Kisah Kehidupan dan Nestapa Nyai di Era Penjajahan Belanda, Masih Ada yang Beruntung

Sabtu, 1 April 2023 05:07 Reporter : Merdeka
Kisah Kehidupan dan Nestapa Nyai di Era Penjajahan Belanda, Masih Ada yang Beruntung Seorang Nyai yang hidup pada 1867. ©2023 Merdeka.com

Merdeka.com - Era pemerintah Hindia Belanda berkuasa, tercipta sebuah ikatan hidup tidak resmi antara lelaki kulit putih dengan para perempuan pribumi.

Penulis: Hendi Jo

Di sebuah perkebunan teh dan kina bernama Kartamanah (masuk wilayah Pangalengan) tersebutlah nama Tuan Yongkin. Hingga kini, nama itu masih disebut dan dihormati sebagai salah satu orang Belanda yang pernah berhasil menaikkan taraf kehidupan orang-orang Kartamanah. Terutama dari segi ekonomi.

"Kalau mau disebut pahlawan, ya beliau memang pahlawan buat karuhun (leluhur) kami," ujar Wawan G.S, pria kelahiran 1966.

Dalam historiografi era kolonial, Tuan Yongkin merupakan panggilan akrab untuk Willem Gerard Jongkindt Conninck. Dia adalah salah satu administratur yang memimpin Perkebunan Kartamanah sejak 1 April 1904 sampai dengan Maret 1942.

2 dari 4 halaman

Nyai dan Pergudikan

Tuan Yongkin dikenal sangat dekat dengan masyarakat. Begitu dekatnya, hingga dia mengambil beberapa perempuan lokal sebagai Njai (dibaca Nyai).

Istilah tersebut mengacu kepada seorang perempuan pribumi yang dijadikan pasangan hidup seorang lelaki kulit putih tanpa suatu ikatan pernikahan atau dalam istilah masyarakat Indonesia disebut sebagai selir atau gundik.

"Sekalipun di Eropa moral Kristen menuntut penahanan nafsu seksual di luar pernikahan, ideologi di Hindia Belanda membolehkan seorang lelaki mencari jalan keluar bagi kebutuhan-kebutuhan seksnya," tulis Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda.

Terlebih, lanjut Tineke, anggapan umum saat itu menyebut bahwa iklim tropis serta makanan kaya bumbu pedas mendorong munculnya libido para lelaki Eropa yang bermukim di tanah Hindia Belanda.

"Pendapat-pendapat tersebut seolah menjadi pembenar terjadinya praktik pergundikan dan pelacuran yang dilakukan mereka," ujar doktor sastra Indonesia dari Leiden University, Belanda itu.

Hampir senada dengan penilaian Setiawati dan Tineke. Penulis sejarah kolonial asal Belanda Reggie Baay menyebut keputusan seorang lelaki kolonial 'mengambil' Nyai sebagai gejala umum. Seolah sesuatu hal yang bisa diterima banyak orang kala itu.

Pada awal-awal kolonialisme terpancangkan di tanah Hindia Belanda, sistem perbudakan adalah suatu keniscayaan. Maka selanjutnya, sistem pergundikan dengan seorang perempuan pribumi merupakan pemecahan masalah dari 'rasa kesepian' para lelaki kulit putih lajang.

"Terdapat lebih dari setengah jumlah keseluruhan laki-laki Eropa di koloni yang hidup bersama seorang gundik pribumi dalam 25 tahun terakhir pada abad ke-19," ungkap Reggie dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda.

Terciptanya 'konsep Njai' juga tidak terlepas dari perbedaan kelas: superioritas kulit putih atas kulit coklat, dominasi penjajah terhadap pihak terjajah. Situasi tersebut berkelindan dengan sikap nrimo yang dipelihara dengan setia oleh sebagian besar para bumiputera.

3 dari 4 halaman

Dialihkan ke Lelaki Lain

Tidak usah jauh-jauh, sebagai contoh adalah kasus yang dialami oleh salah satu Njai Tuan Yongkin yang bernama Sarima. Pada sekitar 1920-an, sebagai seorang buruh pemetik teh yang miskin, dia harus 'pasrah' saat majikannya 'menginginkannya'. Kendati saat itu, Sarima telah memiliki seorang suami.

"Dalam hal ini, pemberian sejumlah uang (kepada pihak keluarga perempuan atau suami perempuan tersebut) kerap dilakukan," ujar Reggie.

Bahkan, pada kasus lain, seorang Njai juga bisa 'dialihkan' kepada lelaki Eropa lain. Kasus-kasus seperti itu biasanya terjadi di tangsi-tangsi tentara.

Seperti dialami Marie (Njai yang berasal dari Purworejo) dan Enjtih (Njai yang berasal dari Cimahi). Pengalihan itu biasanya terjadi karena pihak lelaki sudah mulai jenuh atau akan dipindahtugaskan ke tempat lain. Lantas bagaimana status hukum anak-anak yang lahir dari hubungan sejenis itu?

Menurut Tineke Hellwig, seorang Njai seolah tidak memiliki hak apapun. Baik terhadap dirinya maupun atas anak-anak yang dilahirkannya. Karena itu, dia harus siap dicampakan oleh 'pasangannya'. Termasuk tidak diberi imbalan apapun.

"Kadang-kadang sebelum mencampakan para Njai tersebut, para lelaki itu menyerahkan anak-anak mereka ke rumah yatim piatu," ujar lector kepala di University of British Columbia, Kanada tersebut.

4 dari 4 halaman

Nyai Beruntung

Tentunya tidak semua Nyai bernasib buruk. Ada juga di antara mereka yang dicintai betul-betul oleh pasangannya hingga (setelah mendapatkan beberapa anak) dinikahi dan didaftarkan sebagai istri yang sah secara hukum.

Itu dialami oleh dua orang Nyai bernama Gouw Pe Nio dan Djoemiha. Alih-alih diperlakukan sewenang-wenang, mereka malah hidup bahagia sampai mati bersama para lelaki Eropa tersebut.

Kendati tak seuntung Gouw Pe Nio dan Djoemiha, Sarima sendiri memiliki nasib yang baik. Ketika dia memiliki seorang putri dari hubungannya dengan Tuan Yongkin, sang majikan dengan suka cita mengakui bayi perempuan tersebut sebagai anak resminya, sehingga dia berhak mendapatkan status sebagai ahli waris meneer Belanda itu.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini