Teror dan Jejak Kekejaman Westerling di Tanah Priangan
Merdeka.com - Sesudah melakukan aksi mautnya di Sulawesi Selatan, De Turco merajalela di barat Jawa.
Penulis: Hendi Jo
Tahun 1947-1948 adalah hari-hari di mana malaikat el maut bergentayangan di wilayah Takokak. Nyaris dua kali dalam seminggu, orang-orang yang dituduh kaum Republiken dibawa ke wilayah terpencil yang berada di selatan Cianjur itu. Bukan untuk dipenjarakan atau diasingkan, tetapi untuk dihilangkan nyawanya di hutan-hutan dan puncak-puncak gunung.
"Bagi orang Takokak, bunyi rentetan tembakan dari kejauhan sudah tak asing lagi. Itu tandanya ada orang-orang yang dihukum mati di Puncak Bungah, Jalan Lima, Pasir Tulang, Ciwangi dan kawasan hutan lainnya," ungkap Andien, eks lurah di Takokak.
Kejadian yang sama juga pernah dialami oleh Atjep Abidien. Suatu hari pada 74 tahun yang lalu, dirinya tengah berjalan di atas pematang sawah ketika sebuah truk militer tertutup berhenti kira-kira 300 meter di hadapannya.
Begitu tahu bahwa truk itu milik tentara Belanda, Atjep langsung bersembunyi di balik semak-semak. Tetapi dia tidak lari. Sebagai anggota gerilyawan Republik, keingintahuannya lebih besar dibanding ketakutannya saat melihat kendaraan yang mencurigakan itu.
Benar saja, begitu berhenti di depan hutan Cigunung Putri, tiga prajurit berbaret hijau dengan senjata terkokang, keluar dari truk tersebut. Dua orang bule dan seorang pribumi.
"Saya tahu salah satu dari bule itu adalah algojo Belanda yang terkenal paling bengis. Namanya Werling," kenang lelaki kelahiran tahun 1925 itu.
Jejak Westerling di Cianjur
Werling dan kedua kawannya lantas menurunkan 15 lelaki berpakaian sipil secara kasar. Mereka terdiri dari remaja dan orang dewasa yang semuanya diikat secara bersambung, membentuk satu barisan ke belakang. Kepasrahan terlihat di wajah-wajah itu.
Kelompok pesakitan tersebut kemudian digiring ke dalam hutan. Begitu orang-orang itu memasuki hutan, 15 menit kemudian terdengar rentetan tembakan.
"Orang-orang itu memang ditembak mati. Saya tahu, karena setelah situasi aman, saya menemukan mayat-mayat mereka di sebuah tempat bernama Jalan Lima," ungkap Atjep.
Banyak kalangan yang menyebut jika Werling yang disebut Atjep tak lain adalah Kapten R.P.P. Westerling alias De Turco (Si Turki), komandan Depot Pasukan Khusus (DST) yang pernah menumpahkan darah di Sulawesi Selatan pada akhir 1946 dan awal 1947. Salah satunya yang meyakini itu adalah Yusup Soepardi, eks anggota Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi.
"Pasukan Baret Hijau (DST) yang dipimpin Westerling memang pernah bermarkas di Nyalindung (sekira 15 km dari Takokak) pada 1947-1948," ujar eks gerilayawan Republik yang pernah aktif berjuang di wilayah Takokak itu.
Menurut Remy Limpach dalam De brandende kampongs van General Spoor (Kampung-kampung yang Dibakar Jenderal Spoor), akhir Februari 1947 Westerling dipulangkan dan menempati pos di kembali ke Jawa setelah menyelesaikan operasi pembersihan yang sukses di Sulawesi Selatan.
Belum jelas benar, di mana tepatnya Westerling ditempatkan usai dari Sulawesi Selatan. Yang jelas menurut beberapa kesaksian para pejuang Republik, dia selalu terlihat bersama pasukannya di wilayah Priangan. Terutama di wilayah Cianjur Selatan dan Bandung Barat (Batujajar, Cililin serta Gunung Halu)
"Musuh yang kami hadapi adalah KST (pengganti nama DST) pimpinan Kapten Westerling…," ujar Soegih Arto (eks komandan Batalyon 22 Djaja Pangrerot di wilayah Bandung Barat) dalam otobiografinya, Saya Menulis Anda Membaca: Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto.
Para Perempuan Diperkosa
Peneliti sejarah dari Historika Indonesia V.R. Nayoan membenarkan informasi Soegih Arto. Mengacu kepada bukunya Dominique Venner, Westerling: De Eenling (Westerling Sang Penyendiri), dia menyebut selain di wilayah Cililin, Batujajar dan Gunung Halu, Westerling pun menyebut pernah beroperasi di Karawang.
"Di kesempatan lain, dia juga menyatakan pernah bertugas di Cibarusah (perbatasan Cianjur-Bekasi)," ujar Nayoan.
Di Gunung Halu, KST bahkan pernah melakukan praktik kekerasan dan aksi pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan muda. Itu disaksikan sendiri oleh Soegih Arto yang saat itu berada di suatu bukit yang tak jauh dari lokasi kejadian.
"Rasanya masih terdengar jelas jeritan dari para perempuan yang diperkosa itu…" ungkap Soegih Arto.
Saat itu Soegih sendiri mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain jumlah pasukannya lebih sedikit dan kalah persenjataan, dia pun lebih mengkhawatirkan keselamatan ratusan orang kampung lainnya yang tengah ditawan pasukan Baret Hijau tersebut. Menurutnya posisi orang-orang kampung lainnya (termasuk anak-anak dan orang tua) persis ada di tengah kumpulan para prajurit KST.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Polisi ungkap detik-detik peristiwa tewasnya eks calon siswa Bintara Iwan oleh anggota TNI AL Serda Adan.
Baca SelengkapnyaPenangkapan teroris itu berjalan linier dengan menurunnya aksi terorisme di Indonesia.
Baca SelengkapnyaDetasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kembali mengamankan satu orang anggota teroris di Sulawesi Tengah Sulteng.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Salah satu masyarakat asli Sumatra Timur yang kesehariannya hidup di perairan ini berperan dalam melestarikan kehidupan bahari.
Baca SelengkapnyaPemerintah Provinsi Jawa Barat siap mengirimkan keikutsertaan Tari Kandangan pada 17 Agutus di Istana Merdeka
Baca SelengkapnyaKerajaan yang dijadikan tema antara lain Aceh, Sunda Kelapa, Jawa Tengah, Bali, Toraja, Medan dan Pasundan
Baca SelengkapnyaKonon pulau ini tidak ditemukan, namun akibat sebuah peristiwa yang luar biasa, Pulau Si Kantan ini muncul.
Baca SelengkapnyaSebelum gajah menyerang, seorang warga melakukan pengusiran terhadap gajah tersebut.
Baca SelengkapnyaSejarah teri kecak dan juga makna gerakannya yang perlu diketahui.
Baca Selengkapnya