ESDM Jelaskan Sebab Beda Data Neraca Perdagangan Batubara Dengan KPK dan ICW
Merdeka.com - Direktur Penerimaan Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Johnson Pakpahan, berikan klarifikasi tentang perbedaan data neraca batubara. Di mana, data pemerintah berbeda dengan penelitian yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Johnson menyatakan perbedaan transaksi disebabkan ekspor Indonesia dicatat atas laporan perusahaan. Sedangkan, penjualan ke trader dicatat sebagai penjualan domestik.
"Jadi sekalian klarifikasi, ekspor kita dicatat dengan FOB atas laporan perusahaan di negara tujuan dicatat berdasarkan CIF (Cost, Freight, Insurance) sebagai penjualan domestik," ungkapnya dalam forum diskusi bertajuk "Lubang-Lubang Bisnis Batu Bara di Penerimaan Negara" di Jakarta, Kamis (28/2).
Johnson mengatakan, meskipun terlihat tidak sama, namun jika ditinjau dari sudut pandang dan cara menghitung yang lain, hasilnya tidak jauh berbeda.
Disamping itu, Johnson juga mengamini keberadaan peluang-peluang bagi mafia bisnis batu bara memang melimpah di segala titik. Ada yang memanfaatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), ada yang lahannya dimiliki beberapa usaha dan sebagainya.
Untuk meminimalisir kecurangan tersebut, pemerintah telah menetapkan beberapa strategi, seperti mengefektifkan ePNBP dan Minerba Online Monitoring System (MOMS).
"Seluruh penerimaan Minerba harus masuk ePNBP untuk menghitung kewajiban pajak. Sekarang, kewajiban calon pengusaha yaitu harus bayar dimuka dulu sebelum pengurusan kapal. Jika tidak, tidak akan dilayani," ujarnya.
ePNBP Mulai Diberlakukan 1 Maret 2019
ePNBP sendiri rencananya akan aktif besok, 1 Maret 2019. Mulai besok, seluruh usaha harus mengurus PNBP secara online. Jika tidak, ada sanksi yang akan menanti, mulai dari penghentian pelayanan hingga pemblokiran IUP oleh Ditjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM.
Johnson mengaku, penerimaan PNBP dari sektor minerba memang belum mencapai target meskipun telah menyentuh angka Rp 5,9 triliun. Faktor utamanya karena adanya usaha pertambangan ilegal yang enggan mengurus izin agar tidak membayar pajak.
"Perusahaan harus estimasi berapa pajak yang akan dibayar dari harga yang akan dijual, 1 bulan harus difinalisasi. Kualitas, jumlah batubara yang dikapalkan, kapalnya kapal apa, supaya nanti urusan lancar dan bisa kirim barang," tambahnya.
Reporter: Athika Rahma
Sumber: Liputan6
(mdk/bim)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kenaikan pajak BBM non subsidi sebesar 10 persen untuk kendaraan pribadi, dan 50 persen untuk kendaraan umum dari kendaraan pribadi meninggalkan tiga catatan.
Baca SelengkapnyaEmas ini ditemukan di bawah bak mandi yang sedang dibongkar.
Baca SelengkapnyaMenurutnya, dalam pengungkapan TPPU bukan sekedar perbuatan, tapi bagaimana mampu membongkar aliran.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Jokowi menegaskan, pembukaan akses tersebut yang perlu didorong pada UMKM. Sehingga menciptakan peluang-peluang pasar baru bagi produknya.
Baca SelengkapnyaPenduduk di Perbatasan Skouw RI-PNG ada suku dari berbagai daerah di Indonesia.
Baca SelengkapnyaHadapi lonjakan pemudik, Pelindo siapkan sarana dan prasarana di pelabuhan Ciwandan sebagai alternatif pelabuhan Merak, Banten.
Baca SelengkapnyaAnggota DPR RI dari Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno menyoroti penanganan perkara tersebut.
Baca SelengkapnyaAturan tentang pelaporan barang sudah dijalankan sejak tahun 2017 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 203.
Baca SelengkapnyaSebab dari seluruh rangkaian dan proses Pemilu hingga pembacaan hasil rekap nasional, tidak ada langkah gugatan ke PTUN.
Baca Selengkapnya