Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Perempuan Penyambung Lidah Masyarakat Perbatasan Bojonegoro

Perempuan Penyambung Lidah Masyarakat Perbatasan Bojonegoro Perempuan penyambung lidah masyarakat perbatasan Bojonegoro. ©2022 Merdeka.com/Faizal Insani

Merdeka.com - Seperti sebagian anak desa, Wintari pernah bercita-cita merantau. Namun, perjalanan karier membawanya pulang hingga menjadi tokoh penggerak masyarakat paling aktif di tanah kelahirannya.

Di masa geger pandemi, Enggarini ditunjuk menjadi Camat Margomulyo. Pertemuan dua perempuan itu, kata pepatah Jawa, bak tumbu ketemu tutup. Keduanya jadi kunci gerakan pemberdayaan masyarakat di perbatasan Bojonegoro.

***

Perjalanan Usia

perempuan penyambung lidah masyarakat perbatasan bojonegoro

©2022 Merdeka.com/Faizal Insani

Perjalanan usia membawa manusia pada perubahan perspektif. Hal inilah yang dirasakan Wintari, sosok yang belum lama ini dinobatkan sebagai Perempuan Menginspirasi oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Pada awal usia 20-an, Wintari mengaku ingin eksis melalui kegiatan-kegiatan sosial yang diinisiasinya. Menjelang usia 30 tahun, Wintari memiliki definisi kebahagiaan baru.

“Sekarang rasane seneng (rasanya senang) kalau bisa bikin sesuatu yang berdampak, bikin kegiatan yang semakin melibatkan banyak orang dan bisa menambah pendapatan mereka. Beda dengan dulu,” tuturnya saat ditemui di Kampoeng Thengul, Kabupaten Bojonegoro, Jumat (11/11/2022) siang.

Kampoeng Thengul adalah gerakan yang diinisiasi Wintari dan Dyah Enggarini Mukti bersama masyarakat Dusun Kedungkrambil, Desa Sumberjo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro untuk menjadikan wilayah tersebut sebagai pusat belajar Thengul. Kesenian wayang asli Bojonegoro itu telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Direktorat Jendral Kebudayaan Kemdikbud RI pada 2018 silam. Berbeda dengan Wayang Kulit, tokoh dalam Wayang Thengul berbentuk tiga dimensi dan biasanya mengangkat cerita rakyat seperti Panji, Babad Tanah Jawa, hingga Angling Dharma.

Nahasnya, jumlah seniman yang menekuni tradisi tersebut tinggal hitungan jari. Kini, hanya ada dua pengrajin wayang Thengul dan sedikit dalang mampu memainkannya. Salah satu dalang sekaligus pengrajin wayang Thengul adalah Suwarno, warga Kedungkrambil yang sudah 44 tahun menekuni kesenian tradisi asli Bojonegoro itu. Kondisi inilah yang memicu Wintari dan Enggarini menggagas Kampoeng Thengul.

“Thengul kan kesenian asli Bojonegoro, tapi belum ada tempat khusus kalau mau cari tahu tentang Thengul. Kami ingin kalau ada orang pengen belajar Thengul ya ke sini (Kampoeng Thengul), apalagi di sini ada Mbah Dalang (Suwarno),” ujar perempuan berusia 31 tahun itu.

Prinsip Pemberdayaan Masyarakat

kampoeng thengul di kecamatan margomulyo kabupaten bojonegoro

©2022 Merdeka.com/Faizal Insani

Diinisiasi pertama kali saat pandemi setahun silam, perlahan tapi pasti Kampoeng Thengul menjelma sebuah ekosistem. Selain keberadaan dalang dan pengrajin Wayang Thengul, di sana terdapat kelompok Tari Thengul yang terdiri dari anak-anak perempuan berusia Sekolah Dasar (SD) dan kelompok pengrawit yang anggotanya emak-emak setempat. Upaya mengenalkan Kampoeng Thengul juga dilakukan dengan menjual suvenir tokoh-tokoh Wayang Thengul. Kini, gerakan yang murni berasal dari gotong-royong masyarakat itu mulai mendapat perhatian pemerintah setempat.

Wintari berprinsip bahwa gerakan pemberdayaan masyarakat harus benar-benar lahir dan solid di tingkat akar rumput, bukan program dadakan untuk merealisasikan anggaran pemerintah atau sponsor swasta. Prinsip ini sudah ia miliki sejak menggagas komunitas Margomulyo Youth Movement (MYM) pada 2014 silam. Komunitas orang muda Margomulyo ini muncul sebagai respons tingginya angka putus sekolah di wilayah setempat. Bahkan, data Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro tahun 2022 masih menempatkan Margomulyo sebagai kecamatan dengan kasus terbanyak lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah.

“Kami ajak dokter, guru, polisi dan lain-lain untuk mengenalkan profesi mereka kepada anak-anak SD. Bagaimana perjuangan mereka sampai jadi seperti sekarang. Harapannya kalau anak-anak tahu berbagai profesi itu, mereka termotivasi,” ungkap perempuan yang pernah bercita-cita menjadi pendidik di pedalaman Indonesia itu.

      Lihat postingan ini di Instagram      

Sebuah kiriman dibagikan oleh Winwin Faizah (@winwinfaizah)

 

Sensibilitas tinggi pada diri Wintari membelalakkan matanya pada beragam masalah dan peluang. Margomulyo, kata dia, termasuk kecamatan tertinggal padahal daerah ini memiliki potensi besar untuk berkembang. Kecamatan ini dikenal sebagai sentra kayu jati dan tersohor karena keberadaan Alas Watu Jago, hutan dengan tutupan cukup luas yang membentang di antara jalan berkelok. Di sana juga terdapat masyarakat adat Samin, keturunan dan pengikut ajaran Samin Surosentiko yang memegang teguh nilai kesederhanaan, keterbukaan, keikhlasan, serta selalu menjaga keseimbangan alam.

Sejak zaman Orde Baru, masyarakat adat Samin distigmatisasi sebagai aliran sesat, kafir, dan sebagainya. Untuk mengikis stigma negatif tersebut, Wintari menggagas pemilihan duta Samino Samini, akronim dari Samin Isih Ono, Samin Masa Kini (Samin Masih Ada, Samin Masa Kini). Kegiatan yang melibatkan orang-orang muda di Kecamatan Margomulyo ini bertujuan untuk menampilkan citra masyarakat Samin sesungguhnya. Awalnya, kegiatan ini diselenggarakan secara swadaya oleh masyarakat. Sebelum akhirnya menjadi bagian dari Festival Samin yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Bojonegoro.

Sementara itu, sejak pertama kali ditunjuk sebagai Camat Margomulyo pada November 2021 silam, Enggarini langsung tancap gas merespons masalah dan peluang di Kecamatan Margomulyo melalui gerakan pemberdayaan masyarakat. Gerakan-gerakan itu ia rumuskan bersama Wintari.

“Kami (Enggarini dan Wintari) punya cita-cita sama soal pemberdayaan masyarakat dan sosial entrepreneurship. Gerakan pemberdayaan masyarakat harus tumbuh dari bawah agar benar-benar kuat, bukan tiba-tiba muncul karena program pemerintah,” ungkap Enggarini melalui sambungan telepon, Selasa (22/11/2022) malam.

Selain Kampoeng Thengul, keduanya merilis merek My Kayu untuk mendorong pemulihan ekonomi para pengrajin kayu di wilayah setempat yang sempat lesu akibat pandemi Covid-19. Enggar mengungkapkan bahwa jumlah pengrajin kayu di Kecamatan Margomulyo merosot akibat pandemi, dari yang sebelumnya 100 orang lebih menjadi sekitar 75 orang.

Saat itu, permintaan kayu dari eksportir yang berasal kota besar seperti Yogyakarta dan Semarang yang selama ini menjadi tumpuan utama perekomian pengrajin berkurang drastis. Merespons kondisi sosial tersebut, Camat Margomulyo itu berinisiatif mendorong pengrajin memproduksi barang siap jual dengan merek sendiri. Lahirlah merek My Kayu dengan produk berupa tumbler, gelas, dan lain sebagainya. Berkat jejaring dan promosi di media sosial, produk MyKayu mulai dikenal banyak pihak. Kualitas baik dan harga yang relatif terjangkau menjadi keunggulan MyKayu dibanding produk sejenisnya.

“Kami ingin meningkatkan value added (nilai ekonomi tambahan) untuk produk kayu yang dihasilkan para pengrajin di Margomulyo. Akhirnya, kami bikin contoh dulu dengan merek MyKayu dan respons pasar bagus. Sekarang banyak pengrajin datang nanya ke saya, gimana sebaiknya produk mereka dirancang,” terang ASN yang sebelumnya bertugas di Disbudpar Kabupaten Bojonegoro itu.

