Ini Kesaksian Prajurit Belanda soal Perang Mengerikan di Indonesia yang Bikin Trauma
Merdeka.com - Dua veteran Belanda mengalami pengalaman buruk selama ditugaskan di Jawa Timur. Mereka sempat mengungkapkan itu kepada Marjoein van Pagee, seorang sejarawan cum fotografer.
Penulis: Hendi Jo
Kamis, 20 juni 2013. Sejarawan Marjolein van Pagee menerima selarik surat elektronik dari Wiel Creemers, seorang veteran berusia hampir sembilan puluh tahun. Wiel yang mantan prajurit Angkatan Darat Kerajaan Belanda itu menyatakan apresiasinya atas sebuah tulisan Marjo (panggilan akrab Marjolein van Pagee) tentang Perang Kemerdekaan Indonesia di wilayah Ngawi, Jawa Timur. Dia juga mengungkapkan bahwa dirinya pernah ditugaskan ke wilayah tersebut pada 1949.
"Saat itu saya bertugas sebagai seorang kopral dari 1946-1949 dan bermarkas di Surabaya…" tulis lelaki tua yang saat itu tinggal di Limburg.
Wiel menyebut masa-masa penugasan di Ngawi adalah masa-masa paling mengerikan dalam hidupnya. Pernah pada suatu malam, beberapa orang pejuang Indonesia menyerang kedudukan pasukannya di Alun- Alun kota tersebut.
Mereka lantas terlibat dalam pertempuran yang brutal sepanjang malam. Situasi mulai mereda saat para pejuang Indonesia itu mengundurkan diri begitu fajar menyingsing.
"Pada saat melakukan pemeriksaan, kami hanya melihat ceceran darah dan kotoran manusia di bekas pertahanan mereka," kenang Wiel.
Kepala Hancur Tertembak
Ngawi, kata Wiel, merupakan salah satu basis kaum komunis terbesar saat itu. Para penduduknya pun tidak bersikap ramah kepada tentara Belanda. Ada satu kejadian yang tak pernah terlupakan oleh Wiel saat bertugas di sana dan menjadikan dirinya trauma selamanya. Pada saat melakukan patroli terakhir pada awal April 1949, seorang kawan Wiel terkena tembakan tepat di kepalanya.
"Saat itu, saya tengah berada di sampingnya. Dengan mata kepala sendiri, saya melihat separuh batok kepalanya hancur dan saya berpikir itu bisa saja terjadi pada diri saya," tulisnya.
Ngawi merupakan kota yang dikelilingi oleh sungai. Satu satunya jembatan menuju kota Ngawi saat itu berada dalam kekuasaan militer Belanda. Sebagai bagian dari Angkatan Darat Kerajaan Belanda, Wiel sendiri masuk dalam kesatuan 2-1 RI dan saat bertugas di Madiun, dia dipindahkan ke kesatuan 2-15 RI.
Saat bertugas sebagai prajurit infanteri itulah, Wiel telah merambah sejumlah kota di Jawa Timur. Masih segar dalam ingatannya, Wiel bersama kawan-kawannya pernah berjalan kaki, mulai dari Malang ke Jember lalu Bondowoso, melintasi perkebunan kopi di Kayumas, pabrik beras di Probolinggo lanjut ke Situbondo. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Kertosari. Dari sana, mereka bergerak lagi menuju Blitar, lalu Kediri.
"Saya ingat pernah tinggal agak lama di Pasuruan. Juga di Tretes-Pacet dan Singosari dan saya masih bisa menyebut lebih dari seratusan nama tempat yang pernah saya singgahi," ungkap Wiel.
Pada 17 April 1949, Kopral Wiel akhirnya dipulangkan ke Belanda. Saat dalam perjalanan menuju negeri kelahirannya itulah, Wiel dan kawan-kawannya terserang wabah cacar. Begitu gawatnya situasi tersebut, hingga pada hari pertama saja dua kawan Wiel langsung menemui ajal. Di Aden (Yaman), mereka harus menurunkan 50 prajurit karena kondisi mereka yang buruk. Begitu sampai di Belanda, mereka harus diisolasi selama lebih dari seminggu di sebuah barak di Amersfoort.
Injak Ranjau Langsung Tewas
Pengalaman traumatik juga pernah disampaikan seorang veteran Belanda lain kepada Marjo. Dia adalah Frans Goenee, seorang mantan prajurit Korps Marinir Kerajaan Belanda yang pernah bertugas di Surabaya.
"Ketika saya memberi sambutan mengenai proyek saya yang berjudul “Kembang Kuning (Yellow Flower), saya mendapuk Goenee untuk menyampaikan sepatah dua patah kata tentang apa yang ada dalam benaknya mengenai “kembang kuning” (nama pemakaman orang-orang Belanda di Surabaya)," ujar Marjo.
Goenee bersedia. Dia lantas berdiri di depan dan mengawali pidatonya dengan menceritakan kisah 12 tahun lalu saat mengunjungi makam lima pemuda Belanda yang gugur secara bersamaan pada 15 Januari 1949. Peristiwa menyedihkan itu terjadi di front Surabaya barat, usai aksi polisionil kedua.
Pada 14 Januari 1949, Frans Goenee yang bertugas sebagai sopir truk berkenalan dengan seorang petugas sopir truk lain yang ternyata sama-sama bernama Frans. Karena kesamaan nama depan ini mereka langsung cepat akrab dan bahkan sempat membuat lelucon tentang itu. Tak dinyana, sehari kemudian truk yang dikemudikan Frans (yang lain ) menginjak ranjau, lima prajurit yang dia bawa tewas seketika. Hanya Frans yang selamat dengan tanpa luka sedikitpun.
Beberapa hari kemudian, kejadian yang hampir sama dialami oleh Frans Goenee. Ceritanya, suatu waktu di jalanan yang penuh lubang, Goenee melihat dua marinir muda di sebelah kirinya tengah membawa persenjataan berat. Dia lantas menoleh, tersenyum dan mempersilakan mereka untuk lewat terlebih dahulu.
"Ya usai aku menyilakan mereka untuk berjalan terlebih dahulu, dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat mereka menginjak ranjau dan tewas seketika dalam kondisi mengerikan," kenangnya.
Kami Dikirim untuk Perang
Saat selesai menuturkan bagian itu, Marjo ingat Goenee langsung terdiam. Di depan para pengunjung pembukaan pameran, sejarawan dan fotografer itu melihat air mata mulai membasahi wajah tuanya. Namun perlahan dia bisa menguasai dirinya, lalu melanjutkan kata-katanya:
"Kalian harus tahu, saat akan berangkat dikatakan oleh mereka bahwa kepergian kami ke Indonesia adalah untuk "restoring peace and order", untuk melindungi para penduduk lokal. Tapi tahukah kalian apa yang kami lihat di sana? Apa yang kami temui? Tahukah tuan tuan sekalian untuk apa sebenarnya pemuda-pemuda kita terbunuh di Indonesia? Untuk uang! Ya, pemerintah Belanda mengirim kami berperang hanya untuk uang! Bukan untuk menyelamatkan nyawa orang orang tak bersalah, tapi untuk menyelamatkan pabrik gula, tambang minyak, dan untuk semua itu mereka semua tewas!"
Dan pecahlah tangis Goenee malam itu...
Tanpa ada yang memerintah, usai Goenee bercerita, orang orang yang menghadiri pameran foto Marjolein, semua menghampiri Goenee yang masih terisak: memberi genggaman hangat pada tangannya dan ikut berduka dengan apa yang pernah dialami oleh veteran tua tersebut.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Simak cerita di balik tempat bersejarah dan saksi bisu ditangkapnya Pangeran Diponegoro.
Baca SelengkapnyaPerjuangan dan semangat yang dimiliki pasukan tentara Indonesia melawan Belanda demi mempertahankan kemerdekaan begitu besar dalam peristiwa ini.
Baca SelengkapnyaPria ini pun kembali melakukan sujud syukur usai menginjakkan kaki di tanah Lampung sebelum melanjutkan perjalanan ke Jambi.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Tentara tersebut diduga menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD).
Baca SelengkapnyaPetugas gabungan di Lampung kemudian membantu menenangkan pemudik asal Karawang, Jawa Barat tersebut.
Baca SelengkapnyaWanita ini memimpin 30 perempuan dalam pertempuran melawan Belanda.
Baca SelengkapnyaSiapapun yang mengalami hukuman ini jasadnya tidak pernah diturunkan dari roda hingga menjadi tengkorak.
Baca SelengkapnyaRekor didapatkan oleh burung ini. Ia hanya "sesekali" mengepakan sayapnya.
Baca SelengkapnyaHarapan Amerika Serikat (AS) untuk mendarat kembali di bulan dapat terwujud pada pekan ini.
Baca Selengkapnya