Catatan untuk RUU EBT yang Tengah Dibahas di DPR
Merdeka.com - Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) telah diserahkan oleh DPR RI ke Badan Legislasi (Baleg) untuk masuk ke tahap harmonisasi.
Dalam prosesnya, aspirasi dan kebutuhan dari masyarakat seperti kelompok perempuan serta pendekatan gender dinilai belum terefleksi dan terjawab dari draf RUU EBT yang ada.
Presidium Nasional Koalisi Perempuan Indonesia KK Petani Dian Aryani menyayangkan perempuan yang sering kali tidak dilibatkan dan dilatih dalam pengembangan energi EBT. Ia juga memandang terminologi EBT tidak tepat.
Menurut dia, dari pada mengembangkan energi baru, lebih baik berfokus dalam memanfaatkan energi bersih yang tidak mengandung polutan serta energi terbarukan.
Keberadaan pasal yang mengatur perlindungan inisiatif masyarakat dalam membangun, mengembangkan dan memanfaatkan energi bersih terbarukan menjadi penting terutama untuk skala rumah tangga dan skala komunitas yang bersifat non komersial.
“Selain itu, pemerintah perlu menerapkan pengarusutamaan gender dalam kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pengembangan EBT,” katanya, Selasa (8/3).
Hal ini diungkap dalam Webinar berjudul RUU EBT: Melihat lebih jauh Perspektif Gender Diakomodasi dalam Kebijakan Energi. Komisi Perempuan Indonesia (KPI) dan Institute for Essential Services Reform (IESR) menggelar diskusi tersebut.
KPI mendorong DPR RI dan pemerintah untuk memposisikan perempuan sebagai produsen energi.
Selain itu, dari sisi kebijakan energi, KPI mendesak agar dibuat kebijakan pengembangan energi bersih terbarukan yang terjangkau di tingkat lokal dibandingkan mengandalkan energi fosil dan nuklir.
Sementara itu, Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Mohamad Yadi Sofyan Noor memandang, memasukkan nuklir dalam RUU EBT bukanlah tindakan yang tepat. Pihaknya menolak pembangunan PLTN karena berpotensi memberikan dampak negatif pada ekonomi petani dan nelayan.
“Pembangunan PLTN meningkatkan risiko bagi petani dan nelayan. Karena PLTN menyerap dana besar dengan kemungkinan alokasi dari program-program lain seperti ketahanan pangan; Lahan yang dibutuhkan cukup luas. Sehingga mengancam akses dan aktivitas ekonomi para petani dan nelayan. Risiko kecelakaan PLTN ditanggung langsung oleh para petani dan nelayan yang berada di sekitar PLTN,” ungkapnya.
Latar Belakang RUU EBT
Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengungkapkan, latar belakang disusunnya RUU EBT adalah, Indonesia memiliki potensi sumber energi fosil dan non fosil yang melimpah, namun belum tertata dengan baik.
Menurutnya, saat ini ketergantungan pada energi fosil secara terus menerus menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan dalam bentuk pencemaran lingkungan, perubahan iklim dan pemanasan global.
"Sekaligus kita juga sudah menghadapi problem kuantitatif dan kualitatif dalam energi fosil ini," ujar Sugeng.
Dalam rapat ini Baleg juga mendengarkan usul Komisi VII DPR RI tentang pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU EBT.
Lebih lanjut, Sugeng menjelaskan, landasan sosiologis dibentuknya RUU EBT yang menurut Komisi VII, saat ini Indonesia belum optimal memanfaatkan EBT, meskipun Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang melimpah.
"Namun pengembangannya masih berskala kecil. Pengembangan energi untuk jangka panjang perlu pemanfaatan energi baru terbarukan, untuk mengurangi penggunaan energi fosil," politisi Fraksi Partai NasDem itu.
Selain itu, RUU EBT secara filosofis, merupakan jawaban terhadap tujuan negara dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Upaya negara untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 33 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan.
"Menegaskan bahwa, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara," ungkap Sugeng, mengutip dari Pasal 33 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu, pemerintah dengan persetujuan DPR RI telah menetapkan, visi pengoptimalan penggunaan energi baru dan terbarukan, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Salah satunya, pemerintah telah menetapkan peran EBT paling sedikit mencapai 23 persen dalam bauran energi nasional pada tahun 2025.
Sumber: Liputan6.com
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Penyusunan ini sebelumnya dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.
Baca SelengkapnyaRumah bersama ini merupakan komitmen pemerintah untuk memperkuat kolaborasi antar kementerian/lembaga terkait untuk percepatan transisi EBT.
Baca SelengkapnyaRapat tersebut DPR direncanakan pada tanggal 13 Maret 2024.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Ini penjelasan Kementerian Keuangan mengenai utang baru Rp600 triliun.
Baca SelengkapnyaMeskipun harga beras saat ini mahal dan langka, Pemerintah tidak akan mengubah Harga Eceran Tertinggi (HET).
Baca SelengkapnyaPelaku usaha mendesak Kementerian Keuangan menunda pelaksanaan pengenaan pajak rokok untuk rokok elektrik.
Baca SelengkapnyaBawaslu meyakini terdapat aturan mengenai pengganti caleg tersebut bila ditetapkan terpilih sebagai anggota DPR RI.
Baca SelengkapnyaSecara rinci, pembiayaan utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp70,2 triliun atau setara dengan 10,5 persen terhadap APBN.
Baca SelengkapnyaAdanya peningkatan alokasi uang tersebut sejalan dengan proyeksi peningkatan transaksi masyarakat selama hari raya Idul Fitri 2024.
Baca Selengkapnya