Kisah Jugun Ianfu: Dari Gunakan Nama Identik Jepang Hingga Penderitaan Tiada Akhir

Kamis, 27 Oktober 2022 06:08 Reporter : Merdeka
Kisah Jugun Ianfu: Dari Gunakan Nama Identik Jepang Hingga Penderitaan Tiada Akhir Potret Mardiyem Salah Satu Perempuan Angkatan Pertama yang Menjadi Jugun Ianfu. ©2022 Istimewa

Merdeka.com - Masa Pendudukan Jepang di Indonesia seringkali dianggap sebagai masa paling kelam dalam catatan sejarah. Setelah Indonesia memasuki masa Politik Etis, Indonesia harus berhadapan lagi dengan bangsa penjajah yang begitu eksploitatif.

Pada masa ini, pemerintah militer Jepang mengerahkan para tenaga kerja secara paksa (romusha) yang terdiri atas laki-laki dan perempuan. Para laki-laki biasa dipekerjakan sebagai barisan militer. Sementara nasib lebih buruk dialami kaum perempuan. Mereka dijadikan pemuas nafsu para tentara Jepang. Mereka disebut Jugun Ianfu.

Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI dijelaskan, Jugun Ianfu adalah para perempuan pribumi yang dijadikan sebagai tenaga kerja pemuas nafsu bagi para lelaki Jepang. Baik militer ataupun sipil.

Sama seperti romusha pada umumnya, perekrutan tenaga kerja Jugun Ianfu dilakukan dari desa dengan cara dipaksa melalui kekerasan, maupun tipu muslihat. Perekrutan Jugun Ianfu dilakukan secara diam-diam dan cenderung tertutup alias operasi senyap.

2 dari 4 halaman

Lurah dan Camat Rekrut Jugun Ianfu

Pemerintah Militer Jepang biasa memanfaatkan pejabat daerah seperti lurah dan camat. Mereka yang memaksa para perempuan muda untuk menjadi Jugun Ianfu. Bahkan mereka mendekati keluarga yang telah diincar terlebih dahulu.

Misalnya saja dalam catatan Eka Hindra dalam karyanya yang bertajuk "Jugun Ianfu, Kejahatan Perang Asia Pasifik yang Belum Terselesaikan" disebutkan bahwa salah satu anak Lurah di Yogyakarta yang bernama Suharti disekolahkan di Balikpapan, Kalimantan Timur. Setelah lulus dijanjikan dipekerjakan di kantor. Nasibnya berakhir nahas. Remaja berusia 15 tahun itu ternyata dijadikan Jugun Ianfu selama enam bulan di Kalimantan Timur.

Kaum perempuan yang dijadikan sebagai tenaga kerja Jugun Ianfu adalah mereka yang berpendidikan rendah. Bahkan tidak berpendidikan sama sekali alias buta huruf. Selain itu, mereka biasanya dalam kondisi kesulitan ekonomi. Kebodohan, tanpa keahlian, serta kemiskinan membuat para perempuan ini terjebak sebagai pekerja seks.

potret mardiyem salah satu perempuan angkatan pertama yang menjadi jugun ianfu

3 dari 4 halaman

Diberi Nama Identik Jepang

Hal senada diungkapkan oleh mantan Jugun Ianfu yang berasal dari Yogyakarta bernama Lasiyem yang disampaikan oleh A. Budi Hartono dan Dadang Juliantoro dalam karyanya yang berjudul Derita Paksa Perempuan: Kisah Jugun Ianfu Pada Masa Pendudukan Jepang 1942–1945.

"...yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana bisa kerja. Saya ingin membelikan makanan untuk anak saya..karena itu ketika ada tawaran kerja saya langsung sanggup...saya tidak bilang dengan suami saya."

Selain itu, rekrutmen Jugun Ianfu juga dilakukan melalui jalur hiburan. Ini diamali langsung seniman asal Yogyakarta, Mardiyem. Dikisahkan salah seorang pemain sandiwara keliling dari grup 'Pantja Soerja' telah menjadikan Mardiyem sebagai penyanyi dan sekaligus tenaga Jugun Ianfu.

Mardiyem merupakan satu dari 24 orang perempuan angkatan pertama yang dikerahkan sebagai tenaga Jugun Ianfu dan ditempatkan di sebuah lanjo (rumah bordil ala Jepang) di daerah Telawang di pinggiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Para perempuan yang menjadi pekerja seks (Jugun Ianfu) di Kalimantan biasa diganti nama aslinya dengan nama-nama Jepang. Misalnya Waginem menjadi Sakura, Suharti menjadi Masako, Nur menjadi Noburu, dan Jatinem menjadi Haruye. Para tenaga kerja ini biasa tinggal di Lanjo dengan kehidupan yang tersiksa. Tak jarang beberapa dari mereka juga harus menemui ajalnya.

4 dari 4 halaman

Penderitaan Jugun Ianfu: Kehidupan di Lanjo

Sebelum menjalani tugas sebagai Jugun Ianfu, para perempuan ini melalui tahap pemeriksaan kesehatan yang tidak pantas terhadap fisik dan alat kemaluan mereka. Mereka tidak memiliki kuasa untuk bertanya ataupun menolak, ketika alat kelamin diperiksa dengan alat yang disebut sebagai cocor bebek. Pemeriksaan ini untuk mengetahui apakah calon Jugun Ianfu bebas dari penyakit.

Di lanjo mereka mengalami pemerkosaan. Hubungan seks yang dilakukan secara paksa. Seperti dialami Mardiyem. Pada saat pertama kali menjadi Jugun Ianfu usianya baru menginjak 13 tahun dan belum mengalami haid. Pada hari pertama Mardiyem harus melayani 6 laki-laki. Padahal dia sudah mengalami pendarahan.

Ketika kehormatannya mulai hilang, Mardiyem mulai berpikir untuk bunuh diri. Tetapi dia teringat nasihat almarhum ayahnya yang menyuruhnya untuk tetap tabah.

Mardiyem dipaksa untuk menggugurkan kandungannya. Penyiksaan yang dialaminya sebagai Jugun Ianfu mengakibatkannya mengalami cacat fisik dan psikis.

Para Jugun Ianfu hanya pasrah dalam menjalani kehidupan. Seolah tak ada pilihan lain. Mereka tidak dapat melarikan diri karena perjalanan jauh. Mereka juga buta akan peta apalagi uang untuk bepergian.

Kebanyakan dari mereka dijanjikan untuk diberi upah. Tetapi tidak pernah ditepati oleh pengelola lanjo. Alih-alih mendapatkan uang bayaran sejumlah 2,5 rupiah untuk kalangan militer dan 3,5 rupiah untuk kalangan sipil, mereka hanya memegang karcis dari para pengunjung tersebut.

Reporter Magang: Muhammad Rigan Agus Setiawan

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini