Merdeka.com - Buya Hamka adalah seorang wartawan, penulis, serta filsuf Indonesia yang namanya sudah berkaliber sejak masa pergerakan nasional. Buya menjadikan media sebagai corong dakwah untuk umat. Mulai dari kisah, syiar agama hingga opini politik disampaikan selama petualangannya di ranah media.
Buya Hamka kembali ke Padang Panjang pada tahun 1925. Kepulangannya membawa pengalaman yang cukup banyak setelah merantau ke Jawa. Langkah pertama yang ditempuhnya setelah kembali dari perantauan adalah mendirikan Tabligh Muhammadiyah. Sebuah sekolah untuk mendidik kader-kader Muhammadiyah di kampung halamannya.
Dalam buku Hamka: Ulama Serba Bisa dalam Sejarah Indonesia, Buya Hamka mengadakan kursus pidato untuk kawan-kawan sejawatnya. Dari kursus-kursus tersebut, dia berhasil memproduksi tulisan teman-temannya.
Salah satunya adalah Khathibul-Ummah yang dijadikan sebagai 'Ketua Pengarang' atau pemimpin redaksi. Secara tidak langsung, Tabligh Muhammadiyah sudah menerbitkan majalah ketika itu. Jadi di tahun 1925 Hamka telah mulai mengarang, dalam usia 17 tahun dan dengan tidak latihan sekolah lebih dahulu.
Buya Hamka dikenal sebagai sosok yang gemar menulis. Hal ini terlihat jelas ketika dia kembali dari Mekkah. Hamka semakin rajin mengirimkan tulisannya ke berbagai media. Beberapa di antaranya seperti majalah Pembela Islam (Bandung), Suara Muhammadiyah (Yogyakarta), majalah Adil (Solo), dan harian Pelita Andalas sebagai kontributor laporan perjalanan.
Kegiatannya selama di Muhammadiyah juga telah mendorong bakatnya di bidang pers. Pada tahun 1928, Hamka ditunjuk sebagai redaktur majalah Kemajuan Zaman, yang diterbitkan sebagai hasil konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang.
Pada tahun 1932 Hamka juga sempat menerbitkan majalah Tentera, majalah Al-Mahdi, hingga majalah pengetahuan Islam bulanan ketika diutus menjadi mubalig ke Makassar.
Empat tahun setelahnya, Hamka kembali ke Medan dan mendirikan majalah Pedoman Masyarakat (1936–1943). Pada masa puncaknya, oplah dari majalah ini mencapai 4.000 eksemplar setiap bulannya. Jumlah tersebut terhitung banyak bagi media pribumi kala itu.
Kiprahnya selama di Pedoman Masyarakat membuat namanya melambung di dunia pers sebagai tokoh jurnalistik beraliran islami.
"Sebuah majalah kebudayaan ‘memajukan ilmu pengetahuan dan peradaban, berdasar Islam’ sebagai pedoman masyarakat itu telah segera mempunyai kepribadian; kepribadian majalah itu ialah corak pribadi pimpinannya," ucap Buya Hamka sebagai pemimpin Pedoman Masyarakat dalam Kenang-kenangan Hidup Jilid II.
Namun, Pedoman Masyarakat dilarang terbit selama masa pendudukan jepang di Indonesia.
Setelah itu, Buya Hamka kembali aktif memimpin majalah Semangat Islam (1943) dan kemudian majalah Menara (1946) pada masa revolusi. Akan tetapi, kedua majalah ini tidak berumur panjang. Setelah itu, di tengah-tengah kesibukannya sebagai pegawai negeri di Jakarta, Hamka juga mengasuh majalah Mimbar Agama terbitan Departemen Agama (1950–1953).
Pada akhir periode tahun 1950-an, Hamka kembali mendirikan terbitan majalahnya. Kebutuhan akan media penyaluran dakwah dan pemikiran Islam di tengah gencarnya arus pemikiran kiri kala itu menjadi salah satu alasannya.
Terbitan pertama majalah itu diberi nama Panji Masyarakat, disingkat menjadi Panjimas dan terbit pertama kali pada 15 Juni 1959 dengan Hamka sebagai editor.
Nama Panji Masyarakat diambil dari dua nama majalah terkenal di kurun Hindia Belanda, yakni Panji Islam (yang dipimpin oleh Zainal Abidin Ahmad dan M. Joesoef Ahmad) juga Pedoman Masyarakat yang dipimpin oleh Hamka. Hal ini diungkapkan oleh Sidi Gazalba yang pernah terlibat sebagai asisten di Panjimas.
