China Miskin Ibu Kota
hidup miskin di tengah gemerlap ibu kota
Eng Sin (70), keturunan Tionghoa hidup sebatangkara dalam Gemerlap Metropolitan
China Miskin Ibu Kota
Pengemis Pekong, begitu Eng Sin biasa dipanggil teman-temannya. Sudah 30 tahun hidup miskin semenjak ditinggal istri dan anak-anaknya.
Dia kini hidup dari belas kasih orang-orang. Padahal dahulu, hidupnya tak sesulit ini.
Petaka hadir setelah rumah tangganya hancur.
Eng Sin Pernah Kaya
"Dulu saya hidup cukup dari usaha agen rokok dan distributor kue. Tapi setelah perceraian, hidup dan usaha saya mulai sepi dan terpaksa tutup," kenang Eng Sin saat ditemui di Wihara Dharma Bhakti.
-
Di mana desa miskin itu berada? Salah satu desa miskin berada di Desa Cipelem, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
-
Dimana nasi goreng miskin dijual? Sebuah warung di wilayah Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menjual menu nasi goreng yang unik.
-
Apa yang rusak di otak akibat kemiskinan? Para peneliti telah mengungkapkan hubungan antara tingkat pendapatan rumah tangga yang rendah dan percepatan kerusakan pada white matter di otak manusia.
-
Siapa yang terkena dampak kemiskinan pada otak? Dalam studi yang sudah dipublikasikan di JNeurosci, dilibatkan 751 individu berusia antara 50 dan 91 tahun, ditemukan bahwa mereka yang tinggal dalam kemiskinan menunjukkan lebih banyak tanda-tanda penuaan pada white matter otak mereka dalam pemindaian MRI, serta mendapat skor lebih rendah dalam tes kognitif dibandingkan dengan mereka yang tinggal di rumah tangga yang lebih makmur.
-
Kenapa petani di DIY miskin? Salah satu golongan masyarakat yang terdampak itu adalah para buruh tani. Mereka menjadi penyumbang angka penduduk miskin di DIY dengan angka pendapatan berkisar Rp600 ribu setiap bulannya.
-
Bagaimana cara membuat nasi goreng miskin? Nasi gorengnya pun tidak memakai toping apapun, selain telur yang tercampur bersama bawang merah, bawang putih dan cabai yang dirajang halus.
merdeka.com
Eng Sin tinggal bersama temannya di sebuah kamar indekos. Kondisi kamarnya 3x3 meter. Tidur hanya beralas tikar plastik dan atap bocor yang kerap menemaninya.
Eng Sin mengaku sudah bertahun-tahun mencari uang di Wihara Dharma Bakti. Hanya sekadar untuk mencukupi makan sehari-hari dan biaya indekos sebesar Rp250 ribu per bulan.
Eng Sin terpaksa menjalani hidup di tempat kumuh, lembab, sempit. Jauh dari kata layak.
Cuma satu harapan Eng Sin kini. Dia dapat berjumpa kembali dengan buah hati. Setidaknya sebelum dirinya dipanggil sang kuasa.
"Saya sudah pasrah, hanya bisa bertahan hidup dan menunggu meninggal doang." Pilu Eng Sin.
"Rumah, mobil, motor saya jual. Saya stres karena sudah tidak ada tujuan hidup lagi," ujar Eng Sin.
Meski hidupnya serba kekurangan. Eng Sin mengaku tak pernah minta-minta. Namun, dia tidak menolak apabila ada dermawan yang memberikannya sedikit rezeki untuk bertahan hidup di tengah himpitan ekonomi.