KemenPPPA Susun SK Soal Tim Koordinasi Perlindungan Anak Korban Jaringan Terorisme
Merdeka.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) pihaknya sedang menyusun Surat Keputusan Menteri tentang tim koordinasi perlindungan anak terkait dalam jaringan terorisme. Hal itu seiring dengan adanya pergeseran pola rekrutmen pelaku terorisme yang menyasar pada anak-anak.
"Radikalisme dan terorisme merupakan ancaman terhadap anak dari sisi keagamaan, kehidupan bermasyarakat, tumbuh kembang anak, karakter dan budi pekerti anak, dan nilai-nilai nasionalisme dan cinta tanah air," kata Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus KemenPPPA, Elvi Hendrani dalam keterangan tertulis, Rabu (16/2).
Dia menjelaskan tindakan terorisme yang melibatkan anak atau anak menjadi korban terjadi di berbagai lokasi di Indonesia. Diantaranya adalah peristiwa pengeboman di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur pada 13 dan 14 Mei 2018. Pada rangkaian peristiwa tersebut, 7 orang anak terduga teroris menjadi korban.
BNPT menyebutkan Densus 88 Antiteror menjaring satu orang anak terduga teroris tewas pada aksi terorisme di Sibolga, Sumatera Utara yang menyebabkan 119 anak terdampak langsung dan 177 anak terdampak tidak langsung dari kasus terorisme tersebut. Lebih lanjut, pada ledakan bom di depan Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan pada 28 Maret 2021 tercatat 3 orang anak menjadi korban terkena pecahan bom dan 187 orang anak pelaku memerlukan Perlindungan dan Re-Edukasi.
Dalam upaya pencegahan dan perlindungan anak menjadi korban stigmatisasi dan jaringan terorisme, Elvi menjelaskan pihaknya telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 07 Tahun 2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme. Ke depan, Elvi menjelaskan KemenPPPA berharap sinergi dan koordinasi dapat dijalin antara Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, dinas pengampu untuk memperkuat proses pelaksanaan perlindungan terhadap anak korban jaringan terorisme.
"KemenPPPA sebagai penyelenggara koordinasi perlindungan anak di pusat telah mendorong daerah berkoordinasi dan bekerjasama untuk mewujudkan perlindungan anak," ungkapnya.
Dia juga mengklaim pihaknya sudah melakukan kerjasama terkait penyusunan kebijakan melibatkan Kementerian/Lembaga. Membentuk forum koordinasi, dan melaksanakan dukungan psikososial bersama dengan Densus 88.
"Kami juga bekerjasama dengan Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Riset Teknologi untuk melakukan kajian cepat terhadap intoleransi di satuan pendidikan," bebernya.
Anak Rentan Terkena Hasut Kelompok Terorisme
Dia menuturkan anak sangat rentan direkrut oleh kelompok terorisme. Tidak hanya itu dia menuturkan anak dianggap sebagai strategi karena tidak dicurigai oleh aparat keamanan. Sementara itu mitra deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Iqbal Khusaini menjelaskan ada beberapa sumber intoleransi dan radikalisme yang sering kali ditemui pada anak. Pertama congenital knowledge atau pengetahuan yang diyakini turun temurun, kedua yaitu sumber eksternal berupa pendidikan formal, non-formal, dan media sosial. Ketiga anak-anak di wilayah eks-konflik, atau ketika orang tua, guru, dan ustadnya ditangkap oleh pihak berwajib. Keempat anak-anak yang dibesarkan saat orang tuanya di dalam penjara; dan lima yaitu lingkungan sosial berekonomi rendah.
"Generasi Y dan Z mudah terbawa dan terpapar, apalagi dengan perkembangan teknologi dan media sosial saat ini dimana semua informasi dapat dengan mudah di akses. Virus-virus ideologi banyak bermunculan di dunia maya dengan menanamkan makna thoghut," ujarnya.
Lebih lanjut, Psikolog Densus Mabes Polri, Iptu Sidik Laskar menambahkan anak sebagai pelaku teroris adalah korban. Karena anak bukanlah pelaku intelektual terorisme, namun hanya menjadi korban janji dan iming-iming orang dewasa. Secara psikososial anak juga bukanlah anak yang sehat dan cukup matang dalam menerima informasi baru, sebab kinerja otak mereka sudah terdoktrin dan terpapar oleh nilai-nilai pemahaman radikal.
Kemudian, Kepala Balai Rehabilitasi Sosial Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (BRS AMPK) Handayani Kementerian Sosial, Sulistya Ariadhi menegaskan pentingnya upaya pembinaan kepada anak korban terorisme dan radikalisme. Hal itu dilakukan dengan menggunakan proses yang komprehensif, kerjasama, dan sinergi berbagai pihak terkait yang erat. Pendekatan secara emosional dengan dialog ringan dan mencari sosok yang dapat dijadikan tauladan positif adalah salah satu kunci proses rehabilitasi.
"Jangan hindari, jangan jauhi, tapi dekati. Kita harus menjadi pendengar yang baik, sehingga ketika kita sudah dekat dan tumbuh rasa kepercayaan, maka kita bisa dengan mudah menanamkan pemahaman bahwa di luar sana masih ada kehidupan yang dapat dijalani dengan fungsi sosial yang aktif," tutur Sulistya.
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Berbagai formasi di lingkungan Kemenag memiliki peran penting dalam memberikan wawasan terkait program pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Baca Selengkapnya“Bersama-sama kita mempersiapkan hal ini dengan baik guna mencegah terjadinya potensi gangguan keamanan," katanya
Baca SelengkapnyaGus Mudhlor ditetapkan KPK sebagai tersangka seteah diduga terlibat melakukan pemotongan dana insentif ASN.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Wakil Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Azanil Kelana mengatakan, masa depan Indonesia berada di tangan anak-anak muda.
Baca SelengkapnyaKenali penyebab sakit kepala yang dialami agar bisa melakukan penanganan yang tepat.
Baca SelengkapnyaPerusahaan asal Jerman dikabarkan menyuap pejabat Kementerian Kelautan dan Perikanan pada periode 2014-2018.
Baca SelengkapnyaKepala puskesmas juga menahan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadi hak pegawai.
Baca SelengkapnyaSiskaeee sedianya dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai tersangka pada Senin 15 Januari 2024 kemarin. Namun Siskaeee mangkir.
Baca SelengkapnyaPenyidik telah berkoordinasi dengan Densus 88 Antiteror. Hasilnya, pelaku dipastikan bukan bagian dari jaringan terorisme.
Baca Selengkapnya