Kementerian ESDM Catat 2.700 Pertambangan Ilegal, Terbanyak di Sumsel
Merdeka.com - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, terdapat lebih dari 2.700 lokasi Pertambangan Tanpa Izin atau PETI yang tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, lokasi PETI batubara mencapai 96 lokasi dan PETI Mineral sekitar 2.645 lokasi berdasarkan data tahun 2021 (triwulan-III). Salah satu lokasi PETI yang terbanyak yaitu di Provinsi Sumatera Selatan.
PETI adalah kegiatan memproduksi mineral atau batubara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa memiliki izin, tidak menggunakan prinsip pertambangan yang baik, serta memiliki dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial.
"PETI adalah kegiatan tanpa izin, dan memicu kerusakan lingkungan. Kegiatan ini juga memicu terjadinya konflik horisontal di dalam masyarakat," kata Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sunindyo Suryo Herdadi.
Selain itu, PETI juga mengabaikan kewajiban-kewajiban, baik terhadap negara maupun terhadap masyarakat sekitar. "Karena mereka tidak berizin, tentu akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab penambang sebagaimana mestinya. Mereka tidak tunduk kepada kewajiban sebagaimana pemegang IUP dan IUPK untuk menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, termasuk juga pengalokasian dananya," ujar Sunindyo.
Menghadapi PETI, pemerintah tidak tinggal diam. Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, Kementerian Polhukam, Kementerian ESDM bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Kementerian Dalam Negeri, dan Kepolisian RI, terus bekerja sama untuk mengatasi PETI.
Upaya yang dilakukan antara lain dengan inventarisasi lokasi PETI, penataan wilayah pertambangan dan dukungan regulasi guna mendukung pertambangan berbasis rakyat, pendataan dan pemantauan oleh Inspektur Tambang, usulan penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sesuai usulan Pemerintah Daerah, hingga upaya penegakan hukum.
PETI Langgar Undang-Undang
Dari sisi regulasi, PETI melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pada pasal 158 UU tersebut, disebutkan bahwa orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000.
Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.
Di pasal 161, juga diatur bahwa setiap orang yang menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana dengan pidana penjara.
Dampak Negatif PETI
Perhatian khusus Pemerintah terhadap praktik penambangan ilegal ini tidak lain disebabkan karena banyaknya dampak negatif dari pengoperasian PETI, di antaranya berkaitan dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Dampak sosial kegiatan PETI antara lain menghambat pembangunan daerah karena tidak sesuai RTRW, dapat memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat, menimbulkan kondisi rawan dan gangguan keamanan dalam masyarakat, menimbulkan kerusakan fasilitas umum, berpotensi menimbulkan penyakit masyarakat, dan gangguan kesehatan akibat paparan bahan kimia.
"PETI juga berdampak bagi perekonomian negara karena berpotensi menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak. Selain itu, akan memicu kesenjangan ekonomi masyarakat, menimbulkan kelangkaan BBM, dan berpotensi terjadinya kenaikan harga barang kebutuhan masyarakat," imbuhnya.
Dari sisi lingkungan, PETI akan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, merusak hutan apabila berada di dalam kawasan hutan, dapat menimbulkan bencana lingkungan, mengganggu produktivitas lahan pertanian dan perkebunan, serta dapat menimbulkan kekeruhan air sungai dan pencemaran air.
"Pada umumnya lahan bekas PETI dengan metode tambang terbuka yang sudah tidak beroperasi meninggalkan void dan genangan air sehingga lahan tersebut tidak dapat lagi dimanfaatkan dengan baik. Seluruh kegiatan PETI tidak memiliki fasilitas pengolahan air asam tambang, sehingga genangan-genangan air serta air yang mengalir di sekitar PETI bersifat asam. Ini berpotensi mencemari air sungai. Bahaya lain yang ditimbulkan PETI adalah batu bara yang terekspos langsung ke permukaan berpotensi menyebabkan swabakar, sehingga dalam skala besar berpotensi menyebabkan kebakaran hutan," pungkas Sunindyo.
(mdk/idr)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Keluhan Pemudik di Merak: Kami Sudah Sabar Semalaman, Tapi Belum Juga Masuk Kapal
Baca SelengkapnyaPolisi menyita barang bukti berupa tiga batang kayu bekas terbakar dan satu mancis.
Baca Selengkapnyakendaraan yang ingin masuk kapal di Pelabuhan Merak bisa ditampung sementara di kantong parkir Dermaga Pelabuhan Indah Kiat.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Kapolres menyesalkan tindakan warga yang menghalangi penangkapan pelaku kejahatan bahkan menyerang dan menyandera polisi.
Baca SelengkapnyaKegiatan tersebut dilaksanakan sebagai upaya dari Kementerian PUPR meningkatkan kapasitas SDM.
Baca SelengkapnyaBerdasarkan manifest, peti kemas tersebut sebelumnya berasal dari Surabaya
Baca SelengkapnyaSiskaeee sedianya dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai tersangka pada Senin 15 Januari 2024 kemarin. Namun Siskaeee mangkir.
Baca SelengkapnyaPemerintah berencana melakukan pembatasan barang impor.
Baca SelengkapnyaPolisi menggelar patroli siber untuk mengatasi serangan berita-berita hoaks dan fitnah selama Pemilu 2024.
Baca Selengkapnya