Diserang Mendadak saat Subuh, Pasukan Akademi Militer Kocar-Kacir

Senin, 20 Maret 2023 05:07 Reporter : Merdeka
Diserang Mendadak saat Subuh, Pasukan Akademi Militer Kocar-Kacir Tugu pertempuran pasukan MA dan infanteri Belanda di Desa Plataran. ©2023 foto: insanwisata.com

Merdeka.com - Tak siap menghadapi serangan tiba-tiba dari tiga peleton pasukan infanteri Belanda, sekelompok kadet Akademi Militer Yogyakarta nyaris mengalami kehancuran.

Penulis: Hendi Jo

Kringinan, Yogyakarta, 23 Februari 1949. Letnan Dua Soesilo Soedarman tiba-tiba dihampiri Letnan Dua R.M. Utoyo Notodirjo. Bekas rekan seangkatannya di Akademi Militer Yogyakarta (MA) itu ternyata memutuskan ingin ikut menyerang Desa Bogem pada keesokan harinya.

“Sus, ndasmu kan wis atos, endi topi wajahmu dak silihe,” ujar Utoyo sambil bercanda.

Susilo tentu langsung memberikan barang yang diinginkan Utoyo. Usai mendapatkan topi baja buatan Inggris itu, dia tidak langsung pergi. Tapi ikut nimbrung dengan kawan-kawannya di Sub Wehrkreise ke-104 (SWK 104). Ikut hadir di situ komandan mereka yang bernama Mayor Soekasno.

“Pak, semalam kok saya mimpi kawin ya?,” celetuk Utoyo dalam nada bergurau.
Mendengar ungkapan spontan dari Utoyo itu, kawan-kawannya langsung ramai. Beberapa di antaranya ada yang langsung tertawa. Namun tidak demikian dengan Soekasno. Sebagai lelaki Jawa yang menganut kuat tradisi kejawen, diam-diam dia merasa khawatir. Dalam mitologi Jawa, mimpi menikah adalah perlambang kematian.

“Gerangan apa yang akan menimpa anak ini?” pikir sang komandan.

2 dari 3 halaman

Hancur karena Buku Harian

Utoyo bukanlah lulusan MA biasa. Dia merupakan salah satu lima besar terbaik angkatan pertama yang dilantik Presiden Sukarno di Yogyakarta pada 1948. Begitu lepas dari MA, lelaki yang masih kerabat dekat Kesultanan Solo itu diangkat sebagai perwira penghubung di SWK 104, tempat beberapa adik seangkatannya di MA ikut berkiprah melawan pasukan Belanda.

“Dia kerap bolak-balik pelosok-kota Yogya untuk menghadap Komandan Wehrkreise III Letnan Kolonel Soeharto dan Sri Sultan di Istana atau menyampaikan pesan kepada Kapten Marsudi, komandan gerilya kota Yogyakarta,” ungkap sejarawan Moehkardi.

Keberadaan Letnan Utoyo di Plataran pada hari nahas itu bisa dikatakan sebagai suatu peristiwa yang tidak disengaja. Di sela-sela penugasannya, dia lantas singgah sebentar di Kringinan. Karena itu kendati dalam pertempuran tersebut Utoyo merupakan salah satu prajurit TNI yang paling tinggi pangkatnya, namun dia tak memiliki wewenang komando dan kurang dikenal oleh kesatuan-kesatuan yang lain.

“Lain cerita jika dia merupakan komandan dari seluruh kesatuan yang ada di Plataran saat itu: saya yakin dia akan lebih bisa memimpin perlawanan secara lebih teratur dan korban di pihak kita tidak harus jatuh begitu banyak,” kata Letnan Jenderal (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, sahabat karib Utoyo di MA.

Insiden di Plataran berawal dengan jatuhnya buku harian seorang VC (Vaandrig Cadet) bernama Abdul Djalil ke tangan militer Belanda. Sang empu buku harian sendiri tewas dalam pertempuran antara pasukan MA dari Peleton H2 dengan pasukan Belanda di Desa Sambiroto pada 22 Februari 1949.

Menurut Moehkardi, sejatinya militer Belanda sudah lama mengincar pasukan MA yang mereka anggap sebagai pasukan pilihan (keur-troepen). Penyebutan itu dilontarkan oleh Letnan Kolonel F. Scheers, komandan Batalyon I Resimen Infanteri ke-15 Tentara Kerajaan Belanda (KL) dalam bukunya yang berjudul Djokjakarta.

“Dengan terampasnya buku harian V.C. Abdul Djalil oleh militer Belanda, jalan untuk menemukan pasukan MA dan menghancurkannya menjadi terang,” ujar eks dosen sejarah di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) itu.

Buku harian sang kadet itu memang secara gamblang menyebut posisi-posisi pasukan TNI yang ada di bawah komando Wehrkreise III. Di antaranya dia menulis bahwa markas SWK 104 ada di Kringinan. Desa Kringinan itu kemudian menjadi sasaran utama gerakan pembersihan yang dilakukan anak buah Letnan Kolonel J.Scheers, sebelum kemudian mereka melakukan pengejaran ke Plataran.

