Istana: Kita Harus Punya Kontra Narasi Buat Mengatasi Hoaks
Merdeka.com - Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodharwani membahas terkait kerasnya gelombang informasi hoaks yang bertebaran di masyarakat. Hal ini tidak lepas dari semakin tingginya tren penggunaan sosial media.
"Kalau kita melihat hal terakhir ini, saya rasa kehadiran media sosial ini selain kecepatan informasi instan, tapi juga kerapuhan dalam memotong, mem-framing, persoalan utuh yang harusnya bisa diketahui publik," tutur Jaleswari di kawasan Menteng, Jakarta Selatan, Minggu (3/11).
Menurut Jaleswari, masyarakat kini lebih banyak kurang betah membaca informasi yang disajikan dalam bentuk panjang. Sementara mereka selalu mengonsumsi tulisan renyah, receh, dan singkat di sosial media yang mem-framing sesuatu dan kemudian diviralkan.
"Jadi ketelatenan kita melihat fakta terkesan tidak terjadi. Misalnya kita tahu hasil survei Burhanuddin Muhtadi, yang terpapar hoaks itu mereka yang pendidikannya tinggi. Pertanyaan kita, kenapa yang berpendidikan tinggi malah kena. Kominfo merilis ada 486 berita hoaks yang 296 itu persoalan politik, selama Pilpres 2019, 800 ribu situs memproduksi hoaks," jelas dia.
Secara umum, hoaks memang menjadi masalah di seluruh negara dunia, termasuk Amerika dan Jerman. Sementara di Indonesia, masyarakat masih terlalu meremehkan bahaya dari sejumlah karakter huruf yang diketik di Twitter tanpa sadar akibatnya, melihat pengalaman pahit sejumlah negara maju.
"Berita-berita yang tidak dapat klarifikasi, sehingga dipercaya sebagai kebenaran itu menjadi fakta sendiri. Kita tahu ini hal baru di pemerintahan ini. Kita harus punya kontra narasi yang harus cepat mengatasi. Kalau sudah 24 jam saja bisa terlambat dan itu dipercaya sebagai kebenaran," beber Jaleswari.
Dia mencontohkan sejumlah program di pemerintahan yang menjadi sasaran berita hoaks lantaran pembelahan dalam berpolitik. Dampaknya, banyak program populis yang akhirnya tidak sampai informasinya kepada masyarakat bawah.
"Dan hak-hak mereka ini jadi tertunda mendapatkannya. Misalnya KIS, KIP, rujukan kepada korban-korban maupun kepada perempuan korban di-grassroot, itu tidak tersampaikan dengan baik," terangnya.
Jaleswari mencontohkan saat kunjungannya ke Aceh untuk bertemu korban pelanggaran HAM masa lalu. Ketika membicarakan tentang pemberdayaan ekonomi lokal, bahwa ada program pemerintah gratis yang bisa diakses, masyarakat pun tidak tahu.
"Mereka tidak tahu informasi karena itu selalu disebarkan berita hoaks. Karena itu bukan program, itu bohong dari pemerintah, dan lain-lain. Jadi hoaks bukan hanya merugikan karena memecahbelah kita, tetapi juga mengabaikan, menunda hak yang harusnya didapatkan masyarakat di kalangan grassroot," Jaleswari menandaskan.
Reporter: Nanda Perdana (Liputan6.com)
(mdk/did)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sisa berita hoaks lainnya tidak diturunkan, melainkan hanya diberikan stempel hoaks karena dianggap tidak terlalu berbahaya.
Baca SelengkapnyaIni sosok wanita yang bisa menemui Presiden Jokowi tanpa dicegah Paspampres. Tenyata punya jabatan penting di Istana.
Baca SelengkapnyaWarga diminta tidak terpancing berita hoaks dan SARA terkait Pemilu.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Masyarakat diimbau untuk selalu mengecek kebenaran informasi sebelum menyebarkannya dan melaporkan hoaks kepada pihak berwenang.
Baca SelengkapnyaJenderal Bintang Empat tersebut pun mewanti-wanti pentingnya menjaga kerukunan dan perdamaian selama proses pemilu.
Baca Selengkapnyaberedar di media sosial yang mengeklaim bahwa Marsdya TNI Tonny Harjono adalah adik ipar dari Iriana Jokowi
Baca SelengkapnyaPolisi mengajak masyarakat untuk melawan hoaks terkait Pemilu.
Baca SelengkapnyaJokowi mengingatkan hakim agar peka terhadap rasa keadilan masyarakat dan mengikuti perkembangan teknologi.
Baca Selengkapnya"Pak Presiden tadi menitipkan kepada kami para kepala desa yang hadir ini untuk menjaga pemilu"
Baca Selengkapnya