Ma Otoh Lentera dari Garut, Mengajar Mengaji dengan Hati
Merdeka.com - Dalam kehidupan masyarakat, biasanya seorang disabilitas hidupnya sangat tergantung kepada sekitar. Bahkan tidak jarang distigma 'benalu' oleh masyarakat di sekitarnya.
Namun hal tersebut terbantahkan oleh sosok perempuan tunanetra di ujung perbukitan nun jauh di sana. Di balik keterbatasannya yang tidak bisa melihat sedari kecil, sudah 50 tahun Siti Masitoh atau Ma Otoh (65) mengajar mengaji kepada anak-anak.
Kabut dan gerimis menemani perjalanan liputan Ma Otoh di Kampung Panagan, Desa Mekarjaya, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Karena lokasi rumahnya ada di area pegunungan jalan terjal, becek, menanjak curam, dan berliku pun harus ditempuh.
Sesekali kendaraan harus diganjal batu untuk memastikan supaya mampu melaju naik ke atas. Namun perjuangan lelah tersebut berubah haru yang membuncah, manakala disambut senyum dan ramah dari Ma Otoh dari balik rumah semi permanennya.
Ma Otoh bukanlah tokoh viral yang pernah atau sering wara-wiri di dunia maya. Namun, kiprahnya ternyata mampu mewarnai dan mengubah kehidupan yang nyata di masyarakat kampungnya.
Dia bercerita menjadi penyandang disabilitas sejak usianya yang masih tiga tahun karena matanya pecah saat menderita cacar. "Mata saya pecah, sampai berdarah-darah. Kata ema, darah itu sampai membasahi satu samping kebat," kata Ma Otoh mengawali perbincangan degan merdeka.com, Selasa (5/4).
Ujian hidup seolah menjadi teman setia perjalanan sejarahnya. Berbekal hal tersebut, Mak Otoh tampil menjadi perempuan tangguh yang kelak mampu mengubah masyarakat. Sukaresmi adalah kecamatan dengan tingkat kemiskinan dan rendahnya pendidikan.
Di tahun 2014, salah satu lembaga kampus bekerja sama dengan Pemerintah provinsi Jawa Barat mengadakan sebuah riset di Kecamatan Sukaresmi. Dari 5.793 responden, diperoleh rincian responden termuda berusia sembilan tahun dan yang tertua 86 tahun.
Profil daerah ini memiliki sebanyak 2.151 atau 37.13 persen warga tidak sekolah dan tidak tamat SD. Angka ini tentunya hampir sepertiga populasi. Responden yang lulus SD berjumlah 47.09 persen. Sedangkan yang lulus SMP berjumlah 12.27 persen. Tamat SLTA, Akademi, dan tamat S1 atau lebih berturut-turut di bawah 5 persen.
©2022 Merdeka.com/Mochammad Iqbal
Fenomena kemiskinan, sanitasi, gizi buruk dan pendidikan menjadi persoalan yang kasat mata di daerah ini. Dalam konteks pendidikan, masalah yang utama tentunya adalah kemelekaksaraan. Hasil survei menunjukkan 43.34 persen responden tersebut mengalami kebutaaksaraan.
Namun ternyata Ma Otoh ini menjadi perempuan pengubah di masyarakat desa Sukaresmi. Di balik keterbatasannya dalam melihat, ia tetap hidup tanpa pamrih dengan berjuang, khususnya memberantas buta aksara Alquran dan motivasi belajar ke sekolah umum.
Berdasarkan informasi yang dihimpun merdeka.com, guru-guru ngaji sebelum Mak Otoh memiliki kultur pendidikan yang mensubordinasi pendidikan umum di bawah pendidikan agama. Banyak di antara mereka memiliki pemahaman yang pernah terlontarkan: "Sakira-kira sakola ngaganggu ngaji, geus weh eureun weh sakola teh". (Sekira-kira sekolah mengganggu ngaji, sudahlah sekolahnya berhenti saja).
Hingga saat ini, budaya tersebut masih ada di wilayah tersebut. Namun ternyata Ma Otoh melakukan perubahan dengan menyinergikan budaya mengaji dengan bersekolah. Singkatnya, ia menyebut bahwa sekolah dan ilmu agama tidak dikonfrontir menjadi sesuatu yang bertentangan.
Dengan kondisi tersebut, seiring keberadaan Ma Otoh, intensitas mengaji dan bersekolah semakin meningkat. Kini penduduk di daerah ini sudah banyak yang bersekolah dan mengaji secara sekaligus.
"Saya sudah mengajar ngaji sejak usia saya 15 tahun. Sebelumnya saya belajar mengaji dari Ajengan Ajid. Awalnya disuruh saja sama guru saya, jadi sebelum belajar kitab kuning belajar dulu ngaji ke saya," ungkapnya.
Kini usianya menginjak 65 tahun. Genap sudah 50 tahun pengabdiannya tercatat dalam tinta emas di masyarakat. Tepat tiga generasi telah dibina oleh Mak Otoh. Mulai dari kakeknya, ayahnya, kini cucunya yang dibina.
Prinsip yang menguatkan ia mengabdi secara lama ini adalah dengan kekuatan hati. Biar saja matanya yang buta, tapi tidak mampu membutakan hatinya.
Yang mengagetkan, Ma Otoh ternyata tidak mengajar anak-anak menggunakan Alquran braile, namun dengan kekuatan hatinya sehingga ia mampu membaca dengan cara mengusap Alquran saja.
"Emak ngawulang teh sok sanaos teu bisa ningali, pan ku hate. Caang hate. Jadi soca anu poek oge hatena anu caang (Emak mengajar walaupun tidak bisa melihat, tapi memakai hati. Terang hatinya. Jadi mata yang gelap juga, tetap hatinya terang)," ungkapnya.
Mak Otoh hidup sebatang kara di rumahnya karena dua anaknya tinggal di dua kota yang berbeda. Namun di tengah kesendiriannya, ia mampu hidup mandiri tanpa harus bergantung kepada belas-kasihan orang lain.
Ia memiliki sebuah warung jajanan untuk anak-anak mengaji. Untuk barang-barang di warungnya yang sangat sederhana, Ma Otoh pun berangkat ke pasar diantar anak didiknya menggunakan motor bebek yang diberikan oleh anaknya.
"Kalau belanja mah sehari dua hari sekali diantar. Paling belajar sekitar Rp300 ribu. Nanti jajanan yang dibeli dibelinya sama anak-anak yang ngaji," ucapnya.
Perniagaan Mak Otoh yang bila diakumulasikan per bulan mencapai Rp4,5 juta itu cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia memang tidak pernah menjadi kaya dengan usahanya, namun dari usahanya ini sangat cukup untuk menjadikannya sosok perempuan mandiri.
Untuk makan, Ma Otoh pun cenderung tidak menyulitkan orang lain. Untuk memasak nasi dan air, ia sendiri yang melakukannya di tungku kayu bakar. "Kalau kayunya memang suka dikirim oleh anak-anak yang mengaji, jadi tidak pernah kurang," ucapnya.
Ma Otoh saat ini menjadi sosok yang dituakan di kampungnya. Berbagai persoalan hidup di luar aktivitas mengaji, tokoh ini selalu dijadikan panutan dan rujukan oleh masyarakat. Mulai dari persoalan keluarga, pernikahan, perceraian, dagang dan lainnya.
Dia tidak hanya menasihati secara spiritualitas melalui doa, namun juga selalu memberikan motivasi hidup untuk bangkit melalui usaha dan ikhtiar yang maksimal.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Semua bermula ketika sang ayah menegurnya dengan nada suara kencang. Aksi sang anak tercinta kemudian berhasil menyentuh hati pria itu.
Baca SelengkapnyaNiatnya jadi mualaf sempat terombang-ambing karena ia ditipu oknum ustaz
Baca SelengkapnyaCerita Mucikari Anak Sekolah Tobat dan Langsung Mualaf Gara-gara Dapat Mimpi Berangkat ke Tanah Suci.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Kedua orang tuanya tampak memberikan wejangan yang bermanfaat untuk sang anak yang akan merantau kuliah.
Baca SelengkapnyaSebelum mulai bersekolah ada hal yang harus dipersiapkan orangtua agar bisa dilakukan anak.
Baca SelengkapnyaSang putra melesat berbintang empat, ayahnya justru hanya berpangkat rendah.
Baca SelengkapnyaSang ibu justru menolak dengan alasan yang membuatnya terharu.
Baca SelengkapnyaPenting untuk mengajarkan pesan kehidupan kepada anak.
Baca SelengkapnyaBerikut kisah pasutri petani yang punya 10 anak berprofesi mentereng.
Baca Selengkapnya