Hot Issue

Penjajah Itu Akhirnya Akui & Minta Maaf Atas Perbudakan & Penindasan di Masa Lalu

Selasa, 20 Desember 2022 07:27 Reporter : Hari Ariyanti
Penjajah Itu Akhirnya Akui & Minta Maaf Atas Perbudakan & Penindasan di Masa Lalu Penjajahan Belanda. national geography

Merdeka.com - Belanda akan meminta maaf secara langsung atas perbudakan dan penjajahan yang dilakukan di masa lalu. Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte akan menyampaikan permintaan maaf pada Senin hari ini dan kunjungan tingkat menteri ke Karibia dan Suriname.

Namun tanggal yang dipilih dan cara pengumuman yang ditentukan itu menuai kritik. Menurut para pengkritik, cara seperti itu masih ada "perasaan kolonial".

Enam yayasan Suriname menuntut pengadilan agar mendorong permintaan maaf disampaikan pada 1 Juli 2023, bertepatan dengan peringatan 150 tahun perbudakan yang secara resmi berakhir di koloni Belanda.

"Jika ada permintaan maaf, itu harus pada 1 Juli, yang merupakan tanggal emansipasi kami, ketika mereka melepas belenggu kami," kata DJ Etienne Wix dari radio komunitas mArt, dikutip dari BBC, Senin (19/12).

Lebih dari 600.000 orang dari Afrika dan Asia diperdagangkan para pedagang Belanda antara abad ke-17 dan ke-19.

Laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang diperbudak dipaksa bekerja di perkebunan gula, kopi dan tembakau, di tambang dan sebagai budak rumah tangga di "Dunia Baru", tanah jajahan di Amerika dan Karibia. Mereka mengalami kekerasan fisik, mental dan seksual yang ekstrem.

Hasil dari kerja brutal ini memperkaya Kerajaan Belanda dan berkontribusi pada "Zaman Keemasan", periode kemakmuran ekonomi di abad ke-17 yang membuat Belanda menyaksikan kemajuan besar dalam ilmu pengetahuan dan budaya.

Di provinsi barat Belanda saja, sebuah penelitian Dewan Riset Belanda menemukan 40 persen pertumbuhan ekonomi antara tahun 1738 dan 1780 dapat dikaitkan dengan perbudakan.

"Belanda adalah salah satu masyarakat Eropa yang berkaitan paling langsung dan luas dengan perbudakan," kata Pepijn Brandon, profesor Sejarah Ekonomi dan Sosial Global di Free University of Amsterdam yang menerbitkan penelitian tersebut.

Brandon meyakini terjadi pergeseran persepsi publik terkait warisan perbudakan Belanda selama dekade terakhir dengan pengakuan bahwa kolonialisme dan perbudakan menjadi penyebab utama Belanda menjadi negara perdagangan terkemuka dunia.

Rencana permintaan maaf muncul sepekan setelah adanya laporan orang-orang di dalam kementerian luar negeri Belanda mendapat komentar rasis, dan beberapa bahkan tidak bisa naik jabatan warna kulit atau asal etnis mereka.

Di kementerian tersebut, negara-negara Afrika disebut sebagai "negara monyet" dalam komunikasi internal.

Menteri luar negeri lalu meminta maaf. Wakil PM, Wopke Hoekstra mengakui laporan tersebut dapat merusak reputasi Belanda di luar negeri.

Belanda dituduh melanggengkan dan melembagakan rasisme.

Menurut laporan statistik Belanda, orang keturunan migran rata-rata memiliki rumah yang lebih kecil, prestasi pendidikan dan pendapatan yang lebih rendah, dan kesehatan yang lebih buruk, menurut laporan Statistik Belanda.

"Migran diperlakukan sebagai warga negara kelas dua sejak awal," jelas Profesor Brandon.

"Ini diterjemahkan sebagai posisi awal yang tidak setara. Dan kemudian rasisme sebagai pembenaran perbudakan, yang terlihat hari ini."

Bersamaan dengan permintaan maaf resmi, pemerintah Belanda berjanji mengalokasikan 200 juta Euro untuk proyek kesadaran dan berjanji mengalokasikan 27 juta Euro untuk museum perbudakan.

Sekitar 70 persen masyarakat Afrika-Karibia di Belanda, yang sebagian besar terdiri dari keturunan budak, percaya bahwa permintaan maaf itu penting. Namun dalam populasi yang lebih luas, hampir separuh orang Belanda tidak mendukung permintaan maaf, sementara 38 persen mendukungnya, menurut jajak pendapat I&O Research.

Ada yang berpendapat bukan mereka atau nenek moyang mereka yang memperbudak atau mengambil keuntungan dari kolonialisme sehingga menolak konsep permintaan maaf kolektif.

2 dari 2 halaman

Melihat ke masa depan

Direktur Lembaga Nasional Pengkajian Perbudakan Belanda dan warisannya, Linda Nooitmeer mengatakan permintaan maaf memungkinkan orang untuk melihat ke masa depan dan mempertimbangkan langkah selanjutnya.

"Fokusnya harus pada bagaimana kita dapat memperbaiki, bagaimana kita mengembalikan semua yang telah rusak, tidak hanya di koloni tetapi juga di sini di Belanda," jelasnya.

Seperti banyak negara Barat, partai-partai sayap kanan juga menentang permintaan maaf tersebut.

Thierry Baudet, pemimpin Forum untuk Partai Demokrasi, mengatakan kelompoknya "tidak melihat sikap seperti itu ada gunanya".

Selain permintaan maaf pemerintah, Raja Willlem-Alexander telah menugaskan penyelidikan independen terhadap peran keluarga kerajaan Belanda di masa kolonial dan masa pascakolonial. [pan]

Baca juga:
Perjalanan Hidup Djainem Moeridjan, Dukun Jawa yang Tinggal di Belanda
Bertemu PM Belanda, Jokowi Dorong Kerja Sama Penanggulangan Kejahatan Lintas Batas
Bule Cantik Asal Belanda Jualan Mi Ayam & Bakso di Yogyakarta, Warungnya Sederhana
Tak Tahu Dirinya Hamil, Seorang Perempuan Tiba-Tiba Melahirkan di Pesawat
Panas, Ini Selebrasi Provokatif Messi di Depan Louis van Gaal
Penyanyi Belanda Ini Sangat Rindu Indonesia, Pernah Ciptakan Lagu 'Nasi Goreng'

Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini