Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Papua Melawan Stigma

Papua Melawan Stigma Ilustrasi Papua. ©2019 Merdeka.com

Merdeka.com - "Kenapa orang Papua kasar, pemabuk dan tukang onar?" Pertanyaan ini sering diterima Ricky Cuan. Bagi dirinya terdengar seperti merendahkan. Bukan hanya ucapan. Terkadang dia dijauhi karena perawakan dianggap menyeramkan.

Mahasiswa kelahiran Wamena, Papua, ini mencoba melawan. Menunjukkan bahwa golongannya tidak seperti orang lain tuduhkan. Menghilangkan cap pembuat onar dan stigma negatif lain. Walaupun harus dia akui banyak pikiran buruk tentang orang Papua itu memang menyakitkan.

Pengalaman buruk pernah dialami Ricky ketika bekerja paruh waktu sebagai tukang service pendingin ruangan. Upah Rp 25.000 hingga Rp 70.000 per hari. Saat itu dia ditugaskan memperbaiki di rumah warga. Sampai di lokasi, sang pemilik rumah justru ketakutan. Dia disangka penagih utang.

Rasa malu tak bisa disembunyikan. Pria 23 tahun ini harus bersabar. Menjelaskan pelan-pelan. Padahal harga dirinya terkoyak. Ricky tak mau emosi. Dia memilih melawan dengan senyuman. "Padahal Papua hanya muka seram, hatinya lembut," ucap dia menceritakan.

Ricky mengejar pendidikan tinggi di Universitas Pamulang. Menjadi mahasiswa jurusan teknik elektro, angkatan 2013. Kami bertemu di sebuah rumah di Gang Puri Intan 2, Ciputat Timur pada Rabu, 21 Agustus 2019 lalu. Hari-harinya dilewati bersama rekan sesama mahasiswa asal Jayawijaya.

Sudah enam tahun dirinya meninggalkan tanah kelahiran. Atas nama cita-cita, menetap sementara di Pulau Jawa. Tepatnya di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Berjarak 3.573 kilometer dari kampung halamannya di daerah pegunungan Jayawijaya.

Bukan hanya stigma negatif dialami. Ricky dan kawan sesama mahasiswa Papua kerap mengalami perundungan. Pengalaman pertama itu justru dirasakan ketika di gerbang kampus.

Masih membekas dalam ingatan. Berstatus sebagai pendatang, dia mendapat sambutan tak menyenangkan. Gara-gara dialek dan cara bertuturnya tak seperti orang kebanyakan. Ditambah tata bahasa tak beraturan. Ricky Merasa direndahkan. Meski itu disampaikan lewat nada guyonan.

"Orang Papua ngomong enggak jelas, pulang saja lu," kata Ricky menirukan kata orang-orang.

Perlakuan seperti itu jadi makanan sehari-hari. Hati kecilnya emosi, tapi tak diladeni. Harus diterima dengan lapang hati. Kekecewaannya harus dipendam dalam-dalam. Karena stigma justru terjadi di tempat banyak orang berpendidikan.

Akal sehat menuntun Ricky untuk lebih menahan diri. Belajar menjadi pribadi lebih matang. Ingat pesan dari orangtua bahwa meninggalkan kampung bukan untuk baku pukul.

Cerita pahit itu bukan hanya dirasakan Ricky. Pengalaman hampir serupa juga dialami Fajar Cuan, rekan satu rumah dengannya. Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah ini harus menambah rasa kesabaran.

Dalam banyak kesempatan, dia merasa terhina. Mungkin orang lain tidak bermaksud demikian. Tapi gestur tubuh seseorang manakala berada di dekat mereka, secara tidak langsung memperlihatkan. "Ada ibu di sekitar sini. Saat saya lewat, dia tutup hidung dengan kerah pakaiannya. Itu secara langsung menyakiti," kata Fajar memperagakan.

Selama dalam batas kesabaran, Fajar bisa menerima perlakuan itu. Jika sudah kelewatan, mahasiswa asal Walesi, Kabupaten Jayawijaya, ini tak sungkan menegur.

Sebenarnya, kata Fajar, diskriminasi juga terjadi sesama orang Papua. Mereka terpolarisasi. Ada orang gunung dan pesisir pantai. Arus globalisasi dan modernisasi dituding jadi penyebabnya.

Orang Papua di pesisir pantai lebih dulu menerima modernisasi. Mengingat ada pusat kota di sana. Sementara orang di pegunungan, cenderung tak seberuntung mereka. "Mereka pandang orang gunung pedalaman. Orang gunung suka bikin kacau. Ini rasis level rendah. Mereka anggap kita orang pedalaman, suka mabuk, bikin onar," ujar dia.

Pandangan miring, stigma dan rasisme tidak akan pernah hilang. Turun temurun dari zaman kolonial. Saat bangsa Eropa menjajah Indonesia. Pribumi dipandang rendah. Sama halnya ketika Eropa memandang Afrika sebagai budak. Sama seperti warga kulit putih di Amerika memandang rendah kulit hitam.

Orang Papua lebih banyak dipandang dari sisi negatif. Fajar tidak ingin jatuh dalam kekecewaan. Senior di organisasi mengajarkan mereka cara menghadapi stigma dan diskriminasi yang datang bertubi. Kuncinya, tak membiarkan akal sehat dikuasai emosi.

"Sejauh ini tidak pernah saya represif ke orang lain. Kalau ada stigma buruk ke saya, pikir positif. Kadang saya lupakan," ucap pria 27 tahun ini.

Ricky juga punya cara melawan stigma. Dia menjawab semua kritik dan hinaan dengan prestasi di akademik. Menguasai materi perkuliahan, dia juga aktif dalam organisasi pergerakan. Mengorganisir banyak orang.

Dengan cara itu, pembawaan diri lebih tenang dan gaya bertutur makin baik. Sehingga orang lain tak lagi memandangnya rendah. Mereka yang sebelumnya memandang sebelah mata, dengan sendirinya tertunduk. "Lambat laun akan menyadari. Jadi malu mereka," ujar Ricky mengungkapkan.

(mdk/ang)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Penghormatan Terakhir Rakyat Papua untuk Lukas Enembe, Arak Peti Jenazah Sejauh 2,5 KM ke Persemayaman
Penghormatan Terakhir Rakyat Papua untuk Lukas Enembe, Arak Peti Jenazah Sejauh 2,5 KM ke Persemayaman

Ribuan mahasiswa dan masyarakat secara mengarak peti jenazah Lukas Enembe menuju persemayaman.

Baca Selengkapnya
Jenderal Bintang Tiga Ini Ungkap Sosok Sersan Asal Papua yang Berani Bentak Dirinya
Jenderal Bintang Tiga Ini Ungkap Sosok Sersan Asal Papua yang Berani Bentak Dirinya

Cerita Prabowo Subianto saat masih menjadi Danjen Kopassus dan memimpin operasi penting di Papua.

Baca Selengkapnya
Trauma Pascagempa, 10 Ribu Warga Bawean Memilih Tinggal di Pengungsian
Trauma Pascagempa, 10 Ribu Warga Bawean Memilih Tinggal di Pengungsian

Rentetan gempa masih menghantui warga Kepulauan Bawean, Gresik, Jawa Timur. Akibatnya, sekitar 10 ribu jiwa memilih tinggal di pengungsian.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Ini Instruksi Kemendagri ke Pemprov Papua untuk Bereskan Masalah Beasiswa Siswa Unggul Papua</p>
Ini Instruksi Kemendagri ke Pemprov Papua untuk Bereskan Masalah Beasiswa Siswa Unggul Papua

Wempi menegaskan, rapat tersebut digelar untuk menyamakan persepsi, pemahaman, dan mencari solusi seputar permasalahan yang berkaitan dengan beasiswa SUP.

Baca Selengkapnya
Emosi 13 Prajurit TNI AD Siksa Anggota KKB: Korban Kerap Bikin Onar dan Serang Petugas
Emosi 13 Prajurit TNI AD Siksa Anggota KKB: Korban Kerap Bikin Onar dan Serang Petugas

Korban terlibat dalam tindakan separatisme dan membakar fasilitas umum di Papua

Baca Selengkapnya
Pria di Lumajang Bakar Diri Setelah Bacok Adik Ipar, Diduga Dipicu Utang Piutang
Pria di Lumajang Bakar Diri Setelah Bacok Adik Ipar, Diduga Dipicu Utang Piutang

Seorang warga Lumajang, Jawa Timur menjadi korban pembacokan. Penganiayaan itu dilakukan kakak iparnya yang kemudian nekat membakar dirinya.

Baca Selengkapnya
"Perundungan dengan Dalih Apa pun Tak Boleh Dibiarkan!"

Dirjen HAM menyebut tindakan merundung bisa mencederai martabat dan merugikan seseorang.

Baca Selengkapnya
Mengenal Sosok Putri Handayani, Wanita Indonesia Pertama yang Jejakkan Kaki di Kutub Selatan, Banjir Apresiasi
Mengenal Sosok Putri Handayani, Wanita Indonesia Pertama yang Jejakkan Kaki di Kutub Selatan, Banjir Apresiasi

Berkat aksinya, Putri menuai apresiasi dari warganet hingga kalangan pejabat.

Baca Selengkapnya
12 Persiapan Mental yang Penting bagi Mahasiswa yang Merantau Jauh dari Orangtua
12 Persiapan Mental yang Penting bagi Mahasiswa yang Merantau Jauh dari Orangtua

Saat tinggal sendiri dan merantau jauh dari orangtua, mahasiswa perlu melakukan persiapan mental.

Baca Selengkapnya