Merasa Kebal Peluru, Perang Bawa Golok Lebih Berani Daripada Bawa Senjata Api

Jumat, 31 Maret 2023 06:05 Reporter : Ramadhian Fadillah
Merasa Kebal Peluru, Perang Bawa Golok Lebih Berani Daripada Bawa Senjata Api Bambu runcing. ©2012 Merdeka.com

Merdeka.com - Tentara Keamanan Rakyat (TKR) adalah cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Lahir saat negara ini baru merdeka dan masih serba kekurangan.

Pemerintah Republik Indonesia tidak mampu menyediakan dana untuk membeli senjata. Para pimpinan TKR dan anggotanya harus mencari sendiri perlengkapan dan persenjataannya sendiri.

Apakah merampas dari Jepang dan tentara asing lainnya. Atau merebutnya dalam pertempuran. Atau lewat negosiasi bahkan paksaan.

"Pokoknya semua usaha dianggap halal," tulis Mayjen (Purn) RHA Saleh menggambarkan kondisi di awal pembentukan TKR. Hal itu ditulis dalam buku Mari Bung Rebut Kembali yang diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.

2 dari 5 halaman

Lomba Mencari Senjata

Karena kurangnya senjata, maka untuk mendapatkan senjata api jadi semacam perlombaan. Anggota TKR yang bisa mendapatkan senjata dianggap hebat.

Uniknya, karena senjata itu didapat secara perseorangan, maka senjata itu menjadi milik pribadi anggota yang bersangkutan. Jika orangnya pindah kesatuan, maka senjata itu pun dibawa.

TKR saat itu tak punya senjata standar. Aneka senjata dari berbagai negara semuanya terpaksa digunakan. Mulai peninggalan Belanda, Jepang, Inggris, hingga senapan asal Italia. Terdapat juga aneka senjata rakitan dengan berbagai bentuk.

Masalah lain adalah soal amunisi. Karena kekurangan peluru, senjata-senjata itu kebanyakan menggunakan peluru tidak sesuai kalibernya.

"Peluru itu harus dikikir atau dibubut dulu agar bisa masuk dalam lubang larasnya. Sebab kalau tidak peluru akan macet, atau senjata rusak," tulis RHA Saleh.

3 dari 5 halaman

Kebal Peluru

Tak cuma senjata api, para pemuda dan anggota laskar juga menggunakan senjata tajam. Mulai pisau, keris, golok, pedang dan aneka tombak dan bambu runcing.

Para pemuda yang bersenjata tajam ini seringkali lebih berani dari para pejuang yang menggunakan senjata api.

Di awal perang kemerdekaan, seringkali mereka nekat menyerang tentara musuh yang berlindung di dalam tangsi atau kendaraan lapis baja. Apa penyebabnya?

Saat itu para pejuang sering meminta restu atau jimat dari ahli kebatinan atau tokoh agama. Para pejuang yang yakin dengan tokoh tersebut merasa akan kebal peluru saat nanti bertempur melawan musuh. Ini yang membuat mereka berani. Di medan pertempuran, keyakinan akan kebal peluru sulit dibuktikan.

Kenekatan di lapangan juga dipicu oleh ketidaktahuan massa tentang akibat yang ditimbulkan oleh senjata api. Umumnya para pejuang atau laskar tidak pernah mendapat pendidikan militer seperti anggota TKR yang berasal dari PETA, Heiho atau KNIL.

Faktor lain mereka yakin pada kharisma atau kesaktian pemimpinnya. Di era perjuangan banyak komandan pasukan dipercaya anak buahnya kebal peluru.

"Memang terdapat banyak hal unik ketika revolusi perang mempertahankan kemerdekaan," kata pensiunan mayor jenderal ini.

4 dari 5 halaman

Kiai Sakti

Ada pula cerita dari Bandung. Ketika demam revolusi tengah berkecamuk di wilayah Bandung dan sekitarnya, ribuan pemuda 'meminta berkah' kepada para kiai. Mereka melakukan itu selain untuk memastikan perjuangan mereka sah secara spiritual juga ingin meminta para kiai menurunkan kesaktiannya guna bekal melawan musuh.

Salah satu 'kiai sakti' itu adalah Abdulhamid yang berasal dari Ciamis. Disebutkan jika kiai Abdulhamid memiliki sebuah 'sumur keramat'. Sumur itulah yang kemudian menghasilkan air anti kebal terhadap senjata tajam dan peluru.

"Konon setiap hari dia bisa menerima pasien hingga jumlah ratusan orang," ungkap Odoy Soedarja, veteran pejuang Bandung.

Sejarawan John R.W. Smail mengisahkan tentang 'kiai sakti' itu dalam bukunya, Bandung in the Early Revolution 1945-1946. Menurut Smail, begitu besarnya reputasi sang kiai hingga banyak pemuda (sebagian dari kalangan terpelajar) dan orang dewasa rela menempuh jarak 250 mil perjalanan pulang-pergi dengan kereta api hanya untuk menemuinya.

"Dia memiliki kebiasaan memandikan para pasien-nya dengan air dari sumurnya itu dengan tujuan membuat mereka kebal (senjata tajam dan peluru)," ungkap Smail.

Namun pada 1947, tuah doa kiai Abdulhamid ternyata tak berlaku dalam suatu bentrok santri dan rakyat dengan tentara Belanda di Cijawura (masuk dalam wilayah Buah Batu, Bandung).

5 dari 5 halaman

Ternyata 'Tak Kebal' Peluru

Kiai Abdulhamid dan pimpinan Pesantren Cipaku Haji Adjid berpidato di hadapan para santri. Isi pidato mereka berdua adalah ajakan kepada para santri dan penduduk Cipaku untuk kembali merebut Bandung yang sudah dikuasai oleh Belanda.

Pidato yang menggebu-gebu itu disambut secara histeris oleh ribuan santri dan penduduk yang mengikuti pengajian tersebut. Guna memompa keberanian dan kepercayaan diri massa, kiai Abdulhamid menyatakan bahwa dia akan membuat mereka tidak mempan peluru.

Musuh cukup diserang hanya dengan beberapa pucuk bedil, bambu hitam runcing, golok, tombak, keris, katapel dan panah. Dalam kesempatan itu, kiai Abdulhamid kembali menyombongkan Pasukan Tawon-nya.

Keesokan paginya, orang-orang yang berkumpul di Babakan Termas kemudian dimandikan secara massif di sebuah kolam besar yang terletak di depan Pesantren Cipaku. Hal itu dilakukan supaya mereka tak bisa disentuh oleh peluru serdadu Belanda. Selesai shalat subuh, bergeraklah massa menuju markas tentara Belanda di Cijawura.

Menjelang Cijawura, tiba-tiba mereka dihujani mitrailur tentara Belanda. Tak ayal sebagian massa pun bertumbangan. Darah memuncrat di sana-sini diselingi teriakan kesakitan yang menyayat hati. Dalam kondisi seperti itu, sekonyong-konyong muncul sebuah pesawat pemburu yang langsung menembaki massa dengan senjata otomatis 12,7. Korban tewas pun semakin banyak.

"Ditaksir yang gugur berjumlah sekitar 250 orang. Rata-rata yang dilanda peluru adalah bagian dada dan pinggang mereka," ungkap Daud.

Kiai Abdulhamid dan Haji Adjid sendiri selamat dalam kejadian itu. Alih-alih mendoakan orang-orang yang telah gugur, dia malah menyalahkan mereka telah bercampur baur dengan orang-orang yang kotor sehingga ilmu yang dia terapkan menjadi tawar dan tak ampuh. Rakyat tak menerima kata-kata sang kiai itu. Mereka lantas mengejarnya ke Ciamis untuk diminta pertanggungjawaban.

Kiai Abdulhamdi bersikeras tak menarik ucapannya hingga membuat massa berang dan membantainya dengan golok. Tubuh sang kiai lantas dicincang oleh massa rakyat. Sembari melakukan aksi sadis itu, mereka berteriak bahwa sudah seharusnya kaki-tangan Belanda diperlakukan demikian.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini