Tantangan Pasar Tenaga Kerja Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Kualitas
Pemerintah wajib menjadikan iklim kerja dalam negeri menjadi berkualitas.
Pasar tenaga kerja Indonesia terus menghadapi tantangan mendalam meskipun negara ini memiliki target pertumbuhan ekonomi yang ambisius.
Sementara negara berusaha mencapai pertumbuhan yang tinggi, jutaan pekerja masih menerima gaji di bawah upah minimum, sebuah kontras tajam dengan aspirasi ekonomi pemerintah.
Yose Rizal Damuri, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengungkapkan masalah ini dan mendesak pemerintah untuk mengalihkan fokus dari angka pertumbuhan mentah menuju penciptaan pekerjaan berkualitas di masa depan.
Pertumbuhan Ekonomi vs. Kualitas Pekerjaan: Kesenjangan yang Terus Berlanjut
Pemerintah Indonesia telah lama menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi yang kuat. Namun, seperti yang disampaikan Yose Rizal Damuri, fokus pada pertumbuhan saja tidak cukup. Sejak era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi) dan sekarang di bawah Prabowo Subianto, masalah yang sama terkait ketenagakerjaan terus berulang.
Yose menyoroti bahwa target pertumbuhan ekonomi pemerintah, seperti tujuan mencapai 8 persen pertumbuhan, tidak boleh mengorbankan kualitas pekerjaan.
“Pertumbuhan ekonomi itu penting, tapi tidak akan menghasilkan perbaikan nyata jika tidak diterjemahkan ke dalam kondisi pasar tenaga kerja yang lebih baik,” ujar Yose dalam diskusi kelompok terfokus (FGD) bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta.
Dia berpendapat bahwa meskipun negara mungkin mencapai target pertumbuhannya, itu tidak menjamin terciptanya pekerjaan yang berkualitas dan berkelanjutan. Banyak sektor yang berkembang didorong oleh sektor yang padat modal dan tidak menciptakan banyak lapangan pekerjaan.
Pekerjaan Informal dan Dampaknya
Salah satu masalah paling mendesak di pasar tenaga kerja Indonesia adalah tingginya jumlah pekerja informal. Yose menjelaskan bahwa sektor informal menghadirkan banyak tantangan bagi pekerja. Pekerja di sektor informal biasanya menerima gaji lebih rendah, menghadapi fluktuasi pendapatan, dan kurang mendapatkan perlindungan yang memadai.
“Sektor informal memberikan penghasilan yang lebih rendah dan kurang aman. Pekerja di sektor ini sering kali menghadapi pendapatan yang tidak stabil, yang semakin memperburuk ketimpangan penghasilan,” kata Yose.
Dia menambahkan bahwa pekerja di sektor ini, yang merupakan bagian besar dari angkatan kerja, juga kesulitan mengakses manfaat jaminan sosial dan perlindungan tenaga kerja lainnya.
Kesulitan Mendapatkan Upah yang Adil di Sektor Formal
Di sektor formal sekalipun, banyak pekerja yang tidak menerima upah sesuai dengan standar minimum yang berlaku. Yose menyoroti bahwa, berdasarkan data terbaru, hanya 36 persen pekerja formal yang menerima upah di atas upah minimum, sementara 64 persen sisanya bahkan tidak menerima upah sesuai dengan ketentuan minimum.
“Ini bukan hanya masalah di daerah-daerah terpencil; bahkan di Jakarta, kita bisa menemukan pekerja di sektor formal yang hanya menerima Rp 500.000 per minggu,” ujar Yose.
Ketimpangan upah yang semakin lebar ini menunjukkan adanya masalah yang lebih besar terkait kualitas pekerjaan, yang terus menghambat kemajuan ekonomi dan pertumbuhan yang inklusif.
Jarak antara upah minimum dan rata-rata upah semakin lebar setelah pandemi COVID-19, meninggalkan banyak pekerja dalam posisi yang tidak stabil. Kurangnya distribusi upah yang adil adalah elemen kritis yang menghalangi pasar tenaga kerja untuk membaik, dan ini menyoroti perlunya kebijakan ekonomi yang lebih inklusif.
Produktivitas yang Rendah: Hambatan Utama
Yose juga menyoroti masalah produktivitas yang rendah di kalangan tenaga kerja Indonesia jika dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan ASEAN. Produktivitas tenaga kerja Indonesia masih menjadi salah satu yang terendah di kawasan, sebuah tantangan yang berasal dari dua sisi: kemampuan pekerja itu sendiri dan kurangnya akses terhadap teknologi dan peralatan modern.
“Perbaikan produktivitas perlu dilakukan dari dua sisi: kemampuan pekerja itu sendiri, serta teknologi dan peralatan yang digunakan,” ujar Yose.
Tanpa memperbaiki kedua hal ini, Indonesia akan kesulitan untuk bersaing dalam memenuhi permintaan tenaga kerja yang lebih terampil di tingkat global.
Tantangan Regulasi di Pasar Tenaga Kerja
Kerangka regulasi pasar tenaga kerja Indonesia juga turut berkontribusi pada ketidakseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kualitas pekerjaan. Yose mencatat bahwa saat ini, pemerintah lebih cenderung melindungi pekerja sektor formal, yang lebih menguntungkan bagi perusahaan manufaktur besar dan kelas menengah ke atas. Namun, perusahaan kecil dan informal seringkali tidak terikat dengan peraturan ketenagakerjaan yang berlaku, yang mengarah pada ketimpangan hak tenaga kerja dan kondisi kerja.
“Bagi perusahaan kecil dan informal, regulasi pasar tenaga kerja seringkali tidak berlaku, yang berarti pekerja mereka kekurangan perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja di sektor formal,” kata Yose.
Masalah di Sektor Manufaktur: Pertumbuhan Ekonomi Tanpa Penambahan Tenaga Kerja
Salah satu sektor yang terimbas masalah ini adalah manufaktur. Meskipun ada kenaikan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi, sektor manufaktur tidak mengalami peningkatan jumlah tenaga kerja yang sebanding. Bahkan sejak awal 2000-an, jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur besar seperti tekstil dan garmen telah menurun secara signifikan.
Analisis Yose menunjukkan bahwa meskipun ekonomi Indonesia tumbuh lebih dari 150 persen dalam beberapa tahun terakhir, jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur hanya meningkat sekitar 40 persen.
“Perbedaan antara pertumbuhan ekonomi dan penciptaan pekerjaan di sektor manufaktur menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak terwujud dalam bentuk pekerjaan baru yang berkelanjutan,” pungkas Yose.