Temuan Penelitian: Kemampuan Mendengar Penyintas Covid-19 Berkurang
Merdeka.com - Penurunan kemampuan pendengaran di antara para penyintas virus corona delapan minggu setelah dipulangkan menunjukkan kemungkinan bahwa masalah tersebut berlanjut lama setelah pasien Covid-19 keluar dari rumah sakit, menurut audiolog dari Universitas Manchester.
Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti di Pusat Penelitian Biomedis Universitas Manchester ini mensurvei 121 orang dewasa melalui telepon delapan minggu setelah mereka keluar dari rumah sakit.
Saat ditanya terkait perubahan kemampuan mendengar mereka, 16 orang atau 13,2 persen dari mereka yang disurvei melaporkan pendengarannya makin berkurang.
Delapan penyintas melaporkan penurunan kemampuan mendengar, sementara delapan orang melaporkan tinitus atau telinga berdengung sebagai gejala.
“Kita sudah tahu bahwa virus seperti campak, gondok, dan meningitis bisa menyebabkan gangguan pendengaran dan virus corona bisa merusak saraf yang membawa informasi dari dan ke otak. Ada kemungkinan, secara teori, Covid-19 dapat menyebabkan masalah pada bagian sistem pendengaran termasuk telinga tengah atau koklea," jelas Profesor Kevin Munro, salah satu peneliti, seperti dikutip dalam sebuah artikel oleh Universitas Manchester.
Para peneliti di universitas tersebut mengatakan dalam penelitian mereka, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk dapat mengidentifikasi alasan yang menghubungkan virus corona dengan masalah pendengaran.
“Meskipun kami cukup yakin dengan perbedaan perubahan pendengaran dan tinitus yang sudah ada sebelumnya dan yang terbaru, kami mendesak agar berhati-hati. Ada kemungkinan bahwa faktor-faktor selain Covid-19 dapat berdampak pada kehilangan pendengaran dan tinitus yang sudah ada sebelumnya, ” jelas Munro, dikutip dari Alarabiya, Kamis (6/8).
Alami Gangguan Jiwa
Pasien sembuh Covid-19 mengalami tingkat gangguan kejiwaan yang lebih tinggi termasuk gangguan stres pascatrauma atau post-traumatic stress disorder (PTSD), kecemasan, insomnia dan depresi, menurut penelitian yang dilakukan oleh rumah sakit San Raffaele di Milan.
Survei membuktikan bahwa separuh lebih dari 402 pasien yang diawasi usai menjalani pengobatan Covid-19 mengalami setidaknya satu gangguan ini sebanding dengan keparahan inflamasi selama sakit.
Responden pasien, 265 pria dan 137 perempuan, kembali diperiksa setelah satu bulan dirawat di rumah sakit.
"Jelas bahwa inflamasi yang disebabkan oleh penyakit tersebut juga dapat bereaksi terhadap tingkat kejiwaan," kata profesor Francesco Benedetti, ketua kelompok Unit Penelitian di Psychiatry and Clinical Psychobiology di San Raffaele, melalui pernyataan.
Laporan itu dipublikasi di jurnal ilmiah Brain, Behavior and Immunity pada Senin.
Berdasarkan wawancara klinis dan pertanyaan tentang penilaian diri, para dokter menemukan PTSD pada 28 persen kasus, depresi 31 persen, kecemasan 42 persen dan insomnia 40 persen, dan akhirnya gejala obsesif kompulsif 20 persen.
Menurut studi, perempuan paling banyak mengalami kecemasan dan depresi meski keparahan infeksinya lebih rendah, menurut pernyataan.
"Kami berhipotesis bahwa ini bisa saja karena fungsi sistem imun yang berbeda," kata Profesor Benedetti seperti dilansir Reuters yang dikutip Antara, Selasa (4/8).
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Selesma adalah infeksi virus yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, seperti hidung dan tenggorokan.
Baca SelengkapnyaImbauan ini mengingat penularan Covid-19 dilaporkan kembali meningkat dalam beberapa waktu terakhir.
Baca SelengkapnyaKementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut, perubahan gejala tersebut akibat pengaruh reaksi imunologi.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Kombes Pol Yade Setiawan Sukses raih Doktor dan Pertahankan Disertasi Penanganan Covid 19.
Baca SelengkapnyaPada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
Baca SelengkapnyaSeorang pria 72 tahun di Belanda terinfeksi Covid-19 selama 613 hari dan berakhir meninggal. Yuk, simak fakta lengkapnya!
Baca SelengkapnyaFlu Singapura, yang juga dikenal sebagai penyakit tangan, kaki, dan mulut (HFMD), adalah penyakit infeksi virus yang umumnya menyerang anak-anak.
Baca SelengkapnyaBerhenti merokok sebelum usia 40 tahun bisa memiliki efek panjang umur sama seperti pada orang yang tidak pernah merokok.
Baca SelengkapnyaPemerintah akui penempatan pekerja migran masih memiliki berbagai tantangan.
Baca Selengkapnya