Panjimas berdiri secara independen. Meskipun begitu, majalah ini kental dengan pengaruh Muhammadiyah. Pada masa itu tidak terdapat bacaan di kalangan umat Islam sehingga Panjimas digemari secara luas di seluruh Indonesia. Dalam rangka reformasi Islam, Panjimas menekankan pendekatan kebudayaan.
"Pendekatan ini dalam banyak hal merupakan refleksi dari kepribadian pemimpin redaksinya, Buya Hamka, yang secara konsisten berusaha tidak melibatkan dirinya dalam kancah politik," kata Azyumardi Azra yang pernah menjadi anggota redaksi Panjimas.
Advertisement
Pada mulanya, Panjimas tidak berorientasi pada politik. Namun, kebijakan Sukarno menegakkan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menimbulkan kekecewaan di kalangan umat Islam. Termasuk Hamka dan Panjimas.
Panjimas gencar menolak Manifesto Politik (Manipol) dan Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian Nasional (Usdek) yang Bung Karno canangkan dengan dukungan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Puncaknya ketika redaksi Panji Masyarakat yang dipimpin Hamka memuat artikel Mohammad Hatta yang berjudul 'Demokrasi Kita'. Artikel yang terbit pada 1 Mei 1960 tersebut mengkritik keras Sukarno dan pelaksanaan konsepsi Demokrasi Terpimpinnya. Hamka bahkan turun gunung untuk membaca naskah dan mengawasi pencetakannya.
"....Buya Hamka sendiri sebagai pengawas pencetakannya meneliti sampai titik-komanya, tidak boleh ada salah cetak sedikit pun, untuk menyesuaikan dengan kebiasaan Bung Hatta yang selalu correct dan seorang perfectionist dalam hal tulis-menulis," seperti yang tertulis dalam Mohammad Hatta: Beberapa Pokok Pikiran.
Tulisan tersebut membuat Bung Karno naik pitam. Akibatnya, jatah kertas Panjimas pun dipersulit. Penerbitan Panjimas tersendat. Pada akhirnya dibredel oleh pemerintah pada 17 Agustus 1960. Begitu pun beberapa pers lainnya seperti harian Abadi (Masyumi) dan Indonesia Raya juga Pedoman milik Partai Sosialis Indonesia ikut dibredel.
Namun, semangat Hamka tidak pernah padam. Terbukti, Hamka menerbitkan kembali majalah Islam pada tahun 1962. Majalah itu bernama Gema Islam dengan dukungan dari Mayor Jenderal Sudirman dan Kolonel M. Rowi. Gema Islam menandakan upaya persatuan antara golongan Islam dan militer untuk membendung pers golongan kiri.
Nama Hamka memang hanya tercatat sebagai ‘asisten’. Kendati demikian, Hamka justru yang mengendalikan majalah tersebut. Majalah ini terbit perdana pada 15 Januari 1962.
"Majalah Gema Islam pada dasarnya meneruskan garis yang hampir sama dengan Panjimas atau pun Pedoman Masyarakat," tulis Rusydi Hamka yang merupakan anak dari Buya Hamka.
Karir Hamka di Gema Islam tidak bertahan lama, karena pada tahun 1964 Hamka ditahan atas tuduhan subversif terhadap pemerintah dan dijebloskan ke dalam penjara. Buya Hamka baru dibebaskan pada tahun 1966 ketika pemerintahan Orde Baru dan menghidupkan kembali Panjimas.
Muhammad Rigan Agus Setiawan
[noe]Kalahkan Jenderal TNI, Anak Buah Joget-Joget
Sekitar 10 Jam yang laluPerlakuan Pasukan Elite Belanda dan Andjing NICA Bikin Pasukan Siliwangi Emosi
Sekitar 1 Hari yang laluCerita Alex Kawilarang Versus Perwira Tentara Elite Belanda
Sekitar 2 Hari yang laluHikayat Depok: Mulai dari Belanda Depok Hingga Punya Presiden Sendiri
Sekitar 2 Hari yang laluCerita Kepanikan Tentara Belanda dan Helm Bertulis Nama Wanita yang Bikin Sedih
Sekitar 3 Hari yang laluDikepung Massa Masyumi di Malang, DN Aidit Akhirnya Minta Maaf
Sekitar 4 Hari yang laluDinas Rahasia Israel di Balik Penumpasan Partai Komunis Indonesia
Sekitar 6 Hari yang laluDulu Jualan Air Minum di Stasiun, Tak Disangka Akhirnya Jadi Jenderal TNI
Sekitar 1 Minggu yang laluJejak Etnis Tionghoa dan Tragedi Kanso di Ranah Minang
Sekitar 1 Minggu yang laluPresiden Soeharto Berkali-Kali Tahan Promosi Try Sutrisno, Apa Penyebabnya?
