2 Oktober Surat Kabar Harian Rakjat Milik PKI Berhenti Beredar, Ini Sepak Terjangnya
Meskipun Harian Rakjat telah berhenti terbit, jejak dan pengaruhnya masih terasa dalam sejarah Indonesia.
Harian Rakjat adalah sebuah surat kabar yang diterbitkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Harian ini merupakan salah satu media yang sangat berpengaruh pada zamannya. Didirikan pada tahun 1951, motto Harian Rakyat adalah “Untuk rakyat hanya ada satu harian, Harian Rakyat!”. Harian Rakyat dikelola oleh Njoto sebagai anggota dewan redaksi dan Mula Naibaho sebagai pemimpin redaksi.
Surat kabar ini memiliki peran penting dalam menyebarkan ideologi dan pemikiran komunis di Indonesia, serta memberikan suara kepada masyarakat yang mendukung gerakan sosial dan politik yang diusung oleh PKI. Dalam konteks politik yang penuh gejolak pada masa itu, Harian Rakjat menjadi salah satu saluran utama untuk menyampaikan berita dan pandangan yang sejalan dengan agenda partai.
-
Kapan PKI dibubarkan? Sampai pada akhirnya mereka berseteru hingga keberadaannya pun dibredel. Para anggota PKI pun dipecat dari kabinet dan partai merah tersebut dibubarkan.
-
Bagaimana tokoh PKI itu akhirnya mati? Orang itu baru tewas setelah peluru diusap dengan pasir sambil didoakan.
-
Kapan BPUPKI dibubarkan? Tepat hari ini, 7 Agustus pada tahun 1945 silam, BPUPKI dibubarkan.
-
Dimana kejadian tokoh PKI kebal peluru itu terjadi? Komandan Batalyon Kala Hitam Mayor Kemal Idris dan seorang perwira peninjau dari Australia melihat langsung ada tokoh PKI tak mempan ditembak.
-
Bagaimana cara BPUPKI dibubarkan? Pada 7 Agustus 1945, BPUPKI resmi dibubarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang dan digantikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau Dokuritsu Junbi Inkai.
-
Apa yang terjadi pada tokoh PKI yang kebal peluru? Ada sejumlah tokoh PKI ternyata tak mempan ditembak. Mereka punya ilmu kebal peluru.
Pada 2 Oktober 1965, Harian Rakjat resmi dihentikan penerbitannya, bersamaan dengan meningkatnya ketegangan politik dan konflik di Indonesia. Penutupan surat kabar ini menandai babak akhir bagi PKI dalam mengkomunikasikan ideologi mereka kepada publik, terutama di tengah kondisi sosial-politik yang semakin tidak stabil menjelang peristiwa G30S/PKI.
Pemberhentian ini mencerminkan reaksi terhadap semakin meningkatnya penindasan terhadap partai dan para pendukungnya, yang pada akhirnya mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap kebebasan pers dan hak berpendapat di Indonesia. Meskipun Harian Rakjat telah berhenti terbit, jejak dan pengaruhnya masih terasa dalam sejarah Indonesia.
Surat kabar ini mencerminkan bagaimana media dapat digunakan sebagai alat untuk mempromosikan ideologi dan memobilisasi massa. Berikut kisah sepak terjangnya dalam sejarah media Indonesia yang menarik untuk disimak.
Latar Belakang Pendirian Surat Kabar Harian Rakjat
Latar belakang pendirian Harian Rakjat oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak terlepas dari konteks sosial, politik, dan ekonomi yang melanda Indonesia pasca kemerdekaan. Setelah proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia mengalami berbagai tantangan dalam membangun negara, termasuk ketidakstabilan politik, konflik internal, dan perbedaan ideologi.
Dalam suasana ini, PKI melihat pentingnya memiliki media massa yang dapat menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat, khususnya dari kalangan buruh dan petani yang menjadi basis pendukung mereka. Pendirian Harian Rakjat pada tahun 1950 bertujuan untuk memberikan suara kepada rakyat dan menyebarkan ideologi komunis yang mengedepankan keadilan sosial.
Selain itu, Harian Rakjat didirikan sebagai respons terhadap pengaruh media massa yang lain yang ada di Indonesia pada waktu itu. Banyak surat kabar yang didominasi oleh kalangan elite dan tidak mencerminkan kepentingan rakyat kecil.
PKI menyadari bahwa untuk memenangkan dukungan publik, mereka perlu memiliki saluran informasi yang mampu menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas. Dengan menerbitkan Harian Rakjat, PKI berharap dapat mengedukasi masyarakat tentang ajaran dan perjuangan mereka serta membangun solidaritas di antara rakyat untuk melawan ketidakadilan yang dialami.
Harian Rakjat tidak hanya berfungsi sebagai alat propaganda bagi PKI, tetapi juga berupaya untuk memberikan berita dan informasi yang akurat mengenai situasi sosial-politik yang terjadi di Indonesia. Melalui artikel-artikel yang ditayangkan, surat kabar ini menyajikan analisis tajam tentang isu-isu yang dihadapi masyarakat, seperti ketimpangan sosial, penggusuran tanah, dan perburuhan.
Dengan pendekatan ini, Harian Rakjat berusaha untuk memperkuat posisi PKI sebagai wakil suara rakyat dan mendukung perjuangan kelas pekerja melawan penindasan dan ketidakadilan. Gaya jurnalisme yang diusung oleh Harian Rakyat adalah 'jurnalisme konfrontasi' dengan bahasa yang meledak-ledak. Editorialnya bersifat konfrontatif, sehingga menimbulkan konflik dengan media lain.
Surat kabar ini selalu mengambil sikap yang berani dan ofensif terhadap lawan-lawannya. Gaya bahasanya yang sederhana, lincah, dan lugas - sesuai dengan ajaran Marxisme dan Leninisme - mudah dipahami oleh para petani dan buruh yang menjadi basis dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Larangan Terbit
Pendirian dan keberadaan Harian Rakjat juga tidak lepas dari tantangan dan ancaman. Di tengah meningkatnya ketegangan politik antara berbagai kelompok ideologi di Indonesia, PKI dan media yang mendukungnya sering menjadi sasaran kritik dan penindasan. Dengan gaya konfrontatifnya, Harian Rakyat selalu menentang pihak-pihak lain dan penguasa. Karena pesannya dianggap melanggar aturan yang diberlakukan oleh pemerintah saat itu, Harian Rakyat sempat dilarang.
Larangan pertama terjadi selama 23 jam, antara tanggal 13 September 1957, pukul 21.00 dan 14 September 1957, pukul 20.00. Surat kabar lainnya, seperti Indonesia Raya, Bintang Timur, Pemuda Merdeka, Djiwa Baru, Pedoman, Keng Po, dan Java-bode, serta tiga kantor berita: Antara, PIA, dan INPS juga dilarang pada periode yang sama.
Larangan tersebut diulangi pada 16 Juli 1959, selama satu bulan karena surat kabar tersebut menerbitkan pernyataan CC PKI pada 3 Juli, yang berjudul “Penilaian sesudah satu tahun Kabinet Kerdja, Komposisi, tidak mendjamin pelaksanaan program 3 pasal, perlu segera diretul”. Pada 2 Agustus 1959, sebulan setelah pelarangan, Harian Rakyat kembali terbit.
Pada 2 November 1959, surat kabar ini kembali dilarang oleh Penguasa Perang. Kali ini, alasannya tidak begitu jelas. Hal ini menyebabkan perluasan peredaran Harian Rakyat yang dipimpin oleh petinggi PKI D.N. Aidit, M.H. Lukman, dan para aktivis PKI lainnya, langsung turun ke jalan.
Pada 9 Desember 1959, Harian Rakyat kembali dilarang karena memuat berita tentang “Tjeramah Njoto di gedung SBKA” yang dimuat pada 24 November 1959. Alasan pelarangan juga tidak begitu jelas, sehingga menimbulkan protes. Setelah mendapat tekanan, Harian Rakyat akhirnya diizinkan, dan terbit kembali pada 23 Desember 1959.
Pada 3 Februari 1961, surat kabar ini kembali dilarang di wilayah Jakarta Raya alasan pelarangan tersebut adalah pidato sambutan dari ketua PKI D.N. Aidit pada ulang tahun ke-10 Harian Rakyat. Dalam pidatonya, Aidit mengangkat masalah demokrasi dan kebebasan politik. Menurut Penguasa Perang, hal ini dapat mengganggu stabilitas politik di Indonesia.
Diberhentikan Edarannya pada 2 Oktober 1965
Puncaknya, pada 2 Oktober 1965, Harian Rakjat dihentikan penerbitannya, menandai akhir dari upaya PKI untuk menyebarkan ideologi dan program-program mereka melalui media massa. Larangan terbitnya Harian Rakjat pada 2 Oktober 1965 merupakan salah satu titik krusial dalam sejarah media dan politik di Indonesia.
Penutupan surat kabar ini tidak hanya mencerminkan konflik ideologi yang terjadi saat itu, tetapi juga menjadi bagian dari reaksi terhadap semakin meningkatnya ketegangan politik antara PKI dan kekuatan lainnya di dalam negeri, terutama militer dan kelompok nasionalis.
Keputusan untuk melarang terbitnya Harian Rakjat diambil dalam konteks ketidakstabilan yang melanda Indonesia menjelang peristiwa Gerakan 30 September (G30S). PKI yang saat itu berada di posisi kekuasaan yang signifikan dianggap sebagai ancaman oleh sejumlah pihak.
Dengan meningkatnya tekanan dari militer dan gerakan anti-komunis, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk membungkam suara-suara yang dianggap berpotensi mengganggu keamanan dan stabilitas negara. Penutupan Harian Rakjat menjadi simbol nyata dari tindakan represif terhadap kebebasan pers dan ekspresi.
Tidak hanya dibubarkan, semua anggota PKI dan aktivis yang mendukung koran ini diburu, ditangkap, dipenjara, bahkan dibunuh. Kata-kata terakhir dari editor kepada para pembacanya adalah “Banyak-banyak terima kasih, sekalian para pembaca!”