Cerita Prasasti Sanghyang Tapak di Sukabumi, Kutukan dari Raja Sunda Agar Tak Menangkap Ikan dan Mengganggu Sungai
Prasasti ini menarik perhatian karena menggunakan bahasa Jawa kuna. Tulisannya pun menggunakan aksara kawi berisi kutukan jika nekat memanfaatkan Sungai Cicatih
Di kawasan Sungai Cicatih, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, terdapat peninggalan prasasti bernama Sanghyang Tapak. Diperkirakan prasasti ini dibuat pada tahun 1030 masehi di masa pemerintahan Sri Jayabhupati.
Prasasti ini menarik perhatian karena menggunakan bahasa Jawa Kuna dan aksara Kawi. Isinya mencakup kutukan bagi siapa pun yang sengaja memanfaatkan sungai di batas tertentu. Pelanggaran terhadap peraturan ini diyakini akan mengakibatkan kondisi celaka bagi pelanggar.
-
Apa itu Tradisi Cikibung? Dahulu, tradisi Cikibung lazim dilakukan oleh ayah di Kabupaten Subang, Jawa Barat, untuk melindungi anaknya. Tradisi ini biasanya digelar di kawasan leuwi atau sejenis sungai yang cukup dalam pada sore hari. Warga setempat juga menyebutnya sebagai kasidah air, lantaran pemainnya yang merupakan ayah dan anak laki-laki menepuk-nepuk air hingga menghasilkan nada tertentu mirip kasidahan.
-
Dimana kejatuhan cicak dianggap membawa nasib buruk? Khususnya di beberapa budaya Asia Tenggara, kejatuhan cicak di kaki dianggap sebagai pertanda buruk yang dapat berhubungan dengan kerugian finansial, masalah kesehatan, atau kegagalan dalam rencana hidup.
-
Apa makna Tari Rayak-rayak Sukabumi? Disebutkan bahwa tari Rayak-rayak Sukabumian ini merupakan penggambaran dari rasa syukur oleh kaum muda di sana. Ini terlihat dari gerakannya yang banyak menyibakkan tangan sebagai tanda bentuk sorak sorak bergembira. Ini diartikan sebagai bentuk rasa syukur yang dihadirkan melalui ekspresi tarian suka cita.
-
Dimana mitos cicak jatuh berkembang? Dalam primbon Jawa, kejatuhan cicak di tangan kiri juga diartikan sebagai pertanda bahwa seseorang akan mendapatkan perlindungan dari bahaya atau masalah.
-
Kenapa Tradisi Cikibung dilakukan? Tradisi Cikibung mulanya dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak-anaknya yang tengah belajar mengembala kambing. Agar berani menyeberangi sungai besar, sang ayah akan mendampingi anak-anaknya untuk pelan-pelan melintasi sungai. Di sana sang ayah mulai menepuk-nepuk air di depan anak-anaknya, sekaligus untuk melindungi mereka.
-
Dimana Tradisi Cikibung dilakukan? Tradisi ini biasanya digelar di kawasan leuwi atau sejenis sungai yang cukup dalam pada sore hari.
Kemudian, prasasti juga menjunjung tinggi sosok Sri Jayabhupati yang memiliki gelar panjang. Raja ini pun dianggap bijaksana dan memiliki kekuatan yang cukup untuk memimpin sebuah negara bernama Kerajaan Galuh.
Dari hasil analalis, ada banyak kejanggalan dari prasasti yang juga disebut batu Cibadak ini. Sebab, bahasa yang digunakan bukanlah Sunda, melainkan Jawa Kuno. Lantas bagaimana fakta yang sebenarnya? Berikut informasi selengkapnya.
Jadi Bukti Pengaruh Hindu-Buddha di Jawa Barat
Sejak awal berdiri di tahun 700 an masehi, Kerajaan Galuh sudah menganut kepercayaan Hindu dan sebagian kecil Buddha oleh masyarakatnya. Ini dibuktikan dari adanya wejangan raja, yang melarang aktivitas eksploitasi sungai di batas-batas tertentu.
Dalam laman Wikipedia, kerajaan ini juga merupakan pecahan dari Tarumanegara yang memang sudah memiliki akar ajaran Hindu kuat.
Disebutkan bahwa ada empat pecahan prasasti di mana salah satunya ditemukan di sekitar Sungai Cicatih, dengan struktur batu tanah berpasir bertuliskan huruf kawi.
Menuliskan Bahwa Sri Jayabhupati Merupakan Raja Sunda
Merujuk Kemdikbud, prasasti ini menyebut berulangkali bahwa Sri Jayabhupati merupakan raja Sunda yang terhormat. Ia merupakan kekuatan dari negara Galuh, sehingga kuat dan tidak bisa dikalahkan oleh musuh.
Kemudian, prasasti juga menuliskan gelarnya di namanya yang amat panjang yakni Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa.
Kekuatannya tak diragukan, dan itu juga yang membuat dirinya mampu mengemban takhta kerajaan Galuh selama 12 tahun kepemimpinan.
Berisi Larangan untuk Tidak Menangkap Ikan dan Mengganggu Sungai
Dalam jurnal Prodi Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana berjudul: Peradaban Hindu-Buddha Di Kabupaten Sukabumi Berdasarkan Rekaman Arkeologi, disebutkan bahwa kutukan tersebut meminta masyarakat mematuhi perintah Sri Jayabhupati agar tidak mengganggu sungai.
Warga diminta untuk tidak menangkap ikan di sepanjang aliran Sungai Cicatih di area batas kabuyutan Sang Hyang Tapak hulu sampai batas kabuyutan Sang Hyang Tapak hilir.
Batasannya adalah melalui dua buah penanda batu bernama batu karut. Jika dilanggar, warga akan mendapatkan sanksi yang mengerikan dari sosok tak kasat mata hingga nyawa menjadi taruhannya.
Kutukan Masih Berlaku Sampai Sekarang
Disebutkan bahwa kutukannya amat mengerikan, yakni kepalanya akan terbelah, kemudian darahnya akan terminum, ususnya terpotong, dadanya teriris dan otanya dimakan hingga habis.
Sakralnya sumpah ini konon karena disaksikan oleh para dewa, sehingga kejadian tak diinginkan tersebut bisa sangat mungkin terjadi. Dewa menjadi sosok yang paling sakral, karena dianggap Tuhan oleh warga di kala itu.
Bahkan sampai sekarang, sumpah itu masih dipercaya oleh masyarakat sekitar dan akibatnya banyak yang tak berani untuk mandi atau mengambil ikan di antara batu besar yang dinamakan karut dan dipercaya sebagai batas-batas yang disebutkan Sri Jayabhupati.
Batu Cicatih Tersimpan di Museum Nasional
Keempat batu prasasti ini kini disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta. Keempatnya telah diberi kode D 73 (Cicatih), D 96, D 97, dan D 98 dengan masing-masing informasi asal usulnya.
Keempat diketahui ditemukan secara terpisah, tersebut ditemukan. Tiga di antaranya ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sementara sebuah lainnya ditemukan di Kampung Pangcalikan.
Karena penemuannya yang dekat dengan Sungai Cicatih, maka prasasti ini turut dinamakan Prasasti Cicatih atau Prasasti Cibadak yang merujuk ke sebuah nama kecamatan.