Toeti Amir Kartabrata, Pejuang Perempuan di Garis Depan Bandung Selatan

Kamis, 23 Maret 2023 06:07 Reporter : Merdeka
Toeti Amir Kartabrata, Pejuang Perempuan di Garis Depan Bandung Selatan Toeti Amir Kartabrata (1946), kedua dari kanan, dengan rambut dikepang tengah memegang senjata. ©IPPHOS/Frans Mendoer

Merdeka.com - Tak diizinkan orangtua pergi ke medan laga, dia nekat 'mengancam' orangtuanya akan meledakkan 'granat' yang sebenarnya hanya sebutir buah mangga.

Penulis: Hendi Jo

Jika Anda membuka buku-buku yang mengupas sejarah peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946, maka seringkali kita menemukan foto-foto yang sangat unik.

Salah satunya adalah foto yang menggambar sekelompok remaja bersenjata lengkap tengah menaiki sebuah mobil terbuka. Yang menarik, salah satu dari mereka adalah seorang gadis belia dengan senyum manisnya yang mengembang. Siapakah gerangan?

Dia tak lain adalah Toeti Amir Kartabrata. Prajurit perempuan dari Lasjkar Wanita Indonesia (LASWI) Bandung. Ketika saya mewawancarainya pada 2011, perempuan kelahiran tahun 1930 masih ada dan lancar menceritakan semua pengalamannya saat menjadi pejuang muda di Bandung.

"Itu yang mengambil foto adalah Frans Mendoer dari IPPHOS," kenangnya dalam nada gembira.

2 dari 5 halaman

Pengganggu Kemerdekaan

Toeti mengisahkan bagaimana situasi Bandung yang sedang 'terjangkit' demam revolusi. Saat itu usianya baru 15 tahun. Di mana-mana anak-anak muda mengangkat senjata dan pekik merdeka kerap terdengar hampir tiap hari dari sudut-sudut kota Bandung.

Selain gema proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, situasi itu juga dipicu meningkatnya ketegangan antara orang-orang Indonesia dengan orang-orang Belanda yang baru saja menikmati kebebasan dari penindasan bala tentara Jepang yang sudah kalah perang.

"Kendati pertikaian bersenjata masih belum banyak terjadi, tetapi kedua pihak sudah ada dalam situasi siaga untuk bertempur," ungkap John R.W. Smail dalam Bandung in the Early Revolution, 1945-1946.

Yang terjadi kemudian, di Bandung banyak bermunculan organisasi bersenjata yang disebut laskar. Sebut saja misalnya laskar Barisan Banteng Repoeblik Indonesia (BBRI) Pemoeda Sosialis Indonesia (Pesindo), Kebaktian Repoeblik Indonesia Soelawesi (KRIS) Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia (BPRI), Hizboellah, Sabilillah dan lain sebagainya.

Kedatangan Brigade Infanteri India ke-37 pimpinan Brigadier N. MacDonald pada 17 Oktober 1945 menjadikan situasi tegang di Bandung semakin bertambah.

Alih-alih menjadi aman, kehadiran para serdadu yang baru saja memenangi Perang Dunia II itu malah memicu kelompok-kelompok bandit untuk menjalankan aksinya atas nama perjuangan.

"Kami berpikir mereka datang bukan untuk menjadi pengaman tetapi sebagai pengganggu kemerdekaan Indonesia," ujar Toeti.

3 dari 5 halaman

Berdirinya LASWI

Kekisruhan tersebut secara langsung berimbas kepada rakyat banyak, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Mereka menjadi sasaran terlemah dari situasi kacau tersebut.

Untunglah, dalam kondisi seperti itu, ada perempuan yang peduli dengan nasib kaumnya. Dia adalah Soemarsih Soebijati Aroedji (akrab dipanggil Jati Aroedji), yang merupakan istri dari Aroedji Kartawinata, pimpinan Badan Keamanan Rakjat (BKR) di Jawa Barat.

Pada 12 Oktober 1945, Jati Aroedji mendirikan Lasjkar Wanita Indonesia (LASWI). Untuk anggotanya, dia merekrut para perempuan Bandung dari semua kalangan, termasuk para remaja putri, ibu rumah tangga dan para janda. Namun dalam kenyataannya, upaya perekrutan itu ternyata bukan hal yang gampang.

Menurut Annie Bertha Simamora dalam Satu Abad Kartini 1879-1979, sejatinya banyak orangtua yang tak mau putrinya terlibat dalam LASWI. Mereka tak sudi anak gadisnya yang berparas molek dibawa ke front untuk diperlakukan sebagai 'perempuan perang': disuruh memanggul senjata atau menghunus bambu runcing.

"Ada juga yang beralasan anaknya hanya satu," ungkap Annie.

4 dari 5 halaman

Ancam Ledakan Granat Padahal Buah Mangga

Sebagian besar remaja putri itu memiliki pandangan berbeda dengan para orangtua. Alih-alih mengikuti pendirian ayah-bundanya, mereka malah nekad kabur dari rumah untuk mendaftarkan diri sebagai anggota LASWI. Salah satunya adalah Toeti.

Sebenarnya Toeti telah meminta izin secara baik-baik kepada orangtuanya untuk masuk LASWI. Alih-alih mendapat izin, dia malah mendapat murka orangtuanya.

Dasar nekat, Toeti malah kabur dari rumah dengan mencuri celana panjang milik salah seorang keponakan ibunya. Sebagai catatan, anggota LASWI memang wajib mengenakan celana panjang seperti laki-laki. Itu dilakukan sebagai cara supaya mereka luwes saat berkegiatan.

Jati yang kemudian mengetahui anak buahnya itu pergi tanpa izin orangtua lantas menyuruh Toeti untuk kembali. Dengan ditemani Nani Soemarni, salah satu kawannya yang sudah resmi menjadi anggota LASWI, dia kemudian menemui orangtua-nya untuk kembali meminta izin.

"Saya 'ancam' orangtua saya: jika tidak diizinkan maka saya akan meledakkan granat yang ada di saku celana saya," kenang Toeti.

Takut dengan ancaman itu, orangtua Toeti pun akhirnya luluh juga. Namun benarkah dia akan meledakkan granat di depan orangtuanya jika tak diizinkan?

"Ya enggaklah, eta mah ukur nga-gos (itu hanya menggertak saja). Bagaimana mau ngebom, kalau 'granat' yang saya kantongi itu sebenarnya hanya sebutir mangga saja," kenang perempuan sepuh itu sambil tersenyum.

5 dari 5 halaman

Komandan Brigade I LASWI

Setelah digembleng latihan-latihan dasar kemiliteran oleh para alumni PETA (Pembela Tanah Air), Toeti lantas didapuk menjadi komandan Brigade I LASWI. Ketika militer Inggris meminta agar bagian utara Bandung dikosongkan pada November 1945, dia mulai banyak bertugas di front selatan Bandung.

Namun dari berbagai pengalaman yang dia pernah ikuti, ada beberapa peristiwa paling berkesan yang tak pernah dilupakannya seumur hidupnya. Salah satunya adalah ketika dia ikut mengatur arus pengungsi yang akan keluar dari kota Bandung pada 24 Maret 1946. Toeti menyaksikan banyak orang yang dia kenal dan sayangi berada di antara ribuan pengungsi.

"Anak-anak kecil tetangga yang lucu-lucu dan sering saya goda tiba-tiba harus jadi pengungsi perang, ikut menderita bersama orang-orang dewasa malam itu. Rasanya tak tega. Tapi ya saya bisa apa?" ungkapnya dalam nada sedih.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini