisi menakutkan, hal itu sangat berharga jika dijalani dengan pasangan yang tepat agar dapat membangun hubungan yang baik setelah menikah.
Kei juga memberikan beberapa tips untuk menjaga keawetan hubungan pernikahan, salah satunya adalah dengan bersikap baik kepada pasangan. "Baik dari perkataan, perlakuan, meskipun lagi kesel karena semua seratus persen konflik itu karena cara ngomong yang nggak enak biasanya bikin berantem," jelasnya.
Dengan meminimalisir konflik yang disebabkan oleh komunikasi yang buruk, pasangan dapat menghindari pertengkaran yang tidak perlu. Oleh karena itu, penting bagi pasangan untuk dapat mengelola emosi masing-masing.
"Yang paling gampang dengan inget-inget kebaikan pasangan, kenapa dulu kita suka sama dia, dia yang udah bareng sama kita. Makanya penting nyiptain momen happy karena itu penting, kalo ada banyak momen happy pasangan pun akan teringan kebaikannya," tambah Kei. Dengan menciptakan lebih banyak momen bahagia, pasangan akan lebih mudah mengingat kebaikan satu sama lain, sehingga hubungan dapat terjaga dengan baik.