Jalan Terjal Korea Selatan-Indonesia untuk Proyek Jet Tempur Ratusan Triliun Rupiah
Proyek senilai Rp121 triliun yang diluncurkan sejak 2015 ini merupakan bagian dari program ambisius.

Di balik gegap gempita kerja sama pertahanan strategis antara Indonesia dan Korea Selatan dalam pengembangan jet tempur KF-21 Boramae, tersimpan kodisi rumit antara komitmen politik, tekanan anggaran, hingga kontroversi tuduhan pencurian data teknologi.
Proyek senilai Rp121 triliun yang diluncurkan sejak 2015 ini merupakan bagian dari program ambisius bernama KFX/IFX (Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment). Dalam perjanjiannya, Indonesia menanggung 20% dari total biaya pengembangan, bersama Korea Selatan (60%) dan Korea Aerospace Industries (KAI) (20%).
Namun, hingga saat ini, Indonesia masih berutang sekitar Rp14,6 triliun dan ditargetkan harus melunasinya pada 2026. Komitmen ini ditegaskan kembali oleh pemerintah melalui Kementerian Pertahanan, meskipun diakui bahwa realisasinya sangat bergantung pada kondisi anggaran negara.
“Ini seperti mengelola anggaran rumah tangga. Kalau ada refocusing APBN, tentu pembayaran terhambat. Tapi kami tetap komit,” ujar Direktur Teknologi dan Industri Pertahanan pada Kementerian Pertahanan, Marsma Dedy Laksono saat menjadi pembicara dalam lokakarya yang diselenggarakan oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) berkolaborasi dengan Korea Foundation, di Jakarta, Jumat (27/10/2023).
Di sisi lain, kerja sama ini tidak hanya soal uang. Transfer teknologi dari proyek KF-21 disebut sebagai investasi jangka panjang yang akan memperkuat industri alutsista nasional dan membuka jalan bagi kemandirian pertahanan, termasuk kemampuan memproduksi jet tempur dalam negeri untuk pasar global.

Diplomasi di Tengah Tuduhan Mata-Mata
Proyek yang semula diselimuti semangat kolaborasi kini diguncang oleh isu sensitive dengan adanya dugaan keterlibatan dua insinyur Indonesia dalam pencurian data teknologi di markas KAI, Korea Selatan. Kedua teknisi tersebut tengah diperiksa dan dilarang keluar negeri setelah tertangkap membawa USB berisi dokumen yang diduga berkaitan dengan proyek KF-21.
Pihak Korea menilai dokumen dalam USB tersebut tergolong umum dan tidak mengandung rahasia militer. Meski begitu, insiden ini memunculkan gesekan diplomatik yang bisa menghambat laju kerja sama.
Kementerian Luar Negeri RI menyatakan telah berkomunikasi langsung dengan insinyur yang bersangkutan dan memastikan mereka tidak ditahan.
“Proyek ini sangat strategis bagi kedua negara. Indonesia dan Korea akan mengelola isu ini sebaik mungkin,” ujar Juru Bicara Kemlu RI, Lalu Muhamad Iqbal.
Kepentingan Strategis, Jalan Politik dan Diplomatik
Bagi Korea Selatan, kerja sama dengan Indonesia bukan sekadar hubungan bilateral biasa. CEO KAI, Kang Goo-young, secara terbuka menyatakan bahwa keberlanjutan kerja sama dengan Indonesia adalah kunci untuk masuk ke pasar Asia Tenggara.
"Kerja sama ini penting agar KF-21 bisa diterima di Malaysia dan pasar regional lainnya,” kata Kang dalam ajang Langkawi International Maritime and Aerospace Exhibition (LIMA) 2025, dilansir dari Yonhap.
Namun, ketegangan terkait penyelidikan insinyur Indonesia sempat mengganggu upaya Korea menyesuaikan ulang kontribusi finansial Indonesia. Seoul sebelumnya menyetujui pengurangan kontribusi Indonesia dari 1,6 triliun won menjadi 600 miliar won. Tapi perubahan itu belum bisa diwujudkan sepenuhnya karena Indonesia belum menyepakati amendemen perjanjian.
Kang menyatakan harapannya agar konflik ini bisa diselesaikan secara politik dan diplomatik, karena kerja sama ini memiliki nilai strategis jangka panjang bagi kedua negara.