Empat Alasan Komnas Perempuan Menolak Hukuman Mati
Merdeka.com - Hari Internasional Menentang Hukuman Mati diperingati tiap tanggal 10 Oktober. Komnas Perempuan ikut menentang pidana hukuman mati. Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani menyoroti perempuan-perempuan yang harus berhadapan dengan hukuman mati karena isu peredaran narkoba.
"Terdapat bentuk eksploitasi baru dalam tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO) yaitu untuk tujuan penyelundupan narkoba yang belum dikenali oleh sistem hukum kita. Akibatnya sejumlah perempuan yang sebetulnya adalah korban perdagangan orang harus berhadapan dengan hukuman mati," ujar Tiasri melalui diskusi virtual yang disiarkan secara langsung di akun Youtube Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan pada Senin (12/10).
Tiasri mengatakan dalam beberapa kasus hukuman mati yang dijatuhkan pada perempuan atas kasus perdagangan narkoba menunjukkan bahwa terdapat proses peradilan yang tidak menyeluruh. Hal ini kemudian mengabaikan fakta bahwa para terpidana mati perempuan merupakan korban dari kasus perdagangan manusia atau human trafficking.
Selain itu, Tiasri juga menyoroti bahwa masa menunggu pelaksanaan pidana mati itu merupakan salah satu bentuk penyiksaan psikologis kepada terpidana mati.
“Masa menunggu pelaksanaan pidana mati merupakan bentuk penyiksaan. Dampaknya telah menyebabkan para terpidana mati mengalami gangguan kesehatan mental. Masa tunggu ini bagian dari bentuk-bentuk penyiksaan di mana terpidana mati harus menunggu kapan harus tereksekusi," papar dia.
Tiasri menjelaskan bahwa berdasarkan hasil pemantauan, terdapat empat alasan Komnas Perempuan menentang hukuman ini. "Pertama, hukuman mati berpotensi menyasar orang-orang yang tidak bersalah. Sistem hukum di berbagai negara termasuk di Indonesia masih meyakinkan orang yang tidak bersalah (untuk) dihukum," paparnya.
Kedua, melihat dari kasus pidana mati yang sempat dihadapi Mary Jane dan Merry Utami. Komnas Perempuan menyorot bahwa hukuman mati sering menyasar kelompok yang rentan, miskin, dan minoritas. Hal ini dikarenakan akses keadilan yang terbatas.
“(kasus Mary Jane dan Merry Utami) di situ ada kasus TPPO yang dialami, ketika ada proses hukum yang dihadapi, yang menjadi tuntutan utamanya dilihat dari kasus narkotikanya. Tapi tidak melihat bagaimana kerentanan Mary Jane dan Merry Utami sebagai kelompok rentan, miskin, dan minoritas," ujar dia.
Alasan ketiga adalah hukuman mati yang tidak selalu berdampak pada penurunan jumlah kejahatan dan tidak memberikan efek jera. Komnas perempuan sendiri sudah melihat sejumlah studi yang di beberapa negara yang membuktikan hal tersebut.
“Karena kita lihat sendiri dalam kasus-kasus narkotika sudah banyak yang tervonis hukuman mati tapi angka kejahatan narkotika itu juga tidak kunjung mengalami penurunan. Karena memang dalam kasus-kasus narkotika itukan banyak yang menjadi sasaran (hukuman mati) adalah kurir-kurir.”
Kemudian, kata dia, hukuman mati itu bertentangan dengan hak asasi manusia paling fundamental yaitu hak untuk hidup. Selain itu, hukuman mati juga dianggap sebagai bentuk merendahkan dan menyiksa manusia.
Oleh karena itu, sebagai bentuk peringatan Hari Internasional Menentang Hukuman Mati 2020, Komnas Permpuan menyampaikan 6 hal berikut:
1. Pemerintah RI dan DPR RI perlu melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia sembari meninjau ulang kasus-kasus terpidana mati terkait dengan pemenuhan hak atas peradilan yang jujur dan adil;
2. Presiden RI segera memberikan Grasi kepada dua terpidana mati perempuan yaitu Mary Jane Veloso dan Meri Utami yang merupakan korban dari sindikat perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi perdagangan narkoba;
3. Pemerintah dan DPR RI perlu melakukan reformasi kebijakan anti hukuman mati sebagai bentuk komitmen negara dalam melaksanakan ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan;
4. Kementerian Luar Negeri terus meningkatkan layanan bantuan hukum dan psikososial terhadap perempuan pekerja migran Indonesia yang berhadapan dengan hukuman mati di luar negeri;
5. Jaksa Agung RI dan aparat terkait perlu mendukung dan memfasilitasi pengambilan kesaksian MJV sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini juga menjadi wujud komitmen Indonesia pada perjanjian internasional Protokol Palermo yaitu Protokol untuk Mencegah, Menindak, dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, selain Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No. 14 Tahun 2009;
6. Organisasi masyarakat sipil perlu terus menyuarakan dan mendukung penghapusan hukuman mati di Indonesia seturut mandat UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia.
Reporter Magang: Maria Brigitta Jennifer
(mdk/ray)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Simak arti mimpi jatuh dari ketinggian berikut ini, ternyata bisa karena masalah psikologis.
Baca SelengkapnyaPenuaan dini adalah proses perubahan fisik dan mental yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia.
Baca SelengkapnyaMengepal Tangan Isyarat Wanita dalam Bahaya dan Butuh Pertolongan? Ini Kata Psikolog
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Sebanyak 134 prajurit jalani pelatihan selama 7 bulan
Baca SelengkapnyaMochammad Irfan, merupakan pria yang kini memilih beternak setelah purna dari tugasnya sebagai Kepala SMA Negeri Ambulu.
Baca SelengkapnyaBeberapa orang menganggap bahwa memasak adalah cara yang baik untuk menenangkan diri, terutama saat merasakan stres.
Baca SelengkapnyaAhli memperingatkan, AI yang bisa 'menghidupkan' orang mati bisa berbahaya.
Baca SelengkapnyaPada saat kita membutuhkan 'me time' sesungguhnya tubuh mengirimkan sejumlah sinyal yang tidak boleh dikesampingkan.
Baca SelengkapnyaSaat tinggal sendiri dan merantau jauh dari orangtua, mahasiswa perlu melakukan persiapan mental.
Baca Selengkapnya