Dukungan Orang Tercinta

perempuan penyambung lidah masyarakat perbatasan bojonegoro

©2022 Merdeka.com/Faizal Insani

Potensi kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ngawi itu bak buku yang tak habis dibaca. Hal ini membuat Wintari dan Enggarini selalu tertantang untuk menggali pengetahuan dan mengembangkannya bersama masyarakat. Panggilan jiwa Wintari mendapat legitimasi saat ia lolos seleksi perangkat desa tahun 2017 silam. Posisinya sebagai Kaur Perencanaan di desa tempat dia lahir membuat Wintari bisa menyelami realitas sosial masyarakat secara lebih mendalam.

Empat tahun kemudian, Wintari dan Enggarini yang sebelumnya sudah saling kenal dipertemukan dalam kondisi ideal. Enggarini ditunjuk menjadi Camat di tanah kelahiran Wintari yang tercatat sebagai salah satu daerah dengan angka kemiskinan ekstrem tinggi di Kabupaten Bojonegoro. Jabatan publik itu menjadi privilese bagi aktivitas keduanya sebagai penggerak masyarakat.

Selain menjadi perangkat desa dan penggerak masyarakat, Wintari dan Enggarini juga seorang istri sekaligus ibu rumah tangga. Bahkan, buah hati Wintari masih balita dan secara emosional sangat dekat dengan dirinya. Dalam konteks demikian, ia bersyukur mendapat dukungan dari orang-orang tercinta.

“Bahkan ibuku dan ibu mertua menawarkan mengasuh anakku seandainya aku ada kegiatan hari Sabtu atau Minggu. Aku yang keberatan karena itu waktuku sama dia, sama keluarga,” ujar mantan guru honorer di SMK Margomulyo itu.

Wintari menetapkan jadwal agar masing-masing peran yang ia jalani bisa optimal. Akhir pekan menjadi waktu khusus bersama keluarga yang tidak bisa diganggu gugat. Apalagi kini anaknya sudah pandai mengutarakan keberatan jika sang ibu pulang terlambat karena aktivitasnya di luar rumah.

      Lihat postingan ini di Instagram      

Sebuah kiriman dibagikan oleh Dyah Enggarini (@enggarinimukti)

 

Senada, Enggarini dikenal sebagai sosok istri dan ibu rumah tangga dengan dua anak yang selalu mengupayakan waktu khusus bersama keluarga. Enggarini sekeluarga memiliki waktu-waktu khusus untuk menikmati liburan dengan melakukan perjalanan wisata ke kota-kota lain. Mulai dari Kawah Ijen di Banyuwangi, Bukit Rhema Gereja Ayam Magelang, hingga Lawang Sewu di Kota Semarang.

Ditemui terpisah, Joko Eri Prabowo, suami Wintari, mengungkap suka duka membina rumah tangga bersama perempuan multiperan itu. Ada masa di mana Joko merasa waktu yang dimiliki sang istri untuk buah hatinya kurang optimal, apalagi saat jadwal kegiatan Wintari padat.

“Lama-lama kami semua menyesuaikan, sekarang sudah terbiasa,” ujar ayah satu anak itu saat ditemui di kediamannya di Kecamatan Margomulyo, Minggu (20/11/2022).

Sejak sebelum menikah, Joko sudah mempersiapkan diri menghadapi risiko-risiko yang mungkin terjadi saat membina rumah tangga bersama Wintari. Dia juga telah menyatakan dukungan terhadap aktivitas-aktivitas sosial calon istrinya saat itu.  Bahkan, Joko menjamin pernikahan keduanya tidak akan menghentikan aktivitas Wintari sebagai penggerak masyarakat.

“Dukungan keluarga itu penting banget. Pada hari kerja dan ada kegiatan bersama masyarakat, aku menitipkan anakku secara bergantian di rumah ibu dan mertua,” tutur perempuan yang pernah menjadi penyiar radio itu.

Merdeka menemui Wintari pada siang yang terik di pos ronda berbahan kayu berbentuk panggung  berukuran 1x1 meter, tepat di pinggir jalan utama Kecamatan Margomulyo yang juga jalan nasional. Di sana, lalu lalang kendaraan seperti tak pernah istirahat, tidak macet tapi selalu ada. Bus antarkota yang penampakannya penuh karat hingga truk tronton menjadi pemandangan sehari-hari. Sering kali obrolan harus dijeda karena suara kami tenggelam oleh deru mesin kendaraan melewati tanjakan.

