Miris, kekeringan di Alor bikin anak-anak tak mandi berbulan-bulan
Merdeka.com - Musim kemarau yang melanda sejumlah wilayah di Indonesia kian hari makin mengkhawatirkan. Salah satunya yang terjadi di wilayah Pantar, Kabupaten Alor, NTT.
Seorang pendaki gunung asal Jakarta, Reginald mengatakan, dua wilayah yang terdampak krisis air parah yaitu Desa Mauta dan Alikallang. Dia mengetahui dua desa itu terdampak krisis air saat melakukan pendakian ke gunung Sirung, awal September kemarin.
"Enggak ada airnya sama sekali. Mereka belum mandi berbulan-bulan," kata Reginald membuka pembicaraan kepada merdeka.com, Senin (28/9).
Reginald mengatakan, dua desa itu terletak di bawah kaki gunung Sirung. Dari penuturan warga sekitar, kata Reginald, pasokan air yang bisa di konsumsi cuma berasal dari sungai kering yang berjarak sekitar 5 kilometer dari dua kampung tersebut.
"Itupun mereka gali sumur sendiri di sungai kering itu dan cuma beberapa ember dapetnya. Butuh waktu 2 jam perjalanan untuk mengambil air. itupun sangat kurang dan keruh. Sehingga mereka harus menghemat minum air," ujar dia.
Menurut Reginald, saking keringnya sumber mata air di desa itu, banyak warga terutama anak-anak yang jarang mandi. Bahkan, saking parahnya dari wajah sampai kelopak mata anak-anak penuh dengan debu tanah yang menempel di bekas air mata.
"Tepian hidung dan bibir juga penuh dengan debu tanah. Rambut menjadi gimbal akibat debu tanah yang menempel di kulit kepala," kata dia.
Warga menuturkan, kekeringan seperti rutin dirasakan setiap tahun. Air melimpah dirasakan warga saat musim hujan tiba dangan mengumpulkan air hujan yang jatuh dari talang rumah dan dimasukan dalam drum.
"Itupun buat persedian kalau musim kering tiba. Jadi mereka mesti hemat air," kata Reginald menirukan ucapan warga.
Yang lebih miris, kata Reginald, akses menuju dua desa itu sebetulnya sangatlah mudah di jamah pemerintah. Menurutnya, dari Kupang hanya 25 menit penerbangan dengan Pesawat Transnusa, lalu dilanjutkan dengan 2 jam perjalanan laut dari pelabuhan Alor.
"Pemerintah bukan tidak bisa membantu mereka. Tapi tutup mata," ujarnya.
Selain masalah air, ujar Reginald, minimnya penerangan dan fasilitas pendidikan di dua desa itu sangat berbeda dibandingkan daerah lainnya. "Enggak ada listrik. Sekolah cuma ada satu tapi udah rusk atapnya. Padahal dibangunan itu tertulis sekolah dibangun Tahun 2006 atau 2009 gitu," pungkasnya.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Gerakan ini berawal dari sumber mata air yang dulunya asyik dipakai mandi atau sekadar bermain air, kini banyak yang kering
Baca SelengkapnyaBerikut penampakan rumah mewah Ibu Ani anak jenderal yang tinggal di rumah bak hutan terbengkalai.
Baca SelengkapnyaDi tengah-tengah masyarakat yang hidup berkecukupan, ada sebuah perkampungan dengan kondisi begitu miris.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Mereka sudah merasakan dampak kekeringan sejak Mei.
Baca SelengkapnyaSaat akan melintas di lokasi kejadian dan melihat beberapa orang berada di rel kereta api, masinis segera membunyikan suling lokomotif berulang-ulang agar orang
Baca SelengkapnyaSimak potret rumah masa kecil Fikoh LIDa sebelum terbakar!
Baca SelengkapnyaM, pelaku dan ibu korban merupakan pasangan baru. Mereka baru menjalin biduk rumah tangga sekira 5 bulan.
Baca SelengkapnyaBudi menilai petugas bekerja siang malam sampai kurang tidur demi memastikan keamanan dan kelancaran
Baca SelengkapnyaKejadian itu bertepatan dengan hujan disertai angin kencang yang melanda Blitar.
Baca Selengkapnya