Ketika puisi anak buah Prabowo menukik jadi serangan politik
Merdeka.com - Setidaknya sudah ada empat puisi yang digunakan kubu Capres Partai Gerindra Prabowo Subianto untuk menyerang lawan politiknya. Tiga oleh Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon dan satu lagi sang capres, Prabowo sendiri.
Selain sebagai politikus, Fadli Zon memang dikenal sebagai seorang yang aktif di bidang budaya. Pada Juni 2011, politikus yang gagal melenggang ke Senayan pada Pemilu 2009 itu mendirikan Rumah Budaya Fadli Zon di areal Rumah Puisi Taufiq Ismail, pamannya.
Fadli, yang pernah bekerja sebagai redaktur Majalah Sastra Horison ini juga pernah mengeluarkan Kumpulan Puisi: Mimpi-Mimpi Yang Kupelihara pada 2010. Cara Fadli berpuisi pun tak jauh berbeda dengan pamannya, Taufiq Ismail, salah satu penggagas Manifesto Kebudayaan (Manikebu) pada 17 Agustus 1963.
Artikel terkait Prabowo Subianto juga bisa dibaca di Liputan6.com
Manikebu adalah konsep kebudayaan nasional yang menentang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) karena dianggap telah mempolitisasi kebudayaan, termasuk sastra. Bagi kaum Manikebuis, Lekra yang menganut ideologi realisme sosial telah mengancam supremasi prinsip-prinsip estetika dan menjerumuskan karya seni pada alat propaganda politik yang sarat dengan slogan-slogan verbal belaka.
Puisi Fadli bukan tidak pernah menyinggung tema politik. Sebut saja 'Rakyat di Negeri Demokrasi' (2011) yang pernah dimuat Harian Kompas. Meski menyenggol politik, tetap saja sebagai pendukung ideologi Manikebu, puisi Fadli bukanlah propaganda politik.
Namun kini, di musim kampanye Pemilu 2014, puisi Fadli mulai menukik menjadi serangan politik. Dia tidak membenarkan sekaligus tidak membantah bahwa puisi-puisinya - 'Airmata Buaya', 'Sajak Seekor Ikan' dan 'Menuju Indonesia Raya' - ditujukan untuk menyerang kubu Capres Joko Widodo ( Jokowi ) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
"Interpretasi bisa-bisa saja, namanya juga interpretasi, ini demokrasi. Saya bicara tentang seekor ikan yang punya banyak habitat," elak Fadli saat dihubungi merdeka.com belum lama ini.
Lepas dari interpretasi tadi, dalam sebuah dialog di televisi, Fadli juga mengatakan wajar jika puisi digunakan untuk politik. "Ketika zaman Bung Karno dulu, ketika politik jadi panglima, puisi itu berpolitik," ujar Fadli.
Hal ini berbeda dengan pandangannya dulu yang pro-Manikebu bahwa sastra harus lepas dari propaganda politik. Dia juga pernah menulis 'Setelah Politik Bukan Panglima Sastra: Polemik Hadiah Magsaysay bagi Pramoedya Ananta Toer (2009). Kini di tangan Fadli, puisi tidak hanya menjadi propaganda, melainkan serangan politik.
Bagi Saut Situmorang, sastrawan asal Yogyakarta, jika puisi sudah dimanipulasi itu pertanda kemerosotan peradaban. "Ketika kaum barbar mulai manipulasi puisi sebagai kedok maka itulah tanda peradaban sudah dekaden," kata Saut yang kerap berpolemik dengan Fadli di media sosial ini.
(mdk/ren)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Masa tenang Pemilu 2024 dimulai 11 Februari hingga 13 Februari. Kampanye politik pun dilarang digelar
Baca SelengkapnyaPrabowo mengaku tak takut terhadap apa pun selama ada anak muda di sampingnya.
Baca SelengkapnyaPrabowo Subianto menegaskan tidak ingin menjadi politisi yang kerap mengumbar janji-janji manis tiap pemilu.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
"Kami tegaskan, dari hasil pemeriksaan, peristiwa penembakan ini tidak ditemukan motif politik dan tidak ada kaitan dengan politik."
Baca SelengkapnyaSelain mempromosikan PSI, Kaesang juga selalu mengkampanyekan Prabowo Gibran.
Baca SelengkapnyaPrabowo berpesan kepada para wisudawan dan wisudawati agar melandasi setiap langkahnya dengan mengutamakan kepentingan rakyat.
Baca SelengkapnyaKetua Umum Gerindra Prabowo Subianto menyatakan Presiden Joko Widodo guru politiknya, karena pernah mengalahkannya dua kali, yakni pada Pilpres 2014 dan 2019.
Baca SelengkapnyaPDIP menilai sebagai Menhan seharusnya Prabowo menampilkan sisi baik untuk membangun sebuah karakter bangsa.
Baca SelengkapnyaRintangan yang masih kerap ia temui yaitu suami atau orang tua yang tidak mengizinkan perempuan itu untuk melangkah lebih jauh
Baca Selengkapnya