Kesaksian Pembantaian Mengerikan oleh Anak Buah Westerling, Mayat Dibuang ke Jurang

Kamis, 16 Maret 2023 06:05 Reporter : Merdeka
Kesaksian Pembantaian Mengerikan oleh Anak Buah Westerling, Mayat Dibuang ke Jurang Lokasi tempat pembantaian di Puncak Bungah. ©2023 Hendi Jo

Merdeka.com - Bagaimana militer Belanda menghabisi orang-orang yang dicurigai pro republik di sebuah wilayah terpencil, perbatasan antara Sukabumi-Cianjur.

Penulis: Hendi Jo

Pada era 1930-an, Takokak merupakan wilayah yang tak terjamah keramaian. Begitu terpencilnya kawasan perkebunan teh tersebut, sampai para pelaku kriminal di Bogor, Sukabumi dan Cianjur menjadikannya sebagai tempat persembunyian. Demikian menurut V.R. Najoan, peneliti sejarah dari Historika Indonesia.

"Koran-koran zaman itu menyebut Takokak sebagai gudang para penyamun, tempat berlindungnya kaum rampokers," ungkap Najoan.

Bisa jadi karena keterpencilan itu, menyebabkan militer Belanda menjadikan Takokak sebagai pusat eksekusi mati orang-orang yang dianggap pro republik. Terlebih menurut Atjep Abidin (kelahiran 1925) para terhukum mati itu sebagian besar bukan berasal dari wilayah tersebut.

2 dari 4 halaman

Mayat Dilempar ke Jurang

Pendapat Atjep dikuatkan Andin Soebandi (kelahiran 1938). Ketika berusia sepuluh tahun, dia kerap melihat truk-truk tawanan dari Nyalindung dan Sukabumi bergerak menuju Takokak. Sebelum dieksekusi biasanya mereka disinggahkan dulu di pabrik teh Afdeling Bunga Melur atau dikumpulkan di kantor desa.

"Saya saat itu sebagai pedagang buras (sejenis lontong) sering melihat, bagian belakang truk itu dipenuhi manusia, ya sekitar puluhanlah," ujar mantan lurah di Takokak itu.

Belakangan Andin tahu. Orang-orang malang itu dibawa ke Padakati. Sebuah kampung yang berbatasan dengan hutan. Setelah diturunkan, mereka kemudian digiring dan dipaksa jalan sejauh 3 km jauh ke dalam hutan.

Di sebuah tanah datar bernama Puncak Bungah, mereka kemudian dieksekusi secara bersamaan. Mayat mereka kemudian dilempar ke jurang.

"Kami tahu mereka didereded (dibantai dengan siraman peluru) karena suara tembakan senjata tentara Belanda itu terdengar hingga kampung terdekat dari Puncak Bungah," kenang Andin.

3 dari 4 halaman

Mungkin sudah nasib saya harus mati di sini

Puncak Bungah bukanlah satu-satunya tempat horor di Takokak. Ada beberapa tempat lain yang dijadikan ladang pembantaian kaum republiken. Sebut saja Ciwangi (tempat Yusup dan kawan-kawan menemukan lima jasad), Pal I Cienggang, Jalan Lima, Gamblok, Cikawung dan Pasirtulang. Bahkan di tempat terakhir, diperkirakan jumlah kaum republiken yang dieksekusi paling banyak dibanding tempat-tempat lainnya di Takokak.

"Dari tulang-tulang kerangka manusia yang dulu kami temukan di Pasirtulang, jumlahnya diperkirakan sampai puluhan," ujar Ukun (73), salah seorang mantan Ketua Rukun Warga di Kecamatan Takokak.

Adakah identitas jelas dari orang-orang yang dibantai oleh militer Belanda di Takokak itu? Hingga saya membuat tulisan ini, belum ada kejelasan soal itu. Tapi bahwa mereka itu kaum republik yang terlibat aktif dalam perlawanan, belum tentu juga.

"Memang bisa jadi yang ditembak itu adalah kaum republiken beneran, tapi tak sedikit pula dari mereka merupakan korban fitnah semata," ujar Yusup Soepardi, eks anggota Divisi Siliwangi yang pernah bertugas di Sukabumi dan Cianjur.

Dalam sebuah penelusuran yang dilakukannya, Yusuf pernah mendapat keterangan dari seorang sesepuh bernama Haji Saleh. Menurutnya, dia sempat melihat puluhan orang luar Takokak dikumpulkan di depan rumah Syafei, camat Nyalindung pro Belanda. Mereka dijaga oleh sekelompok upas (penjaga keamanan sipil) pimpinan jagoan bernama Ateng.

Ditegaskan oleh Yusup, Haji Saleh bahkan pernah berbicara dengan salah satu tahanan yang mengaku sebagai seorang amil (penghulu) di Sagaranten. Saat ditanya apa musabab dia sampai ada di Takokak, dalam wajah sedih, sang amil menyatakan ketidakpahamannya.

"Ya mungkin sudah nasib saya harus mati di sini," jawabnya.

Besoknya sang amil dan puluhan orang lainnya itu memang benar-benar tewas diberondong peluru Belanda di kawasan Ciwangi.

4 dari 4 halaman

Tak Tahu Nasib Ayah

Achmad Khumaedi (kelahiran 1938), salah satu tokoh ulama di Takokak, mengaku ayahnya juga menjadi salah satu korban kebiadaban militer Belanda.

Ceritanya pada suatu hari di akhir tahun 1947, sekelompok prajurit Belanda dari unit DST (Depot Pasukan Khusus) muncul di Kalibunder, desa yang terletak di Sagaranten.

Rupanya serdadu-serdadu berbaret hijau itu tengah memburu gerilyawan Republik yang beberapa jam sebelumnya telah melakukan penghadangan terhadap konvoi mereka.

Tak menemukan orang-orang yang diburunya, para serdadu itu lantas menangkapi rakyat sipil. Salah satunya adalah Sahi, ayah Khumaedi. Bersama tiga warga Kalibunder lainnya, lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai petani itu kemudian dibawa ke pos DST di Nyalindung.

"Setelah ditahan beberapa hari di Nyalindung, saya tidak tahu lagi nasib ayah saya," ungkap Achmad Khumaedi.

Belakangan, Khumaedi mengetahui dari keterangan orang-orang Takokak bahwa sang ayah dan kawan-kawannya ditembak mati oleh militer Belanda di kawasan Ciwangi. Tubuh mereka dikuburkan dalam satu lubang dan baru dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cigunung Putri puluhan tahun kemudia.

Khumaedi bisa memastikan bahwa salah satu tulang belulang yang ditemukan para penduduk dekat pabrik teh Ciwangi adalah ayahnya dari ciri-ciri khusus.

"Saya masih mengenal gesper dan cincin yang dikenakannya," ujar Khumaedi.

Sahi hanya salah satu dari ribuan korban keganasan DST (sejak Januari 1948 berubah nama menjadi Komando Speciale Troepen, disingkat KST). Selain di wilayah Takokak, antara tahun 1946—1949, unit yang dipimpin oleh Si Turki (julukan untuk Kapten R.P.P. Westerling) itu pernah meninggalkan jejak berdarah juga di Sumatra, Jawa dan Sulawesi.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini