Merdeka.com - Seiring dengan kampanye pemilihan presiden di Indonesia yang memasuki tahap akhir, agenda otoritarian Calon Presiden Prabowo semakin eksplisit.
Pada pidatonya Sabtu lalu (28/6) di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Prabowo menyatakan bahwa pemilihan langsung tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia dan memberi sinyal kuat bahwa dia ingin melenyapkan praktek ini. Dengan kata lain, walaupun Prabowo mengajak rakyat Indonesia untuk memilihnya pada pemilihan presiden kali ini, nampaknya dia tidak ingin memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mengevaluasi performanya dan memberikan penilaian atas masa kepresidenannya selama lima tahun ke depan.
Walaupun kami belum mendapatkan akses terhadap transkrip lengkap dari pidato tersebut, tetapi laporan yang nampak dari Kompas Online, Prabowo menyatakan bahwa pemilihan langsung adalah produk budaya dan politik Barat yang "tidak cocok" untuk Indonesia. Dia membandingkan dengan seseorang yang mencandu rokok, yang prosesnya sulit sampai dia berhenti. Prabowo menambahkan, Indonesia memerlukan format politik baru untuk membenahi sistem di Indonesia yang terlanjur berkiblat ke Barat.
Kompas mengutip Prabowo yang mengatakan "Perlu konsesus baru. Pemimpin politik, cendekiawan, agama, budaya, bahkan buruh. Saya tidak ingin kejanggalan ini, membiarkan kita keluar dari nilai-nilai budaya nenek moyang kita".
Lebih lanjut, Kompas menparafrase pernyataan mantan jenderal yang mengatakan perlunya pertemuan besar berskala nasional untuk membicarakan konsensus baru yang kontras dengan situasi sekarang "Karena, saat ini, dengan mengatasnamakan demokrasi, maka segala kebijakan, harus melalui voting, termasuk pada pemilihan langsung".
Di sini, Prabowo memainkan lagu lama yang sama persis dalam buku lagu yang dimainkan oleh rezim otoritarian sebelumnya yaitu mantan mertuanya Jenderal Soeharto.
Pada tahun-tahun awal Rezim Orde Baru, militer meletakkan "konsensus" baru sebagai basis dari sistem otoritarian. Orde Baru juga selalu memberikan perhatian kepada versi (rekayasa) dari budaya Indonesia, yang menekankan kepada musyawarah dan mufakat, yang memberikan legitimasi kepada praktek anti demokrasi.
Bahkan, pernyataan Prabowo terlihat seperti diambil langsung dari pidato pejabat pemerintah pada masa kekuatan Orde Baru mencapai puncaknya, padahal pernyataan semacam ini semakin jarang terdengar dalam era pemerintahan pasca-Soeharto.
Dapat diasumsikan, apa yang ada di benak Prabowo bukan hanya penghapusan pemilu kepala daerah (hal yang sudah disampaikannya secara eksplisit), tetapi juga kembali kepada pemilihan tidak langsung Presiden melalui MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), proses yang digunakan Soeharto yang pada masa lalu, dan akan selalu, terbuka untuk manipulasi dan politik patronase.
Hal ini mungkin pernyataan paling eksplisit sampai sejauh ini tentang sikap Prabowo terhadap demokrasi elektoral. Sebelumnya, dia pernah menyatakan bahwa demokrasi "membuat kita capek" dan bahwa dia berharap untuk dapat menciptakan demokrasi yang "produktif" dan bukan yang "destruktif". Dia juga pernah secara tidak langsung menunjukkan keinginan untuk menghapus infrastruktur utama penopang demokrasi pasca Soeharto dengan kembali kepada versi asli UUD 1945. Keinginan Prabowo untuk kembali ke format politik seperti dipraktekkan di bawah UUD 1945 yang asli (sebelum diamandemen) telah dijelaskan dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerindra. Namun, baru saat ini kita melihat penerjemahan Prabowo yang konkret terhadap agenda tersebut: dia sangat mungkin juga ingin menghapus mekanisme yang membawanya ke kekuasaan, yaitu pemilihan presiden langsung. Ini merupakan suatu kondisi yang luar biasa.
Sangat jarang dalam dunia modern untuk seseorang yang akan menjadi autokrat berbicara secara terbuka bahwa dirinya akan menghancurkan sistem pemilu yang digunakannya sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan. Mereka umumnya menutupi niatannya sebelum mereka terpilih. Dalam upaya mencari kasus serupa dalam sejarah politik, kita mungkin butuh kembali ke gerakan fasis Eropa di tahun 1930an untuk menemukan sentimen otoritarian yang diucapkan secara ekspisit oleh suatu gerakan yang berkompetisi dan akhirnya menang dalam pemilu.
Namun sepertinya, sampai sejauh ini, lawan kampanye Prabowo, kubu Joko Widodo, tidak melakukan apapun untuk menggarisbawahi pernyataan Prabowo dan ancaman yang tersirat terhadap arsitektur demokrasi Indonesia.
Hal ini sesuai dengan kegagalan kampanye untuk menggarisbawahi elemen anti demokrasi serupa yang muncul dalam berbagai pernyataan dan pidato Prabowo. Sangat nampak keengganan kubu Jokowi untuk menggambarkan pemilihan presiden ini sebagai suatu peristiwa politik di mana nasib demokrasi di Indonesia akan ditentukan.
Seandainya nanti demokrasi Indonesia mati pada 9 Juli, kematiannya tidak akan disebabkan oleh suatu big bang, atau suatu kecelakaan politik yang luar biasa. Demokrasi akan mati tanpa disadari banyak orang, baik di Indonesia maupun di luar negeri. (Profesor Edward Aspinall dan Dr Marcus Mietzner adalah peneliti politik Indonesia yang berbasis di Australian National University, College of Asia and the Pacific. Mereka berada di lapangan untuk mengikuti kampanye pemilihan presiden.)
sumber: http://asiapacific.anu.edu.au/newmandala/2014/07/01/prabowo-subianto-pilihlah-aku-tetapi-sekali-saja/
[cza]Data per 25 Juni: 65.134 Jemaah Haji Indonesia Sudah Berada di Arab Saudi
Sekitar 4 Menit yang laluRibuan Perempuan NU Jakarta Deklarasi Dukung Cak Imin Capres 2024
Sekitar 1 Jam yang laluPemerintah Sosialisasikan PeduliLindungi untuk Distribusi Minyak Goreng Mulai Senin
Sekitar 2 Jam yang laluSaran Dokter untuk Jemaah Haji Komorbid Diabetes: Gunakan Alas Kaki Nyaman
Sekitar 2 Jam yang laluKomunitas Mercedes Benz Tiger Club Gelar Gathering di Banyuwangi
Sekitar 2 Jam yang laluD3 Manajemen UNDIP Kampus Rembang Dorong Mahasiswa Bangun Local Pride
Sekitar 2 Jam yang laluKapolda Metro Minta Sirkuit Formula E Jadi Lintasan Street Race, Ini Kata Sahroni
Sekitar 3 Jam yang laluMomen Penting Puan Maharani dan Ganjar Pranowo saat Rakernas II PDIP
Sekitar 3 Jam yang laluKedekatan Jokowi dan Luhut, Hingga Merasa Selalu Dilindungi
Sekitar 4 Jam yang laluJemaah Haji Harus Perhatikan Ini Bila Menyeberang Jalan di Mahbas Jin Mekkah
Sekitar 4 Jam yang laluTernyata Ada JK saat Ganjar dan AHY Bertemu di Masjid
Sekitar 4 Jam yang laluCerita Insiden Beruntun Balap Liar, Warga Malah Bersyukur
Sekitar 5 Jam yang laluCerita Reshuffle Kabinet Jokowi
Sekitar 1 Minggu yang laluSosok John Wempi Wetipo, Kader PDIP Miliki Rp65 M Dipuji Megawati Karena Disiplin
Sekitar 1 Minggu yang laluLuhut Bongkar Rahasia, Kisah di Balik Jokowi Sering Merotasinya Sebagai Menteri
Sekitar 3 Hari yang laluMomen Jokowi Lupa Sapa Zulkifli Hasan dan Hadi Tjahjanto di Sidang Kabinet Paripurna
Sekitar 4 Hari yang laluCerita Reshuffle Kabinet Jokowi
Sekitar 1 Minggu yang laluKedekatan Jokowi dan Luhut, Hingga Merasa Selalu Dilindungi
Sekitar 4 Jam yang laluElite Parpol Ramai Lobi-Lobi buat Pencapresan, PSI Kutip Jokowi 'Ojo Kesusu'
Sekitar 12 Jam yang laluVIDEO: Pasukan Elite TNI di Paspampres Kawal Jokowi ke Ukraina dan Rusia
Sekitar 16 Jam yang laluDanpaspampres Jamin Keamanan Jokowi di Ukraina: Ada Kopasus, Denjaka dan Paskhas
Sekitar 1 Hari yang laluSubvarian Baru Virus Corona Kebal Antibodi yang Dipicu Vaksinasi & Infeksi Omicron
Sekitar 4 Jam yang laluKasus Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 Terdeteksi di 143 Pasien
Sekitar 18 Jam yang laluUpdate Covid-19 Nasional Hari Ini per 24 Juni 2022: Kasus Positif Tambah 2.069 Orang
Sekitar 19 Jam yang laluHarga BBM Shell Kembali Naik, Bagaimana dengan Pertamina?
Sekitar 3 Minggu yang laluJokowi Soal Harga BBM: Subsidi APBN Gede Sekali, Tahan Sampai Kapan?
Sekitar 1 Bulan yang laluNike Umumkan akan Angkat Kaki dari Rusia
Sekitar 18 Jam yang laluGibran Mengaku Tidak Khawatir Jokowi ke Rusia dan Ukraina
Sekitar 20 Jam yang laluAdvertisement
Advertisement