Sekitar 1 Minggu yang laluRumah Guntur Sukarnoputra Pernah Dikunjungi Alien
Sekitar 1 Minggu yang laluGara-Gara Salah Beli Pangkat, Letnan Kolonel Disangka Letnan Jenderal TNI
Sekitar 1 Minggu yang laluDihujani Tembakan Hingga Terpojok di Jurang, Prajurit APRA Berwajah Garang Menyerah
Sekitar 1 Minggu yang laluKetika Menhankam Menolak Restoran Italia, Pilih Makan Soto di Pinggir Jalan
Sekitar 1 Minggu yang laluVIDEO: Rekaman CCTV Detik-Detik Mahasiswa UI Jatuh Tertabrak Pajero Eks Kapolsek
Sekitar 1 Jam yang laluPotret Brigade Anjing Pertama Polisi Indonesia, Dilatih di Stadion Olahraga
Sekitar 1 Jam yang laluVIDEO: Sopir Angkot Cabul Lancang ke Perempuan Dicari Polisi!
Sekitar 23 Jam yang laluVIDEO: Anggota Provos Lapor Kasus Tanah ke Polda Metro, Malah Diminta Rp 100 Juta
Sekitar 1 Hari yang laluVIDEO: Pleidoi Arif Bahas Sikap Kasar Sambo dan Rantai Komando di Polri
Sekitar 41 Menit yang laluVIDEO: Arif Terisak Sampaikan Pembelaan Beri Pesan Cinta ke Istri, Ibu Hingga Hakim
Sekitar 59 Menit yang laluArif Rachman Merasa Dijerumuskan Pimpinan: Apakah Adil Jika Semua Memojokkan Saya
Sekitar 1 Jam yang laluPleidoi Arif Rachman: Atasan Tak Dukung Ungkap Fakta, Saya Tertekan & Terancam
Sekitar 3 Jam yang laluVIDEO: Pembelaan Arif, Singgung Polisi Langgar Hukum Tuntutan Jaksa Wajib Gugur
Sekitar 9 Menit yang laluVIDEO: Pembelaan Baiquni, Singgung Niat Baik Bantu Penyidikan dan Kerja Tangan Tuhan
Sekitar 13 Menit yang laluVIDEO: Pleidoi Arif Bahas Sikap Kasar Sambo dan Rantai Komando di Polri
Sekitar 41 Menit yang laluVIDEO: Arif Terisak Sampaikan Pembelaan Beri Pesan Cinta ke Istri, Ibu Hingga Hakim
Sekitar 59 Menit yang laluVIDEO: Arif Terisak Sampaikan Pembelaan Beri Pesan Cinta ke Istri, Ibu Hingga Hakim
Sekitar 59 Menit yang laluPleidoi Arif Rachman: Saya Tidak Habis Pikir Ketika Itikad Baik Bekerja Menuai Fitnah
Sekitar 3 Jam yang laluVIDEO: Serangan Balik Bharada E, Sindir Jaksa Ngotot 12 Tahun Penjara
Sekitar 9 Jam yang laluApakah Boleh Memperoleh Vaksin Campak Bersamaan dengan Booster COVID-19?
Sekitar 4 Hari yang laluAntisipasi Penyakit Ngorok, Dinas Pertanian Madina Maksimalkan Penyuntikan Vaksin
Sekitar 1 Minggu yang laluAbsen dalam 2 Laga Terakhir Madura United, Ronaldo Kwateh Kian Dekat Gabung Klub Turki?
Sekitar 59 Menit yang laluBRI Liga 1: Oknum Suporter Berulah, PSS Dikenai Denda Komdis PSSI Rp50 Juta
Sekitar 2 Jam yang laluAdvertisement
Advertisement
AM Hendropriyono
Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara
Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami