Resesi Ekonomi di Depan Mata, Ini Dampak Langsung yang Bakal Dirasa Masyarakat
Merdeka.com - Resesi ekonomi nampaknya tak bisa dihindari. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 mencapai minus 2,9 hingga minus 1 persen. pada kuartal II-2020, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sudah minus hingga 5 persen.
Secara teknikal, jika pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi atau minus dalam dua kuartal berturut-turut, maka dipastikan negara tersebut masuk ke jurang resesi.
Sri Mulyani memprediksi, pertumbuhan negatif kembali terjadi pada kuartal III tahun ini. Namun untuk kuartal IV, pemerintah akan berupaya menjaga pertumbuhan ekonomi di 0 persen.
"Ini artinya, negatif teritory kemungkinan terjadi pada kuartal III dan mungkin juga masih berlangsung untuk kuartal IV yang kita upayakan bisa dekat 0 atau positif," jelas Sri Mulyani.
Namun demikian, Sekretaris Eksekutif I Komite PCPEN, Raden Pardede menilai, ekonomi Indonesia kuartal III akan tumbuh lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya, atau kuartal II.
"Jelas (pertumbuhan ekonomi) akan lebih baik dari kuartal II. Tapi tidak akan lebih baik dari kuartal III tahun lalu," katanya dalam diskusi virtual.
Kepastian resesi ekonomi ini menunggu data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang akan diumumkan bulan depan. Jika benar terjadi resesi ekonomi. Apa dampak langsung yang akan dirasakan masyarakat? Berikut penjelasannya:
Pendapatan Masyarakat Terpangkas
Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto menyatakan dampak nyata resesi ekonomi adalah penurunan daya beli masyarakat. Terlebih dia menilai kondisi tersebut sudah mulai terasa ketika pertumbuhan ekonomi nasional terkontraksi hingga minus 5,32 persen pada kuartal II lalu.
"Kalau dampak paling besar atas potensi resesi yakni merosotnya daya beli, karena pendapatan masyarakat hilang atau terpangkas sehingga masyarakat tidak bisa konsumsi normal. Kan mulai ini terasa di kuartal II kemarin," ujar dia saat dihubungi Merdeka.com, Rabu (9/9).
Menurutnya, penurunan daya beli ini tercermin dari sejumlah indikator, khususnya Indeks Penjualan Riil (IPR) yang berada dalam tren negatif. Di mana pada Juni lalu, IPR mengalami minus 17,1 persen. Kendati membaik dari minus 20,6 persen pada Mei.
"Artinya selama kebijakan pelonggaran PSBB dilakukan, aktivitas ekonomi yang ada tidak seperti diharapkan oleh pemerintah. Imbasnya masyarakat secara umum daya belinya secara masih rendah," paparnya.
Angka Kemiskinan dan Pengangguran Bertambah
Pandemi Covid-19 membuat ekonomi Indonesia terancam masuk resesi. Di masa resesi ada sejumlah dampak yang ditimbulkan. Lapangan pekerjaan akan semakin sempit dan angka pengangguran makin meningkat.
"Kondisi ini berimplikasi pada angka kemiskinan yang bertambah," kata Direktur Eksekutif INDEF, Tauhid Ahmad, dalam diskusi bertajuk Mempercepat Geliat Sektor Riil dalam mendukung Pemulihan Ekonomi: Peranan BUMN dalam mendukung pemulihan Ekonomi, Jakarta, Selasa (28/7).
Kehidupan sosial keluarga juga akan terganggu. Mulai dari gaya hidup dan pendidikan karena tidak sedikit orang yang kehilangan pendapatan dan pekerjaan. Rencana investasi juga akan terganggu karena dana yang ada dialokasikan untuk mempertahankan kebutuhan hidup.
Nilai perumahan juga akan turun. Hal ini disebabkan banyak rumah tangga yang menurunkan niatnya untuk menyewa atau membeli properti. Namun, di sisi lain, pinjaman dan utang akan semakin meningkat.
"Pinjaman dan utang akan semakin meningkat karena keluarga akan mencari sumber pinjaman baru," kata dia.
Ekonomi Tak Berhenti
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, M. Sarmuji menyebut bahwa Indonesia secara tehnikal berkemungkinan besar masuk dalam kategori resesi. Sebab, per definisi jika suatu negara mengalami pertumbuhan negatif dalam dua kuartal berturut-turut negara tersebut masuk kategori resesi.
"Pertumbuhan ekonomi kita pada kuartal kedua tumbuh minus 5,3 persen dan jika pada kuartal ketiga pertumbuhan masih negatif maka secara teknis dikategorikan resesi," kata Sarmuji di Jakarta, Selasa (23/9).
Namun Sarmuji mengingatkan bahwa resesi ekonomi itu bukan berarti ada guncangan besar ekonomi. "jangan bayangkan jika secara teknis masuk resesi seolah-olah ekonomi berhenti seketika."
Sarmuji memberi keyakinan bahwa fase krisis yang sebenarnya sudah di lalui. Di mana Indonesia mengalami kontraksi paling dalam secara ekonomi sudah dilalui yaitu pada kuartal kedua kemarin. Kuartal ketiga nanti diperkirakan kontraksi sudah tidak akan besar lagi.
"Kuartal ketiga sebenarnya ekonomi sudah mulai melakukan pembalikan arah ke arah positif tetapi karena kuartal kedua minus 5,3 persen agak berat untuk sampai ke level di atas 0 persen. Kuartal ketiga kemungkinan masih minus tapi sudah tidak terlalu besar," katanya.
Namun demikian, Sarmuji menyarankan beberapa rekomendasi. Pertama, pemerintah harus memanfaatkan ekonomi global yang sudah mulai menunjukkan tanda perbaikan dengan mencermati pasar luar negeri dan komoditas apa yang bisa di suplay dari Indonesia.
"kedua agar pemerintah segera memacu pengeluaran," katanya.
ketiga mempercepat pencairan berbagai program sosial untuk meningkatkan daya beli. "Jika ekspor meningkat dan konsumsi dan pengeluaran pemerintah bisa dipercepat otomatis akan menjadi daya dorong terhadap pertumbuhan ekonomi," katanya.
Resesi Bukan Akhir Segalanya
Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan meminta masyarakat untuk tidak terlalu resah atas potensi resesi ekonomi di tahun ini. Sebab, dia menilai resesi bukanlah akhir dari segalanya.
"Kalau itu (resesi) terjadi, bukan akhir dari segala-galanya. Untuk itu, kita tidak boleh berlebihan menyikapinya," ujar dia dalam webinar yang digagas oleh BI, Minggu (30/8).
Luhut mengatakan, pemerintah sendiri telah menyiapkan berbagai kebijakan untuk meminimalisir dampak resesi bagi masyarakat. Seperti mempercepat penyaluran program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional).
"Ya kalau resesi terjadi, ya bisa saja terjadi. Tapi kami siap hadapi itu semua karena infrastruktur yang kami buat, program PEN yang telah dibuat juga terus dieksekusi. Kita feel comfortable," ujarnya.
Bahkan, sambung Luhut, ketahanan ekonomi Indonesia dalam menghadapi resesi juga diakui oleh Bank Dunia yang menilai upaya pemerintah telah tepat dalam memerangi virus mematikan asal kota Wuhan tersebut. Seperti mengalokasikan dana untuk kesehatan, perlindungan sosial dan insentif bagi dunia usaha.
"Mereka selalu katakan program kita itu program sangat komprehensif. Jadi, program sudah begitu bagus disusun," terangnya.
Oleh karena itu, dia mendorong semua pihak lebih bijaksana dalam menyampaikan informasi terhadap masyarakat luas. Antara lain dengan tidak menakut-nakuti masyarakat bila ekonomi Indonesia harus kembali mengalami minus pada kuartal III tahun ini.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Proyeksi pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen itu didorong oleh penyelenggaraan pemilu secara serentak 2024.
Baca SelengkapnyaPersiapan pemilu juga ikut memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kuartal IV-2023.
Baca SelengkapnyaIndef menilai, ada perubahan pola konsumsi masyarakat yang mempengaruhi ekonomi.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Dengan perputaran yang cukup besar tersebut, dipastikan ekonomi daerah akan produktif mendorong meningkatnya konsumsi rumah tangga.
Baca SelengkapnyaMayoritas jenis pajak utama tumbuh positif sejalan dengan ekonomi nasional yang stabil.
Baca SelengkapnyaPertumbuhan ekonomi tahun 2023 didorong oleh capaian kinerja yang positif di seluruh lapangan usaha di Kalimantan Timur.
Baca SelengkapnyaRamalan IMF menyebut kondisi ekonomi dunia masih terpuruk.
Baca SelengkapnyaBegini untung rugi Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat.
Baca SelengkapnyaIa berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi kurang mampu.
Baca Selengkapnya