Matahari siang itu merepresentasikan semangat Wintari. Kecintaan pada tanah kelahiran membulatkan tekadnya untuk memperkuat gerakan sosial maupun menginisiasi gerakan baru yang seluruhnya bermuara pada peningkatan taraf hidup masyarakat perbatasan Bojonegoro. Tekad kuat itu juga yang telah mendarah daging pada diri Enggarini.

(mdk/rka)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Monumen Ini Jadi Saksi Bisu Kejamnya Pembantaian PKI di Wonogiri, Begini Kisah di Baliknya
Monumen Ini Jadi Saksi Bisu Kejamnya Pembantaian PKI di Wonogiri, Begini Kisah di Baliknya

Tercatat dalam peristiwa itu, sebanyak kurang lebih 65 orang terbunuh.

Baca Selengkapnya
Melihat Kehidupan Warga di Kampung Tengah Pegunungan Kapur Wonogiri, Sepi karena Banyak yang Merantau
Melihat Kehidupan Warga di Kampung Tengah Pegunungan Kapur Wonogiri, Sepi karena Banyak yang Merantau

Saat musim tanam tiba, para perantau itu pulang sebentar untuk menanam jagung dan selanjutnya pergi merantau lagi

Baca Selengkapnya
Cerita Sukses Desa BRILiaN Banjar Wangi: Gagal Panen Padi, Ganti Tanam Ubi hingga Ekspor ke Luar Negeri
Cerita Sukses Desa BRILiaN Banjar Wangi: Gagal Panen Padi, Ganti Tanam Ubi hingga Ekspor ke Luar Negeri

Kepala Kades Prasetyo menggandeng pelbagai instansi untuk membangun membangun desa Banjar Wangi. Salah satunya BRI.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Lapas Gorontalo Banjir, Begini Penampakannya
Lapas Gorontalo Banjir, Begini Penampakannya

Banjir tersebut terjadi akibat hujan deras yang masih mengguyur wilayah Kota Gorontalo sejak pukul 14.00 WITA.

Baca Selengkapnya
Mimpi Sunarto Bangun Agrowisata Buah Kelengkeng di Bantul, Ingin Kurangi Pengangguran
Mimpi Sunarto Bangun Agrowisata Buah Kelengkeng di Bantul, Ingin Kurangi Pengangguran

Mimpinya mulia, Sunarto ingin kampungnya menjadi Desa BRILian dan angka pengangguran berkurang.

Baca Selengkapnya
Jadi Hari Bersejarah Penyerahan Wilayah dari Pihak Belanda ke Tangan Indonesia, Begini Momen Haru Perundingan Wonosobo Tahun 1949
Jadi Hari Bersejarah Penyerahan Wilayah dari Pihak Belanda ke Tangan Indonesia, Begini Momen Haru Perundingan Wonosobo Tahun 1949

Pada momen itu, tentara militer Belanda berbondong-bondong menarik diri dari wilayah yang didudukinya

Baca Selengkapnya
Bikin Onar di Jalan, Ratusan Pesilat Lamongan Menangis Sesenggukan di Kantor Polisi
Bikin Onar di Jalan, Ratusan Pesilat Lamongan Menangis Sesenggukan di Kantor Polisi

Pesilat asal Lamongan disambut banjir air mata usai digelandang ke kantor polisi akibat terlibat kericuhan.

Baca Selengkapnya
Banjir Parah Rendam Sejumlah Desa di Indragiri Hulu, Wakapolres Datangi Ratusan Pengungsi
Banjir Parah Rendam Sejumlah Desa di Indragiri Hulu, Wakapolres Datangi Ratusan Pengungsi

Banjir parah merendam tiga desa dan menyebabkan sedikitnya 228 warga mengungsi

Baca Selengkapnya
Mengunjungi Kampung Mati Wonotopo Temanggung, Suasananya Bikin Merinding Walau di Siang Hari
Mengunjungi Kampung Mati Wonotopo Temanggung, Suasananya Bikin Merinding Walau di Siang Hari

Kampung itu kini hanya menyisakan bangunan terbengkalai karena sudah ditinggal pemiliknya.

Baca Selengkapnya