Sejatinya, kemungkinan Kringinan akan diserang Belanda, sudah terbersit dalam pikiran Mayor Soekasno sendiri. Dalam rapat yang dilakukan pada 23 Februari 1949, Soekasno malah telah memutuskan untuk memindahkan markas pasukannya ke Desa Gatak. Sambil melakukan gerakan pindah, rencananya mereka akan melakukan serangan terhadap suatu pos penjagaan militer Belanda di Bogem pada dini hari 24 Februari 1949 .

“Kepada para kadet diperintahkan untuk langsung mencari basis baru di utara sehabis serangan ke Bogem itu,” ungkap Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945—1949.

Namun dalam kenyataannya perintah tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan. Sebagian kadet MA masih ada yang kembali ke Kaliwaru. Sesampainya di markas lama mereka tersebut, karena rasa capek dan mengantuk yang sangat luar biasa, mereka tidur dan beristirahat.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Peleton H. Alih-alih bergegas pindah dari Selomartini, Desa Ngasem, mereka masih sempat tidur-tiduran dan duduk-duduk sembari menunggu hidangan kopi hangat yang tengah dibuat oleh Ibu Carik Selomartini.

3 dari 3 halaman

Diserang Saat Subuh

Dalam situasi seperti itulah tiba-tiba sekira jam 05.30, terdengar serentetan tembakan dari arah barat daya, pertanda patroli Belanda tengah menjalankan aksi. Penghuni dukuh (termasuk Bapak dan Ibu Carik Selomartini) langsung bergegas mengungsi ke arah utara. Para kadet sendiri yang baru beberapa menit beristirahat langsung menyebar .

Sementara itu, ketika tembakan dari pihak militer Belanda itu berbunyi, Peleton H2 pimpinan V.C. Nawawi tengah berjalan menuju basisnya di Desa Sindon. Melihat anak buahnya sudah terlihat payah dan kelelahan, maka diputuskan untuk mengirim sepuluh sukarelawan ke arah sumber tembakan itu. Regu kecil tersebut dipimpin oleh Wakil Komandan Peleton H2, V.C. B. Sormin.

Begitu sampai di Desa Gatak, rombongan kecil pimpinan Sormin bertemu dengan Peleton Z. Selanjutnya mereka sama-sama bergerak ke arah utara hingga sampailah di Plataran.

Beberapa saat sebelum tembakan berbunyi, Mayor Soekasno baru saja tiba di Desa Gatak. Dia lantas memerintahkan Kopral Pardi untuk menerjang air. Air masih mengepul ketika terdengar letusan senjata yang cukup nyaring. Cepat-cepat Mayor Sukasno memerintahkan Kopral Pardi untuk menyelidiki dari mana asal tembakan itu. Belum 15 menit berlalu, Kopral Pardi sudah kembali dengan tangan berlumur darah karena terkena tembakan.

“Belanda menyerang, Pak!” ujarnya sambil menahan rasa sakit.

Mayor Sukasno langsung memerintahkan semua staf-nya agar mundur ke utara, ke arah Kalibulus. Di arah selatan, tembakan terdengar semakin ramai pertanda posisi tentara Belanda semakin mendekat. Begitu rombongan terakhir staf SWK 104 yang dipimpin oleh Letnan Dua Utoyo tiba di Plataran, dari Desa Gatak tentara Belanda yang berasal dari Kompi ke-3 Batalyon 1-15 RI menghujani mereka dengan tembakan gencar.

Pasukan MA yang sudah berada di Plataran, secara spontan membalas tembakan itu. Terjadilah pertempuran yang sangat seru. Di tengah hujan peluru itulah terjadi perdebatan sengit di antara para kadet: apakah akan bertahan atau melakukan gerakan mundur.

Kedua keputusan itu memang sama sulitnya. Jika bertahan mereka jelas kekurangan orang dan kalah persenjataan. Tapi jika pun melakukan gerakan mundur, mereka mau tidak mau harus melewati medan terbuka berupa sawah yang akan menjadikan mereka sebagai sasaran empuk tembakan dari darat dan udara.

Dalam kondisi panik itu, muncullah sebuah pesawat Capung (Piper Cub) di atas pertahanan mereka. Setelah berputar-putar mengawasi keadaan di bawah, pesawat kecil lalu menghujani Pasukan MA dengan granat.

“Mengapa tidak kalian tembak saja Capung itu!” teriak Letna Dua Utoyo.

Tak ada yang mendengar teriakan Utoyo. Alih-alih menembak pesawat Capung tersebut, yang ada situasi semakin tak terkendali. Pasukan MA kocar-kacir ke segala arah tanpa seorang komandan yang memimpin gerakan mereka.

[noe]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini