Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Alasan AS Keluarkan Indonesia dari Daftar Negara Berkembang

Alasan AS Keluarkan Indonesia dari Daftar Negara Berkembang Donald Trump. ©2019 AFP Photo

Merdeka.com - Indonesia saat ini disebut sudah tidak lagi termasuk negara berkembang. Keputusan itu bukan dari Bank Dunia, melainkan versi Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (United Stated Trade Representative atau USTR).

Keputusan itu selaras dengan keluhan Presiden Donald Trump yang sering kesal karena banyak negara mengaku masih berkembang, sehingga dapat untung dari aturan dagang AS. Misal, terkait aturan minimum subsidi produk ekspor.

Tak hanya Indonesia, negeri jiran Malaysia, Thailand, India dan Vietnam juga dikeluarkan dari daftar negara berkembang. Ternyata, negara seperti Korea Selatan, Singapura, dan China turut menyandang status itu.

Asal muasal mengapa negara tersebut di atas keluar dari deretan negara berkembang versi AS adalah aturan baru dari USTR.

Berdasarkan rilis resmi USTR, ada tiga aturan mengapa sebuah negara tak lagi masuk kategori berkembang dan tak berhak mendapat perlakuan spesial dari AS. Pertama, pendapatan nasional per kapita di atas USD 12 ribu. Kedua, share ke perdagangan dunia lebih dari 0,5 persen. Ketiga, mempertimbangkan keanggotaan di organisasi ekonomi internasional.

Pendapatan nasional per kapita Indonesia baru USD 3.027 per 2018. Namun, Indonesia masuk kategori kedua dan ketiga.

Menurut data The Global Economy, share ekspor Indonesia tercatat sudah mencapai 0,91 persen per 2017. Selain itu, Indonesia merupakan anggota G20.

"Perwakilan Dagang AS mempertimbangkan bahwa negara dengan share 0,5 persen atau lebih di dalam perdagangan dunia merupakan negara maju," jelas USTR. "Keanggotaan G20 mengindikasikan bahwa sebuah negara itu maju," lanjut USTR.

Dua faktor itu pun menyebabkan Indonesia dan sejumlah negara lain tak berhak lagi mendapat perlakuan khusus.

Tentunya, 'kenaikan' status ini tidak otomatis menjadi pertanda bagus. Pasalnya, para eksportir Indonesia menjadi terdampak negatif karena kehilangan insentif dagang.

Respons Pengusaha

Menanggapi langkah AS, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kadin Shinta W Kamdani mengatakan, kebijakan AS ini tentu akan berdampak bagi Indonesia, khususnya dalam hal perdagangan antara Indonesia dengan Negara Paman Sam tersebut.

"Kalau benar ini terjadi akan berpotensi berdampak pada, pertama, manfaat insentif Generalized System of Preferences (GSP) AS untuk produk ekspor Indonesia karena berdasarkan aturan internal AS terkait GSP, fasilitas GSP hanya diberikan kepada negara-negara yang mereka anggap sebagai LDC's dan negara berkembang," kata dia saat berbincang dengan Liputan6.com.

Dengan adanya redesignation Indonesia sebagai negara maju oleh AS, secara logika Indonesia tidak lagi eligible sebagai penerima GSP apapun hasil akhir dari kedua review GSP yang sedang berlangsung terhadap Indonesia," lanjut dia.

Dampak selanjutnya, kata Shinta, Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi dalam kegiatan perdagangan dengan AS. Hal ini tentu menjadi kurang menguntungkan bagi Indonesia.

"Kedua, semua produk ekspor Indonesia akan rentan terkena tuduhan subsidi perdagangan berdasarkan ketentuan subsidi and countervailing measures AS," ungkap dia.

Meski demikian, diharapkan keluarnya Indonesia dari daftar negara berkembang AS tidak sampai mengganggu kinerja perdagangan internasional Indonesia, khususnya dengan AS.

Lebih lanjut, Shinta mencemaskan ada standar ganda dalam penetapan ini. Pasalnya, ia menilai perlakuan Indonesia sebagai negara berkembang hanya berdasarkan satu aturan ini saja.

Cuma saja akan aneh dan karena AS jadi enggak konsisten dan double standard dengan kebijakannya sendiri kalau status Indonesia sebagai negara maju cuma berlaku di satu UU tapi enggak di UU yang lain yang sama-sama mengatur perdagangan," jelas Shinta.

