Kecerdikan Ali Moertopo Manfaatkan DI/TII untuk Menumpas PKI
Merdeka.com - Bagaimana intelijen Indonesia mempergunakan orang-orang eks gerilyawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia untuk menghabisi sisa-sisa PKI pasca terjadi Insiden 1965.
Penulis: Hendi Jo
Setelah S.M. Kartosoewirjo dihukum mati pada 5 September 1962, pemerintah Sukarno memberikan amnesti massal kepada ribuan eks anggota DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).
Awalnya mereka yang menyerah itu dikembalikan ke masyarakat dengan pengawasan yang sangat ketat: setiap minggu harus melaporkan diri ke kantor KORAMIL (Komando Rayon Militer) atau kantor KODIM (Komando Distrik Militer) setempat.
Namun setelah Insiden 1965, pihak intelijen tentara di bawah koordinasi OPSUS (Operasi Khusus, grup intel yang dipimpin Ali Moertopo) diam-diam menjalin hubungan baik dengan eks anggota DI/TII. Menurut Alosyus Sugiyanto, hubungan itu bahkan berjalan sangat intens. itu dilakukan mengaku kenal baik dengan tokoh DI (Darul Islam) Danu Muhammad Hasan.
Sebagai seorang intel yang ada dalam lingkaran grup Opsus (Operasi Khusus), dia ditugaskan atasannya Ali Moertopo untuk membina beberapa eks tokoh Darul Islam.
"Saya sering main ke rumah Danu Muhammad Hasan (salah satu tokoh DI/TII) di Situaksan, Bandung," ujar eks anggota OPSUS itu.
Strategi Intelijen
Lambat laun, hubungan baik itu melahirkan sikap kooperatif dari kalangan mantan para pemberontak tersebut. Ketika pihak Angkatan Darat memerlukan tenaga untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang PKI dan loyalis Sukarno, para eks aktivis DI yang dikenal sangat anti komunis itu menyatakan siap membantu pihak tentara.
"Danu sendiri lalu saya tugaskan memata-matai gerak-gerik Soebandrio," kenang Sugiyanto.
Soebandrio merupakan orang dekat Presiden Sukarno. Selain menjabat sebagai Kepala BPI (Badan Poesat Intelijen) dan Menteri Hubungan Ekonomi Luar Negeri, dia pun merupakan salah satu Waperdam (Wakil Perdana Menteri). Pasca Insiden Gerakan 30 September, Soebandrio divonis hukuman seumur hidup oleh Mahkamah Luar Biasa karena dianggap terlibat dalam gerakan tersebut.
Dalam The Second Front: Inside Asia’s Most Dangerous Terrorist Network, Ken Conboy menyebut jika operasi itu dilakukan langsung Ali Moertopo. Dia bahkan ikut meyakinkan Danu dan kawan-kawannya untuk beraliansi dengan tentara dalam menghadapi sisa-sisa PKI. Lewat beberapa orang kepercayaannya (di antaranya adalah Aloysius Sugiyanto dan Pitut Soeharto), Ali lantas menyediakan fasilitas kepada mereka.
Gayung bersambut. Ajakan Opsus itu langsung diamini oleh para pemimpin DI/TII. Bahkan menurut Conboy, mereka sangat antusias. Itu dibuktikan dengan segeranya mereka bergerak begitu kesepakatan terjadi.
"Danu dan kelompok kecil pendukungnya menjelajah Jakarta guna membongkar persembunyian para pejabat rezim Sukarno," tulis Conboy.
'Hadiah' Tentara untuk eks DI/TII
Di Jawa Barat, aksi pemberantasan sisa-sisa PKI oleh eks DI/TII sepenuhnya didukung oleh Kodam Siliwangi. Menurut Sugiyanto, saat menjalankan penumpasan, para eks gerilyawan itu berkoordinasi dengan intelijen Kodam Siliwangi dan para agen BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara).
Namun dalam buku NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia karya Solahudin, tokoh DI/TII Adah Djaelani menolak keras jika pihaknya dimodali tentara secara penuh. Menurut Adah, dalam praktiknya di lapangan, anak buahnya bahkan harus membiayai sendiri operasi tersebut.
"Saat menghabisi orang-orang PKI, eks anggota DI hanya mendapatkan bantuan pinjaman senjata," ungkap Solahudin.
Bisa disebut, kerja sama 'dua pihak yang pernah bermusuhan' itu berlangsung sukses. Sebagai bentuk rasa terimakasih, pihak tentara memberikan hadiah dengan membebaskan mereka sama sekali dari dosa-dosa pemberontakan 1949-1962. Bahkan lebih dari itu, pihak tentara juga memberikan fasilitas usaha.
Sebagai contoh, kepada Ateng Djaelani (salah satu dedengkot DI/TII), pihak Kodam Siliwangi memberikan kewenangan untuk mengelola bisnis minyak dan gas di seluruh Bandung. Sementara Danu Muhammad Hasan sendiri malah direkrut Ali Moertopo untuk bekerja di BAKIN. Tentu saja dengan imbalan yang lumayan seperti penyediaan rumah dinas, mobil dinas dan gaji bulanan.
Tentara juga menjadi sponsor utama dalam setiap kegiatan yang dilakukan para eks anggota DI/TII. Seperti pada 21 April 1971, saat BAKIN memfasilitasi pertemuan reuni akbar eks anggota DI/TII di Situaksan, Bandung. Sekira 3.000 eks anggota DI/TII hadir dalam pertemuan yang dihadiri juga oleh para pejabat BAKIN yang juga berpidato mengajak para eks anggota DI/TII untuk bergabung dengan Golkar.
"Merespon ajakan itu, para tokoh DI/TII terbelah menjadi dua: ada yang ok saja dan ada yang menolak mentah-mentah," ujar Solahudin.
Namun tidak selamanya, hubungan eks DI/TII dengan pihak tentara berlangsung harmonis. Menjelang akhir 1970-an dan awal 1980-an, pihak intelijen 'melakukan provokasi' hingga eks anggota DI/TII kembali menjalankan aksi-aksi radikal.
Menurut Solahudin, itu dilakukan demi menggemboskan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), satu-satunya partai berasas Islam yang ikut bertarung dalam Pemilu.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Namanya dikenal banyak orang berkat misi mengejar sisa-sisa anggota Mujahiddin Indonesia Timur (MIT) Poso, Ali Kalora cs
Baca SelengkapnyaAksi penyamaran juga tidak luput harus dilakukan oleh seorang Polwan untuk mengungkapkan suatu kasus
Baca SelengkapnyaPenganiayaan terjadi pada Sabtu (13/1), sekitar pukul 03.30 WIB.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
TB Hasanuddin menegaskan, dalam militer saat ini tidak ada istilah pangkat kehormatan lagi.
Baca SelengkapnyaPejuang asal Padang ini pencetus lahirnya pemberontakan untuk mengkritik pemerintahan rezim Soekarno yang dianggap inkonstitusional.
Baca SelengkapnyaPemeriksaannya terjeda beberapa saat karena bertepatan salat Jumat.
Baca SelengkapnyaPara ulama dan kiai kampung mengakui kemampuan Ganjar dalam menguasai aspek geopolitik.
Baca SelengkapnyaSejumlah menteri di Kabinet Jokowi yang berasal dari PDI Perjuangan dikabarkan bakal mundur
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Hasto Kristiyanto menilai ada kemiripan antara Soeharto dan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mempertahankan kepemimpinan lewat Pemilu.
Baca Selengkapnya