Mengenal Korpri, Organisasi yang Dulu Dijadikan Alat Politik Pemerintah
Masyarakat Indonesia mungkin belum banyak yang mengetahui tentang Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri).
Masyarakat Indonesia mungkin belum banyak yang mengetahui tentang Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri).
Merujuk situs Korpri, organisasi ini berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1971. Dahulu, Korpri merupakan pegawai pemerintah Hindia Belanda, yang berasal dari kaum pribumi. Kasta pegawai Korpri saat itu kelas bawah. Mereka bisa bekerja sesuai kebutuhan pemerintah kolonial. Ketika mada kolonialisme Belanda jatuh kepada Jepang, secara otomatis seluruh pegawai pemerintah bekas Hindia Belanda dipekerjakan oleh pemerintah Jepang sebagai pegawai pemerintah.
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Indonesia kemudian memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pegawai yang bekerja di bawah kolonialisme Jepang secara otomatis menjadi pegawai Republik Indonesia.
Hingga pada tanggal 27 Desember 1949 Pegawai republik Indonesia terbagi menjadi tiga kelompok besar, pertama Pegawai Republik Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan RI, kedua, Pegawai RI yang berada di daerah yang diduduki Belanda (Non Kolaborator) dan ketiga, pegawai pemerintah yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (Kolaborator).
Tiga kelompok pegawai ini kemudian dilebur menjadi pegawai Republik Indonesia Serikat atau dikenal sebagai era pemerintahan parlementer yang menganut sistem multi partai. Akibatnya, para politisi, tokoh partai mengganti dan memegang kendali pemerintahan, hingga memimpin berbagai departemen yang sekaligus menyeleksi pegawai negeri.
Sehingga, warna departemen sangat ditentukan oleh partai yang berkuasa saat itu. Dominasi partai dalam pemerintahan terbukti mengganggu pelayanan publik. Pegawai pemerintah yang seharusnya berfungsi melayani publik dan negara menjadi alat politik partai. Pegawai kemudian menjadi terkotak-kotak. Afiliasi pegawai pemerintah sangat kental diwarnai dari partai mana dia berasal. Kondisi ini terus berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan Dekrit Presiden ini sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945.
Era ini lebih dikenal dengan masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan sistem ketatanegaraan diwarnai oleh kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).
Dalam kondisi seperti ini, muncul berbagai upaya agar pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai yang berkuasa. Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan mencapai titik nadir ketima adanya upaya kudeta oleh PKI dengan Gerakan 30 September. Pegawai pemerintah banyak yang terjebak dan mendukung Partai Komunis.
Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar pegawai negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negeri.
Akan tetapi Korpri kembali menjadi alat politik. UU No.3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi Korpri dalam memperkuat barisan partai. Sehingga, setiap kali terjadi birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional Korpri, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu.
Memasuki Era reformasi muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas Korpri, sehingga sempat terjadi perdebatan tentang kiprah pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR. Akhirnya, menghasilkan konsep dan disepakati bahwa Korpri harus netral secara politik. Bahkan ada pendapat dari beberapa pengurus dengan kondisi tersebut, sebaiknya Korpri dibubarkan saja, atau bahkan jika ingin berkiprah di kancah politik maka sebaiknya membentuk partai sendiri.
Para Kepala Negara setelah era reformasi mendorong tekad Korpri untuk senantiasa netral. Berorientasi pada tugas, pelayanan dan selalu senantiasa berpegang teguh pada profesionalisme.
Gus Yahya menegaskan seluruh pengurus organisasinya tak boleh mengatasnamakan PBNU jika memberi dukungan politik.
Baca SelengkapnyaCak Imin juga setuju dengan pernyataan Gus Yahya pengurus PBNU tidak boleh mengatasnamakan organisasi dipimpinnya secara politik.
Baca SelengkapnyaBMI meminta pendukung Ganjar-Mahfud berpolitik dengan riang gembira dan gagasan cemerlang
Baca SelengkapnyaKPU memberikan kesempatan bagj partai-partai politik memperbaiki berkas pencalonan bacalegnya.
Baca SelengkapnyaArdiansyah juga menekankan agar semua partai politik dan masyarakat harus betul-betul memberikan kontribusi dalam membangun bangsa dan negara ini.
Baca SelengkapnyaPercepatan waktu pelaksanaan Pilkada 2024 ini dinilai akan memicu kompleksitas masalah hukum, dan politik yang merugikan kepentingan masyarakat luas.
Baca SelengkapnyaDelapan organisasi desa meyakini Prabowo-Gibran dapat mengakomodir keinginan para aparat desa.
Baca SelengkapnyaPAN memberdayakan anak muda dan menginginkan mereka menjadi pilar penting kemajuan bangsa.
Baca SelengkapnyaHal itu disampaikan Hasto saat membahas isu terkini dengan partai politik koalisi Ganjar-Mahfuddi Mataram.
Baca Selengkapnya