Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

5 Fakta di Balik Utang BUMN Capai Rp 5.217 Triliun

5 Fakta di Balik Utang BUMN Capai Rp 5.217 Triliun hutang. shutterstock

Merdeka.com - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat 10 BUMN pemilik utang terbesar. Sepuluh BUMN tersebut adalah BRI, Mandiri, BNI, PLN, Pertamina, BTN, Taspen, Waskita Karya, Telekomunikasi dan Pupuk Indonesia.

"Terakhir laporan performa keuangan BUMN menggunakan dua titik waktu audit 2017 dan belum audit kuartal III 2018. Berhubung yang kita ajukan hari ini sediakala 10 BUMN dengan utang terbesar itu kami tampilan," ujar Deputi Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro, saat rapat dengar pendapat di Gedung DPR.

Data ini, kata Aloysius, diperoleh dari Bursa Efek Indonesia (BEI). "Data ini kami peroleh dari Bursa Efek Indonesia selain perundingan dengan BUMN sekaligus kami bandingkan dengan industri sejenisnya," tuturnya.

Saat ini, utang perusahaan pelat merah telah mencapai Rp 5.217 triliun. Sementara, aset BUMN juga tumbuh menjadi Rp 7.718 triliun per September 2018.

"Neraca BUMN pertumbuhan aset 3 tahun terakhir Rp 6.524 meningkat jadi Rp 7.200 lagi, jadi Rp 7.718 triliun. Gimana utang awalnya Rp 2.263 jadi Rp 4.830 dan kemudian kuartal-III akhir September 2018 utang BUMN meningkat level Rp 5.271 triliun," ujarnya.

Berikut rangkuman fakta di balik kepemilikan utang BUMN saat ini.

Ini 10 BUMN Pemilik Utang Terbesar

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengadakan rapat dengar pendapat dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengenai kondisi utang 10 BUMN terbesar. Sepuluh BUMN tersebut adalah BRI, Mandiri, BNI, PLN, Pertamina, BTN, Taspen, Waskita Karya, Telekomunikasi dan Pupuk Indonesia.

Deputi Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro, mengatakan pengukuran utang ini dilakukan dengan membandingkan posisi utang dengan industri sejenis. Misalkan, utang PT Telkom dibandingkan dengan perusahaan telekomunikasi lainnya.

Utang Membengkak Rp 3.000 Triliun Dalam 2 Tahun

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat utang BUMN sebesar Rp 5.217 triliun per kuartal III-2018. Utang ini naik drastis jika dibandingkan dengan posisi pada 2016 sebesar Rp 2.263 triliun.Deputi Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro, mengatakan utang sebesar Rp 5.271 didominasi oleh utang perbankan dengan catatan Rp 3.300 triliun yang didominasi oleh Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai 74 persen. Kemudian, sektor non perbankan mencatat utang sebesar Rp 1.960 triliun."Sektor non keuangan total utang per September Rp 1.960 triliun. Paling banyak didominasi sektor migas Rp 522 triliun dan kelistrikan Rp 543 triliun. Selebihnya BUMN memainkan peran penting di infrastruktur sehingga ini disertai utang BUMN konstruksi," jelasnya.

Ketua DPR Ingatkan BUMN Tak Bayar Utang Dengan Jual Aset

Ketua DPR Bambang Soesatyo mengingatkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) segera melakukan penjadwalan ulang atau reschedule pembayaran utang perusahaan pelat merah yang totalnya pada tahun ini mencapai Rp 4.825 triliun. Jumlah itu meningkat Rp 453 triliun dibandingkan akhir tahun 2017.Bamsoet mengatakan, BUMN harus bisa menyelesaikan persoalan utang. Namun, hal yang harus dihindari adalah membayar utang dengan menjual aset negara."Meminta Kementerian BUMN agar melakukan reschedule pembayaran utang dan berusaha untuk menyelesaikan utang yang ada dengan tidak melakukan negosiasi peminjaman utang kembali, dan tidak menjual aset negara," ujar Bamsoet.

Kementerian BUMN Pastikan Utang Perusahaan Negara Aman

Deputi Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro mengatakan, posisi utang ini masih dalam batas aman. Kesanggupan membayar diklaim aman baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek."Dapat disimpulkan relatif menunjukkan kesanggupan membayar utang jangka panjang dan pendek serta dapat dikatakan aman," ujar Aloysius.Utang BUMN dalam batas aman karena utang ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata utang industri di sektor yang sama jika dilihat dari DER. DER atau Debt to Equity Ratio yaitu rasio yang membandingkan jumlah utang terhadap ekuitas perusahaan."DER yang kita bandingkan terhadap 5 sektor industri. Data ini kami peroleh dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain perbandingan DER BUMN, sekaligus kami bandingkan dengan industrinya," jelas Aloysius.

BI Pernah Ingatkan Kementerian BUMN Berhati-hati Soal Utang

Bank Indonesia (BI), pada 2014, telah meminta pemerintah khususnya Menteri Keuangan (Menkeu) mengawasi pergerakan utang luar negeri badan usaha milik negara (BUMN). Sebab, perusahaan BUMN memiliki tingkat risiko besar menjadi beban negara akibat kinerja utangnya.Gubernur BI saat itu, Agus Martowardojo, mengatakan meskipun saat ini utang luar negeri pemerintah dinilai masih dalam batas aman, namun, tetap perlu diwaspadai."Saya ingin ingatkan untuk perusahaan BUMN yang besar, itu langsung risikonya kepada negara. Kalau perusahaan BUMN yang 100 persen dimiliki pemerintah atau negara, itu risiko langsung kepada negara," ujarnya.Agus juga meminta kepada perusahaan pelat merah untuk mengantisipasi kemungkinan makin tingginya beban utang luar negeri akibat pergerakan kurs. Maka dari itu, BUMN perlu melakukan lindung nilai pada besaran utang."Utang itu khususnya bagi perusahaan yang penerimaan bukan dalam valas, itu membuat risiko. Kita sudah minta dari tahun lalu lakukan lindung nilai. Peraturan sudah dikeluarkan. Relatif tidak dilaksanakan oleh perusahaan-perusahaan termasuk BUMN," jelas dia.

 

(mdk/bim)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP