Kisah heroik Letkol Slamet Riyadi pimpin serangan umum di Solo
Merdeka.com - Selain serangan umum 1 Maret di Yogyakarta. Ada juga serangan umum 10 Agustus 1949 di Kota Solo. Seakan tenggelam oleh Serangan Umum 1 Maret, sejarah yang satu ini tidak begitu populer.
Padahal, serangan ini membuat kedudukan TNI makin kuat dan makin menyurutkan niat Belanda untuk kembali menguasai Indonesia.
Hasil perundingan Roem-Roijen tanggal 7 Mei 1949, menyepakati Yogyakarta dikembalikan pada Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pun bisa kembali dari pengasingannya. Pemerintah Belanda sepakat menghentikan agresi militer. Sementara tentara republik menghentikan aksi gerilya.
Selain itu mereka menyepakati tanggal 11 Agustus 1949, tentara Belanda dan tentara republik harus menghentikan tembak menembak.
Namun bukan berarti suasana perdamaian langsung terasa. Pasukan Belanda yang ditarik dari Yogyakarta kini dikonsentrasikan di Kota Solo. Tembak menembak masih sering terjadi. Di Yogyakarta memang tidak ada tembak menembak. Tapi di daerah lain sebaliknya. Apalagi Kalangan militer RI tidak yakin Belanda akan benar-benar menyepakati perjanjian tertentu.
Maklum saja, dua kali TNI menelan pil pahit saat Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dan Renville serta menggelar agresi militer Belanda I dan II.
Apalagi tentara Belanda kerap melakukan apa yang disebut mereka 'aksi pembersihan'. Dalam buku 'Doorstoot Nar Djokja' Julius Pour menulis sekitar tanggal 3 Agustus 1949, pasukan Belanda menyerang pusat militer di Desa Balong.
Tempat itu merupakan pemancar radio republik dan markas Gubernur Militer Gatot Soebroto. Pasukan Belanda menghancurkan desa itu, namun tidak bisa menemukan target mereka. Untuk melampiaskan kemarahan dua pesawat Mustang menembaki desa-desa di sekitar Balong dengan roket.
Kejadian itu membuat Komandan SWK 106 Arjuna Mayor Achmadi berang. Pria yang baru berusia 21 tahun itu merancang aksi balasan pada pasukan Belanda yang berada di Kota Solo. Achmadi memerintahkan pasukannya menyerang Kota Solo tanggal 7 Agustus 1949.
Karena kesulitan komunikasi, Achmadi tidak tahu kalau komandannya, Letkol Slamet Riyadi juga merencanakan serangan umum tanggal 10 Agustus.
Jadilah tanggal 7 Agustus, Achmadi dan pasukannya yang terdiri dari batalion tentara pelajar mengepung Solo. Walau bersenjata seadanya, keberanian pasukan ini membuat repot Belanda. Sekitar 2.000 tentara pelajar harus berhadapan dengan sekitar 1.300 pasukan Belanda di Kota Solo yang dilengkapi tank dan pesawat terbang.
Tepat pukul 06.00 WIB, 10 Agustus 1949, pasukan Brigade V pimpinan Slamet Riyadi turut menyerang dari empat penjuru kota. Persenjataan dan taktik pasukan Slamet Riyadi yang lebih baik dari tentara pelajar membuat Belanda makin kewalahan. Slamet Riyadi pun bisa merebut pos-pos penting Belanda di Kota Solo.
Dia menyebut serangan ini 'Afscheidsaanval' atau serangan perpisahan, karena tanggal 11 Agustus mereka harus mematuhi gencatan senjata.
Komandan pasukan Belanda di Kota Solo, Kolonel Ohl mencoba mendatangkan pasukan baret hijau dari Semarang. Namun landasan udara Panasan terus dihujani tembakan oleh pasukan Slamet Riyadi. Pesawat Dakota yang mengangkut pasukan andalan kerajaan Belanda ini tidak bisa mendarat. Mereka pun terpaksa kembali ke Semarang dan kembali ke Solo menggunakan truk.
Kolonel Ohl kebingungan menghadapi pasukan Slamet Riyadi. Ohl bahkan sampai minta petunjuk atasannya di Batavia untuk memecahkan masalah ini.
Tepat pukul 00.00 WIB, 11 Agustus 1949. Pasukan Slamet Riyadi menghentikan tembak menembak. Mereka mematuhi perintah Soekarno untuk melakukan gencatan senjata. Pasukan Belanda pun ikut menghentikan tembakan. Beberapa bahkan menyalami para gerilyawan yang baru masuk Kota.
Namun aksi perdamaian ini dirusak oleh segerombolan pasukan Baret Hijau Belanda. pasukan yang sebelumnya gagal mendarat, datang kembali dengan truk. Tanpa belas kasihan, mereka menyembelih sejumlah pasien PMI. Aksi ini menimbulkan kemarahan tentara republik. Mereka mengejar pasukan Baret Hijau dan membunuh tujuh anggota pasukan baret hijau.
Setelah insiden itu, relatif situasi di Solo aman terkendali. Hingga pengakuan kedaulatan, Letkol Slamet Riyadi pun menerima pengakuan Kota Solo dari tangan Belanda.
Untuk menghormati jasa Mayor Achmadi, masyarakat Solo membuat patung komandan tentara pelajar ini. Sementara patung Letkol Slamet Riyadi selain di Solo, juga ada di Ambon.
Slamet Riyadi gugur ketika mencoba merebut Kota Ambon dari tangan pasukan Republik Maluku Selatan (RMS), tanggal 3 November 1950. Saat gugur usia Slamet Riyadi baru 23 tahun.
(mdk/ian)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Bagi masyarakat Besemah sosok Si Pahit Lidah dianggap sebagai seorang pemimpin pondasi dasar nilai budaya dan norma Suku Semidang.
Baca SelengkapnyaHari Sirkus Sedunia adalah perayaan internasional yang didedikasikan untuk menghormati dan mengapresiasi seni pertunjukan sirkus.
Baca SelengkapnyaSerangan Umum 1 Maret 1949 adalah sebuah upaya besar dalam perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Siapa sangka jika soto tangkar berangkat dari ketidakmampuan warga Betawi membeli daging sapi. Begini kisahnya
Baca SelengkapnyaTopeng-topeng ini sudah ada sejak zaman Kesultanan Banten ketika menguasai wilayah Sumatra.
Baca SelengkapnyaTak ada lampu, hanya beberapa lilin karena Solo mesti digelapkan saat malam pernikahan Soeharto.
Baca SelengkapnyaKi Ageng Wonoboyo merupakan sosok yang disegani pada masanya.
Baca SelengkapnyaPemilu 1955 di Indonesia merupakan salah satu tonggak sejarah penting dalam proses demokratisasi dan konsolidasi negara setelah merdeka pada tahun 1945.
Baca SelengkapnyaSalah satu lagu yang membuat dirinya populer tahun 90-an adalah "Biarlah Sendiri" ciptaan Rinto Harahap.
Baca Selengkapnya