Menilik Jejak Academie de Marine yang Kini Jadi Toko Merah Jakarta, Dulu Jadi Akademi Paling Disiplin
Adapun keberadaan sekolah ini hanya mampu bertahan selama 13 tahun, terhitung sejak pertama dibuka pada 1742 hingga 1755.

Jauh sebelum STOVIA berdiri di Batavia, terdapat sebuah sekolah dengan standar pendidikan tinggi bernama Academie de Marine. Sesuai namanya, para lulusan akan bekerja pada sektor kelautan yang dikelola oleh pemerintah Belanda.
Sekolah ini diresmikan pada 1742, di lokasi yang kini menjadi bangunan tua Toko Merah wilayah Pinang Siang, Jalan Kali Besar Barat, Kelurahan Roa Malaka, Kecamatan Tambora, Kota Jakarta Barat.
Bisa dikatakan sekolah ini menerapkan disiplin paling ketat pada masanya, karena para siswa yang tidak mengerjakan tugas akan diasingkan di pulau terpencil sebagai sebuah hukuman.
Di sekolah ini juga rentan terkena rasisme, karena mengutamakan siswa yang beragama Protestan dan berasal dari golongan Eropa. Meski demikian, lulusan dari sekolah ini memiliki standar keilmuan tinggi hingga dipercaya menjalankan operasional kapal-kapal dagang milik kongsi dagang VOC.
Yuk kenalan dengan sekolah paling “menyeramkan” di Batavia berikut ini.
Kalangan Eropa Menjadi Priotas Siswa

Merujuk dinaskebudayaan.jakarta.go.id, sekolah ini sejak awal memang disiapkan oleh Gubernur Jenderal Belanda Gustaaf Willem baron van Imhoff untuk menyokong perdagangan VOC yang kala itu mulai menurun.
Para siswa kemudian diambil dari pekerja kapal-kapal VOC, lalu diberi pendidikan seputar kelautan dan manajemen kongsi dagang. Mereka yang bersekolah di sini harus berlatih disiplin yang tinggi, agar dapat menyerap materi pembelajaran dengan baik.
Pendidikan harus diselesaikan selama empat tahun, dengan jam belajar ketat sejak pagi hingga sore dan wajib menaati jam istirahat di asrama.
Syarat Masuk yang Ketat
Meski kebanyakan diambil dari para pekerja di kapal VOC, namun para siswa yang dipersiapkan menjadi kadet ini harus dipilih secara ketat.
Beberapa syarat utama agar lolos seleksi Academie de Marine Batavia ini adalah harus lahir dari perkawinan yang sah, memiliki pribadi yang berkelakuan baik, berumur 12 sampai 14 tahun, beragama Kristen Protestan, pernah menjalani pelayaran minimal 6 bulan dan mengenal beberapa istilah dalam dunia perkapalan.
Ketatnya sekolah ini membuat tindakan diskriminasi amat tinggi. Salah satu yang rentan adalah ketika terdapat kelas umum navigasi. Karena ada superioritas dari para kadet, maka siswa umum di kelas tersebut kerap direndahkan.
Jam Belajar Mulai Pukul 06:00 WIB
Merujuk Majalah Arkeologi Indonesia, kegiatan pembelajaran dimulai sejak pukul 06:00 WIB. Para siswa bangun pada pukul 05:00 WIB, kemudian bergegas mandi dan sarapan. Setelah itu, mereka mengikuti kebaktian pagi dan lanjut kelas pertama pukul 07:00 WIB.
Dari pagi hingga pukul 12:00 WIB, siswa mempelajari berbagai materi seperti bahasa Latin, bahasa Moor, manajemen navigasi, dan keterampilan menulis. Setelah sesi ini, mereka beristirahat dan makan siang dari pukul 12:00 hingga 13:00 WIB, dilanjutkan dengan persiapan untuk sesi pelajaran berikutnya.
Sejak pukul 13:00 hingga 17:00 WIB, para siswa belajar menggambar, seni membangun kapal, dan keterampilan juru mudi kapal. Khusus hari Rabu dan Sabtu, kurikulum diperluas dengan materi teologi, dansa, anggar, menunggang kuda, serta latihan menggunakan senjata.
Hukum Kurungan hingga Diasingkan di Pulau Terpenci
Ketatnya pendidikan berbanding lurus dengan hukuman yang diterima para siswa. Terkadang, ada patroli mendadak dari pihak sekolah untuk mengamankan siswa yang tidak disiplin istirahat. Jika kedapatan belum tidur dan membaca bacaan terlarang, petugas akan langsung mengurungya selama 4 hari.
Kemudian, kadet yang dihukum tersebut juga akan dibatasi makanannya dan hanya boleh menyantap nasi tanpa lauk pauk dengan porsi sedikit selama 4 hari. Kemudian hukuman juga akan dilengkapi dengan denda yang tidak sedikit.
Level tertinggi hukuman akan diberikan kepada mereka yang tidak mengerjakan tugas dengan baik. Biasanya, para kadet akan ditawan di pulau terpencil teluk Jakarta seperti pulau Onrust atau pulau Edam. Selama itu mereka tidak dapat makan, dan harus mencari sendiri dengan bekerja di galangan kapal setempat.
Selama menjalani hukuman, uang saku tidak bisa dicairkan dan menjadi hak milik akademi tersebut.
Hanya Bertahan 13 Tahun
Adapun keberadaan sekolah ini hanya mampu bertahan selama 13 tahun, terhitung sejak pertama dibuka pada 1742 hingga 1755. Alasan sekolah tersebut ditutup lantaran kekurangan siswa dan biaya operasional yang membengkak.
Sebelumnya, penanggung jawab akademi sudah mencoba untuk terus mempertahankan lembaga pendidikan kemaritiman tersebut. Namun, setelah Pauz Paulus yang saat itu menjadi direktur akademi sekaligus Kepala Pembuat peta Laut pemerintahan Belanda terlibat skandal uang, sekolah terus mengalami kerugian.
Agar tetap berdiri, sejumlah kebijakan diterapkan pemerintah Belanda seperti hukuman denda, pengaturan pajak hiburan (sabung ayam), pagelaran wayang Potehi sampai denda dari Pauz Paulus yang kedapatan menggelapan dana sekolah.
Sisa Kejayaan Bisa Dilihat di Ruang Kolonial Museum Nasional

Setelah sekolah ditutup, bangunan difungsikan sebagai Toko Merah. Beruntung, karena beberapa bekas kejayaannya masih bisa disaksikan masyarakat luas yang penasaran dengan keberadaan Academie de Marine.
Saat ini, barang-barang peninggalannya masih tersimpan apik di ruang kolonial museum tersebut. Beberapa barang di antaranya lubang ventilasi pintu, dengan ukiran gadis yang tengah memegang teleskop.