Sejarah dan Cara Kerja InaTEWS, Sistem Pendeteksi Tsunami yang Dihentikan BRIN

Jumat, 3 Februari 2023 14:29 Reporter : Fauzan Jamaludin
Sejarah dan Cara Kerja InaTEWS, Sistem Pendeteksi Tsunami yang Dihentikan BRIN Buoy. ©2023 REUTERS/Fabian Cambero

Merdeka.com - Akhir 2004, Aceh dihantam gempa bumi yang menimbulkan tsunami besar. Ribuan masyarakat di sana menjadi korban. Dunia pun ikut berduka. Pemerintah Indonesia yang kala itu dipimpin Presiden SBY, mulai memikirkan bagaimana memitigasi atau paling tidak ada pendeteksi awal tsunami untuk wilayah di seluruh Indonesia.

Maklum, negara ini memang rawan anomali alam, termasuk gempa bumi. Oleh sebab itu, pemerintah mulai mengembangkan dan membangun Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia atau Indonesia Tsunami Early Warning System yang disingkat InaTEWS.

Dikutip dari catatan InaTEWS: Konsep dan Implementasi tahun 2010, disebutkan oleh Sri Woro B. Harijono, Kepala BMKG periode 2005-2013, InaTEWS merupakan proyek nasional yang melibatkan berbagai institusi dalam negeri di bawah koordinasi Kementerian Negara Riset dan Teknologi (RISTEK).

Institusi lain yang terlibat antara lain : Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemkokesra), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).

Kemudian, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BAPPENAS, Kementerian Komunikasi dan Informas (KEMKOMINFO), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Kementerian Luar Negeri (KEMLU), Kementerian Kelautan dan Perikanan (DKP), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan serta dukungan tenaga-tenaga ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB).

Lalu, bagaimana dengan cara kerjanya?

InaTEWS pada dasarnya memiliki 2 sistem pemantauan. Pertama, sistem pemantauan darat. Sistem pemantauan ini terdiri dari jaringan seismometer broadband dan GPS yang dapat menunjukan adanya anomali pada suatau wilayah.

Kedua, sistem pemantauan laut atau sea monitoring system. Sistem yang kedua ini terdiri atas buoy, tide gauge, dan CCTV. Paling sering diketahui adalah buoy. Buoy adalah ‘pelampung’ yang sengaja dipasang di permukaan laut untuk mendeteksi tsunami dengan mengawasi dan mencatat perubahan tingkat air laut.

Mekanisme kerjanya adalah InaTEWS akan mendapatkan informasi dari dua sistem pemantauan itu, baik darat maupun laut dengan menggunakan perangkat Decision Support System (DSS). Nah dari DSS itu, dapat dimonitor apakah gempa bumi yang terjadi berisiko tsunami atau tidak. Jika diverifikasi mampu berisiko tsunami, maka peringatan dini tsunami akan dikeluarkan BMKG.

Menariknya adalah alat tersebut bisa memberitahukan adanya potensi tsunami setelah 5 menit terjadi gempa. Hal ini karena informasi berupa data akan terkirim menggunakan komunikasi imarsat dan akan dikirimkan langsung ke BMKG menggunakan VPN dan back up dengan VSAT IP. Dengan jalur komunikasi seperti ini diharapkan delay waktu akan terabaikan.

Setelah itu, BMKG mampu menerbitkan berita peringatan dini tsunami yang kemudian diikuti oleh beberapa kali berita pemutakhiran dan diakhiri berita ancaman tsunami telah berakhir. Peringatan dini berisi tentang tahapan ancaman tsunami sesuai wilayah. Tahapannya yaitu; Awas, Siaga, dan Waspada.

Sejauh ini, InaTEWS telah ditempatkan di titik-titik rawan bencana seperti perairan selatan Jawa dan Sumatera, perairan utara Sulawesi dan Papua, Laut Flores dan Laut Banda. Sayangnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dikabarkan telah menghentikan InaTEWS dari pemantauan air atau Buoy.

[faz]

Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini