Dirjen Aptika: Literasi digital rendah jadi pekerjaan rumah bersama
Merdeka.com - Jika melihat survei pengguna internet Indonesia tahun 2016 berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), menyebutkan jumlah pengguna internet telah mencapai 132,7 juta. Angka itu meningkat 14,4 persen dari tahun 2014 yang berjumlah 88,1 juta.
Namun sayangnya seiring dengan pertumbuhan pengguna internet di Indonesia, sisi literasi digital belum sepenuhnya dipahami betul oleh pengguna internet itu sendiri. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan persoalan seperti maraknya pengguna internet yang terjerat masalah hukum. Kebanyakan terjadi lantaran sesumbar dalam memposting sesuatu di media sosial.
Kurangnya literasi digital pengguna internet di Indonesia, diakui oleh Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Samuel Abrijani Pangerapan.
"Iya, itu yang menjadi pekerjaan rumah kita saat ini. Memberikan pemahaman kepada pengguna internet tentang bagaimana beretika dalam menggunakan, khususnya di media sosial," terangnya kepada awak media usai konferensi pers terkait penerapan revisi UU ITE di kantor Kemkominfo, Jakarta, Senin (28/11).
Dikatakannya, pekerjaan rumah ini tidak bisa dikerjakan oleh Kemkominfo sendiri. Seluruh pihak juga berkewajiban untuk memberikan pemahaman mengenai literasi digital tersebut kepada pengguna internet, termasuk media massa.
"Pemerintah akan melakukan literasi-literasi itu kepada pengguna internet. Tetapi kan, kita tidak bisa sendiri. Kita butuh dukungan media massa juga untuk melakukannya. Literasi itu kan juga bagian dari mencerdaskan bangsa dan itu adalah tanggung jawab bersama," jelas pria yang akrab disapa Semmy ini.
Mengapa baru sekarang? Ketika pertanyaan itu dilontarakan, Semmy hanya tersenyum dan enggan menjawab.
Persoalan literasi digital di Indonesia dengan negara-negara maju memang jauh berbeda. Menurut Direktur Eksekutif ICT Watch, Donni BU, perkembangan literasi digital di negara-negara maju tumbuh beriringan dengan kemajuan teknologi. Sementara di Indonesia tidak demikian. Terlebih jika melihat rekam sejarah bangsa ini saat dibukanya kebebasan berpendapat dan berekspresi.
"Tahun 1998 saat era keruntuhan Presiden Soeharto, kebebasan berekspresi dibuka, semua orang ber-euforia, dan bebas berpendapat. Akhirnya kaget bagaimana cara berekspresi dan berpendapat yang benar. Apalagi tidak lama kemudian, era internet muncul di mana di fase ini semua orang merasakan lebih bebas berekspresi dan mengeluarkan pendapatnya," jelasnya.
(mdk/idc)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Banyak perilaku kurangnya kesadaran masyarakat untuk menjaga etika di ruang digital.
Baca SelengkapnyaDahnil menjelaskan bahwa hilirisasi digital adalah penggunaan device bahkan hingga ke jaringan yang akan dibuat oleh putra-putri Indonesia.
Baca SelengkapnyaPertimbangan penerbitan perpres itu untuk mendorong terwujudnya pelayanan publik berkualitas dan terpercaya.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Komisi I DPR RI berkomitmen penuh untuk terus mendorong program-program pengembangan peningkatan kualitas generasi Indonesia.
Baca SelengkapnyaDunia digital yang semakin terkoneksi telah membuka pintu bagi kejahatan siber yang berkembang pesat.
Baca SelengkapnyaDalam era digital saat ini, peran humas menjadi semakin krusial. Penting bagi praktisi humas untuk menguasai teknologi, bukan sebaliknya.
Baca SelengkapnyaJangan sembarangan memprovokasi orang untuk tidak memilih di pemilu. Karena hal itu bisa melanggar pidana
Baca Selengkapnya"Dengan digitalisasi Samsat ini, pelayanan masyarakat dimudahkan, tidak perlu turun lagi mengantri," kata Irjen Aan
Baca SelengkapnyaDulunya cuma angan-angan, namun penelitian ini membuktikan internet kuantum bakal menjadi nyata.
Baca SelengkapnyaAVISI: Perlu Bersama-sama Temukan Solusi Melawan Pembajakan Konten Ilegal
Baca Selengkapnya