Amerika Serikat di Ambang Resesi
Merdeka.com - Mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers mengatakan, Amerika Serikat (AS) akan memasuki resesi. Sebab, berdasarkan pengalaman, inflasi yang sudah tinggi akan sulit untuk kembali ke tingkat normal.
"Sekarang, saya tidak berpikir itu berarti kita akan memiliki sesuatu seperti yang kita alami setelah Covid atau sesuatu seperti yang kita alami selama krisis keuangan (2008), tetapi saya pikir kita memiliki periode stimulus yang sangat substansial dan saya pikir sisi lain dari itu kemungkinan akan terjadi penurunan," kata Summers dikutip dari CNN, Senin (10/10).
Ekonomi AS telah menunjukkan tanda-tanda peringatan selama berbulan-bulan. Saham dan obligasi keduanya berada di wilayah bearish, dan banyak analis mengatakan pasar bisa tetap bergejolak sampai inflasi terkendali. Secara keseluruhan, ekonomi menyusut 0,6 persen selama kuartal kedua tahun ini, menurut perkiraan produk domestik bruto terbaru dari Biro Analisis Ekonomi.
Beberapa ekonom dan pembuat kebijakan telah menolak klaim resesi awal 2023, dengan alasan pertumbuhan pekerjaan yang kuat, belanja konsumen dan manufaktur. Dan bulan lalu, Ketua Federal Reserve Jerome Powell berpendapat selama konferensi pers bahwa masih ada jalan untuk mengendalikan inflasi tanpa memicu penurunan.
Bahkan Powell mengakui bahwa langkah yang diambil itu semakin sempit karena The Fed terpaksa menggunakan kenaikan suku bunga drastis untuk menurunkan inflasi. Summers menjelaskan secara khusus mengutip keputusan OPEC+ untuk secara dramatis memangkas target produksi minyaknya sebagai risiko bagi ekonomi AS.
"Ini bukan kabar baik yang kami dapatkan dari OPEC. Ini meningkatkan risiko sehubungan dengan inflasi. Ini meningkatkan risiko sehubungan dengan resesi," kata dia.
Kelompok produsen minyak utama, yang meliputi Arab Saudi dan Rusia, mengatakan pada hari Rabu bahwa mereka akan memangkas produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari, pemotongan terbesar sejak awal pandemi, dalam sebuah langkah yang mengancam untuk mendorong harga bensin lebih tinggi.
Hal tersebut membuat pemerintahan Biden mengkritik keputusan OPEC+ yang menyebut bahwa OPEC+ berpandangan sempit dan mengatakan itu akan merugikan negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang sudah berjuang dengan harga energi yang paling tinggi.
"Cara kita harus berpikir tentang hal ini tidak mengelola dengan latihan kebakaran setiap kali kita memiliki beberapa masalah harga minyak. Ini mengurangi ketergantungan mendasar kita pada bagian dunia yang tidak stabil dan bermasalah untuk energi kita," tutupnya.
(mdk/azz)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
tetap tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat mendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR).
Baca SelengkapnyaADB mengingatkan kenaikan harga beras bisa mengganggu perekonomian Asia-Pasifik yang diramal mampu tumbuh 4,9 persen di 2024.
Baca SelengkapnyaWalau begitu, perekonomian Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan di angka 5,05 persen.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Sebagai negara maju, Inggris dan Jepang resmi masuk jurang resesi.
Baca SelengkapnyaKeduanya membahas tentang situasi dan kondisi dunia saat ini, termasuk kepada masalah ekonomi dan keamanan negara.
Baca SelengkapnyaIni membuktikan bahwa respons kebijakan kenaikan BI rate maupun kenaikan suku bunga SRBI memang berhasil menarik masuk aliran modal asing.
Baca SelengkapnyaPasar keuangan yang tidak pasti diprediksi bisa memperlambat ekonomi dunia.
Baca SelengkapnyaAirlangga berharap dalam tahun-tahun kedepan kondisi geopolitik dunia bisa berubah.
Baca SelengkapnyaPerry mengatakan, keputusan mempertahankan suku bunga acuan ini untuk penguatan stabilisasi nilai tukar Rupiah dari dampak tingginya ketidakpastian global.
Baca Selengkapnya