Berkembang dan Maju

Menurut South China Morning Post, negara-negara yang terkena aturan baru itu adalah Albania, Argentina, Singapura, Brasil, Vietnam, China, Thailand, Korea Selatan, Hong Kong, India, Indonesia, dan Malaysia.

Selain itu ada Kazakhstan, Kirgizstan, Armenia, Moldova, Montenegro, Makedonia Utara, Rumania, Afrika Selatan, Georgia, Kosta Rika, Ukraina, Kolombia dan Bulgaria.

Presiden Trump juga sempat "iri" karena negara seperti China dan India disebut negara berkembang.

"China dipandang sebagai negara berkembang. India dipandang sebagai negara berkembang. Kami tidak dipandang sebagai negara berkembang. Sejauh yang saya tahu, kami negara berkembang juga," ujar Trump pada pertemuan Davos di Swiss bulan lalu.

Filipina masih dianggap sebagai negara berkembang. Sementara, Laos dan Myanmar juga disebut masih di bawah negara berkembang.

Reporter: Tommy Kurnia

Sumber: Liputan6.com

(mdk/idr)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Indonesia Harus Lebih Tegas Melawan Diskriminasi Perdagangan Global
Indonesia Harus Lebih Tegas Melawan Diskriminasi Perdagangan Global

Indonesia kini menghadapi diskriminasi perdagangan dari banyak negara terkait kebijakan ekspor minyak kelapa sawit.

Baca Selengkapnya
Terungkap, Ini Alasan Menteri Trenggono Tahan Ekspor Pasir Laut Indonesia
Terungkap, Ini Alasan Menteri Trenggono Tahan Ekspor Pasir Laut Indonesia

Aturan turunan ekspor pasir laut masih digodok karena melibatkan banyaknya tim kajian.

Baca Selengkapnya
Daftar Lengkap Cuti Bersama ASN 2024
Daftar Lengkap Cuti Bersama ASN 2024

Aturan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2024.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Indonesia Tak Alami Deindustrialisasi, Ini Buktinya
Indonesia Tak Alami Deindustrialisasi, Ini Buktinya

Kontribusi tersebut diharapkan bisa menjadi modal utama untuk menarik lebih banyak investasi asing dengan tujuan dapat meningkatkan ekspor.

Baca Selengkapnya
Izin Ekspor Pasir Laut Belum juga Dibuka Meski Sudah Dapat Izin Jokowi, Kemendag Buka Suara
Izin Ekspor Pasir Laut Belum juga Dibuka Meski Sudah Dapat Izin Jokowi, Kemendag Buka Suara

Presiden Jokowi mengeluarkan aturan yang membolehkan pengerukan pasir laut, salah satunya untuk tujuan ekspor pada Mei 2023.

Baca Selengkapnya
Jokowi soal Harga Beras Naik: Bukan Cuma di Negara Kita, Negara Lain juga Mengalami
Jokowi soal Harga Beras Naik: Bukan Cuma di Negara Kita, Negara Lain juga Mengalami

Jokowi mengaku sudah memerintahkan Direktur Utama Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk mencari beras dengan harga murah.

Baca Selengkapnya
Jokowi Kaget Lulusan S2 dan S3 Indonesia Kalah dari Vietnam dan Malaysia
Jokowi Kaget Lulusan S2 dan S3 Indonesia Kalah dari Vietnam dan Malaysia

Jokowi bakal menggelontorkan anggaran agar populasi produktif S2 dan S3 di Indonesia bisa meningkat drastis.

Baca Selengkapnya
Aturan Kenaikan Gaji PNS 8 Persen Diteken Jokowi, Besarannya Jadi Segini
Aturan Kenaikan Gaji PNS 8 Persen Diteken Jokowi, Besarannya Jadi Segini

Presiden Jokowi teken aturan kenaikan gaji PNS naik 8 persen per Januari 2024.

Baca Selengkapnya
Jokowi: Harga Beras Turun Saya Dimarahi Petani, Kalau Naik Dimarahi Ibu-ibu
Jokowi: Harga Beras Turun Saya Dimarahi Petani, Kalau Naik Dimarahi Ibu-ibu

Jokowi mengaku tak mudah bagi pemerintah mengelola pangan untuk masyarakat Indonesia yang jumlah penduduknya mebcapai 270 juta orang.

Baca Selengkapnya