Penurunan Suku Bunga Dinilai Belum Bisa Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Merdeka.com - Peneliti Core Indonesia, Pieter Abdullah menyesalkan kebijakan moneter yang dikeluarkan Bank Indonesia lebih banyak diminati perusahaan besar ketimbang masyarakat umum. Seperti penurunan suku bunga acuan sejak awal pandemi belum banyak dirasakan manfaatnya bagi masyarakat secara luas.
Salah satunya tidak ada pengurangan cicilan dari pihak pemberi kredit saat suku bunga acuan diturunkan bank sentral. Masyarakat baru mendapatkan keringanan cicilan bila mengajukan restrukturisasi. Seharusnya, bila terjadi penurunan suku bunga acuan, maka bunga kredit juga ikut turun agar bisa meringankan beban masyarakat.
"Ketika Bank Indonesia melakukan pelonggaran (penurunan suku bunga acuan) diharapkan cicilan kita ini berkurang karena suku bunga (kreditnya) turun," kata Pieter saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (29/12).
Sulitnya suku bunga kredit turun membuat daya beli masyarakat sulit terungkit. Padahal sektor konsumsi rumah tangga menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Sebaliknya suku bunga deposito langsung mengalami penurunan setiap kali Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuannya.
"Setiap kali ada penurunan suku bunga acuan, ini seolah enggak ada hubungannya sama suku bunga kredit, investasi dan lain-lain. Suku bunga kredit selalu ringgit, kalau turun hanya sedikit," kata dia.
Tak heran, lanjut Pieter bila saat ini pertumbuhan kredit masih terbatas. Penyaluran kredit yang macet secara tidak langsung disebabkan daya beli masyarakat yang masih tertahan. Sehingga dampaknya bisa menurunkan efektivitas pertumbuhan ekonomi.
Bila ini terus berlanjut, dia khawatir akan terjadi gejolak di tahun 2022. Mengingat peluang kenaikan suku bunga acuan lebih besar dilakukan Bank Indonesia karena kondisi perekonomian sudah bergerak ke arah pemulihan yang kuat.
"Kalau 2021 ini masih longgar, tahun 2022 sudah bisa lebih cenderung menaikkan suku bunga. Waktu menurunkan saja tidak efektif bantu pertumbuhan ekonomi, apalagi kalau suku bunga dinaikkan," kata dia.
Semua ini kata Pieter karena perbankan memainkan perannya sebagai pebisnis. Lebih mengutamakan keuntungan yang besar sehingga kebijakan moneter yang dibuat Bank Indonesia menjadi tidak efektif. Untuk itu hal ini harus bisa diantisipasi agar kebijakan moneter bisa efektif. Namun selama anomali suku bunga perbankan tidak dilakukan, maka hasilnya akan tetap sia-sia.
"Selama anomali suku bunga perbankan ini tidak dilakukan, efektivitasnya ini sulit untuk ditingkatkan," tutupnya.
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Keputusan mempertahankan suku bunga acuan ini sejalan dengan fokus kebijakan moneter yang pro-stability untuk penguatan stabilisasi nilai tukar Rupiah.
Baca SelengkapnyaKenaikan suku bunga dinilai upaya Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi.
Baca Selengkapnyakebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Dengan perputaran yang cukup besar tersebut, dipastikan ekonomi daerah akan produktif mendorong meningkatnya konsumsi rumah tangga.
Baca SelengkapnyaKenaikan suku bunga acuan demi menguatkan stabilitas rupiah.
Baca SelengkapnyaBank Indonesia yang memutuskan menaikkan suku bunga acuan di level 6,25 persen pada bulan April 2024.
Baca SelengkapnyaMayoritas jenis pajak utama tumbuh positif sejalan dengan ekonomi nasional yang stabil.
Baca SelengkapnyaMencuci dan menyetrika akan mempercepat kerusakan uang.
Baca SelengkapnyaDemi Bantu Kesusahan Warga Soal Ekonomi, Pelda TNI Indro Rela Pinjamkan Uang Tanpa Bunga.
Baca Selengkapnya