Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

2 Juni: Lahirnya Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia yang Tewas di Tangan Negerinya

2 Juni: Lahirnya Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia yang Tewas di Tangan Negerinya Tan Malaka. ©blogspot.com

Merdeka.com - Tan Malaka adalah seorang sosok yang cukup "misterius" dalam sejarah Indonesia. Ia adalah tokoh pergerakan, pemikir, sekaligus filsuf yang juga salah satu tokohfounding fathers bangsa Indonesia. Tan Malaka bergerilya bertahun-tahun dan melakukan gerakan bawah tanah dalam perjuangan revolusi melawan penjajah asingdi bumi Nusantara.

Tan Malaka adalah sosok yang tak henti-hentinya turut mendesain program-program aksi massa revolusi untuk melawan kaum kolonial. Hampir seluruh tokoh pergerakan revolusi untuk melawan kolonial, tak terkecuali Bung Karno, pernah “berguru” kepadanya soal gerakan revolusi. Namun, nasib Tan Malaka justru berakhir tragis karena ia mati di ujung senjata tentara republik yang ia bela.

Tak hanya itu, Tan Malaka sebagai salah satu sosok legendaris dalam perjuangan kiri Indonesia yang banyak menghabiskan umurnya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari imperialisme asing ini namanya pernah diusahakan untuk dihapus dari lembaran sejarah Indonesia oleh penguasa Orde Baru. Meski pernah dicap berbahaya oleh rezim, namun kini Tan Malaka telah dikukuhkan sebagai pahlawan Nasional Indonesia.

Berikut ulasan selengkapnya mengenai Tan Malaka, yang lahir pada hari ini, 2 Juni 1897.

2 Juni 1897: Lahirnya Tan Malaka

Tan Malaka dilahirkan di desa Pandan Gadang, tak jauh dari kecamatan Suliki Kabupaten Limopuluh koto, Payakumbuh, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Beliau dilahirkan dengan nama Ibrahim Bin Rasad. Ibunya bernama Rangkayo Sinah, putri dari salah satu orang yang disegani di desanya.

Ayahnya adalah seorang mantri kesehatan yang pernah bekerja untuk pemerintah daerah setempat dan mendapatkan gaji beberapa puluh gulden setiap bulannya. Di kantor, ayah Tan Malaka termasuk pegawai biasa-biasa saja, mengutip dari publikasi oleh Universitas Islam Negeri Surabaya.

Dilihat dari tempat kelahiran dan situasi sosial bumi Minangkabau ketika ia tumbuh besar, sudah dapat dipastikan Tan Malaka mempelajari Agama Islam dengan cukup baik. Tan Malaka lahir dalam lingkungan keluarga yang menganut agama secara puritan, taat pada perintah Allah serta senantiasa menjalankan ajaran Islam.

Tan Malaka kecil juga belajar ilmu silat yang kemudian menjadi bekal dalam hidupnya untuk sekedar membela diri. Saat menginjak usia remaja Tan Malaka juga telah mampu berbahasa Arab dan menjadi guru muda di surau kampungnya. Pendidikan agama Islam begitu membekas dalam dirinya, yang kelak sedikit banyak memberikan warna dalam corak pemikiran Tan Malaka.

Perjalanan Pendidikan Tan Malaka

Tan Malaka mengenyam pendidikan pertama di Sekolah Dasar (SD) yang pada masa itu dikenal dengan Sekolah Rendah (SR) Suliki. Atas saran dari gurunya beliau kemudain melanjutkan studinya ke Sokolah Guru Negri (Kweekschool), Fort de Kock (Bukittinggi) dan lulus di tahun 1913 dengan nilai yang sangat memuaskan.

Seiringan dengan saran dari tuan Horensma, Tan Malaka lalu melanjutkan studinya ke Rijkskwekschool (sekolah pendidikan guru negri) di Belanda.

Kepergiannya ke Belanda dalam rangka studi ini mendahului tokoh-tokoh Indonesia lainnya yang juga sama-sama pernah merasakan studi di negeri itu, misalnya Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Abdul Muis, Abdul Rivai, dikutip dari buku Tan Malaka: biografi singkat 1897-1949 oleh Taufik Adi Susilo. 

Studinya ke Belanda ini juga tidak lepas dari jasa gurunya, G.H.Horensma. Horensma juga yang menguruskan dana perjalanan dan belajar Tan Malaka di negeri kincir angin, selain menyumbangkan dana pribadi secara khusus.

Selama awal-awal masa pendidikannya di Belanda, Tan Malaka merasa sulit untuk beradaptasi baik dengan sandang, pangan, budaya, maupun tempat tinggal. Terlebih dengan masalah iklim ataupun cuaca yang jelas sekali sangat berbeda dengan kampung halamannya.

Ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan pangan dan iklim setempat serta tempat tinggal yang kurang layak membuat kesehatannya menurun. Tahun 1915 merupakan tahun di mana puncak kesehatannya sangat menurun dan menyerang paru-parunya.

Dalam otobiografi yang ia tulis sendiri, Dari Penjara Ke Penjara (DPKP), ia menuturkan, 3 bulan sebelum ujian guru Tan Malaka jatuh sakit pleuritus. Pada 1916, kesehatannya semakin parah dan dokter didatangkan untuk mengobati sakitnya.

Dengan surat keterangan dari dokter tersebut, Tan Malaka diizinkan mengikuti ujian oleh direktur Rijkskweekschool. Namun sayang, ia tidak berhasil lulus semuanya. Malah keadaannya semakin memburuk.

Selama berada di Belanda, Tan Malaka banyak bergaul dan dari pergaulannya terutama dengan keluarga induk semangnya –sebuah keluarga buruh– yang hidup agak kekurangan, membuatnya semakin menaruh hormat pada perjuangan buruh, di samping bacaannya sendiri tentang perkembangan dunia saat itu.

Pertemuannya dengan Snouck Hourgronje membuat Tan Malaka bimbang menjadi guru untuk anak-anak Belanda. Apa yang dialami Tan Malaka di Belanda sangat memengaruhi perkembangan pemikirannya. Di sana ia juga mulai mendatangi diskusi-diskusi perdebatan tentang perjuangan pembebasan bangsa tertindas dan membaca brosur terbitan tentang kemenangan revolusi Rusia 1917.

Ia juga bertemu dengan Suwardi Suryaningrat –sekarang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara yang memintanya untuk mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda.

Namun yang paling membuatnya berkesan adalah pertemuannya dengan tokoh-tokoh komunis Belanda seperti Henk Snevliet dan Wiessing, saat diskusi politik serta perjuangan kelas. Keinginan membebaskan dan memerdekakan bangsanya dari jajahan Belanda pun muncul.

Kembalinya Tan Malaka ke Indonesia

Setelah mengenyam pendidikan di Belanda selama enam tahun, pada akhir 1919 datang tawaran dari Dr. CW Janssen untuk menjadi guru sebuah perkebunan kuli kontrak di Tanjung Morawa, Deli. Terdorong niat untuk melunasi utangnya pada guru Horensma serta pertimbangan dapat mengajar anak bangsanya sendiri, berlayarlah Tan Malaka ke Indonesia untuk menerima tawaran tersebut.

Tan Malaka pergi ke Belanda untuk sekolah guru, namun ia gagal mendapatkan ijazah diploma guru kepala (Hufdacte), ia hanya mendapatkan ijazah diploma guru (Hulpace). Meskipun demikian, isi kepalanya berbeda dengan Tan Malaka enam tahun silam. Pemikirannya sudah menembus horizon seantero Eropa. Ia membawa satu tekad, perubahan untuk Indonesia.

Sesampainya di Deli, Tan Malaka menemukan situasi yang berkebalikan dalam angannya. Ia melihat buruh-buruh di perkebunan itu hidup tidak layak. Ia menganggap betapa kejamnya sistem kapitalis, sehingga Tan Malaka menyebutnya sebagai “tanah emas,” surga buat kaum kapitalis tapi tanah keringat air mata maut, untuk kaum proletar dikutip dari buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia oleh Harry A. Poeze.

Tan Malaka, sebagai seorang Inlander yang berpendidikan berniat melakukan perubahan-perubahan. Selama ia bekerja diperkebunan itu (Desember 1919-Juni 1921) ia banyak berselisihan paham dengan orang-orang Belanda, khususnya tentang sistem pendidikan dan perlakuan yang diterapkan bagi anak-anak kuli kontrak di Tanjung Morawa.

Tan Malaka mencatat dalam buku Dari Penjara Ke Penjara I, pertentangannya dengan orang-orang Belanda itu berpusat pada empat permasalahan. Pertama; adalah perbedaan warna kulit, kedua; masalah pendidikan terhadap anak para kuli, Ketiga; masalah tulis menulis dalam surat kabar di Deli, serta keempat; adalah hubungannya sendiri dengan kuli-kuli perkebunan itu.

Keadaan tersebut menantangnya untuk mengaplikasikan ilmu sosialis-komunis yang didapatinya selama belajar di luar negri. Namun, dikarenakan situasi dan kondisi di Sumatra dinilai tidak kondusif untuk menjawab tantangan tersebut secara maksimal, Tan Malaka lantas meninggalkan Sumatra dan menuju ke Pulau Jawa.

Perjuangan Pergerakan Tan Malaka

Dipenghujung Februari 1921, Tan Malaka sudah menginjakkan kakinya di Batavia (Jakarta) dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Yogyakarta untuk menemui Sutopo. Dari beliaulah Tan Malaka mengenal tokoh-tokoh pergerakan rakyat dalam SI (Sarekat Islam) seperti Tjokroaminoto, Semaun, dan Darsono.

Dengan berbagai relasi barunya ini, Tan Malaka menyadari besarnya kemungkinan untuk mengaplikasikan ilmu sosialis-komunis. Berbagai pengaplikasian ilmu sosialis-komunis yang diupayakan oleh Tan Malaka untuk membela dan mengangkat martabat bangsanya yang tertindas.

Lakonnya dalam menyebarkan isu kemerdekaan Indonesia membuat Tan Malaka harus menerima konsekuensinya. Pemerintahan penjajahan Belanda yang ingin mempertahankan status quo menyadari kehadiran Tan Malaka dengan segala aksinya sebagai suatu ancaman yang cukup berarti.

Sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan, pada akhirnya pemerintah mengambil tindakan. Tan Malaka ditangkap dan kemudian dibuang ke Belanda. Kaum Komunis Belanda tidak menyia-nyiakan kedatangannya, mengingat kebesaran nama dan pengaruhnya, mereka mencalonkan Tan Malaka sebagai anggota majelis Belanda. Sayangnya, beliau tidak dapat menjadi anggota parlemen dikarenakan usianya yang terlalu muda.

Pasca pemilihan, Tan Malaka berangkat menuju Moskow guna mengikuti Komunis Internasional (komitern) ke-IV. Di sana, dalam kesempatan untuk berpidato, beliau menyampaikan tentang strategi pergerakan Komunis nasional untuk menghadapi kapitalisme. Yang tidak kalah penting adalah pidatonya tentang persatuan antara Komunis dan Pan Islamisme.

Tan Malaka lantas terpilih untuk menjadi wakil Komitern untuk wilayah Asia Timur. Jabatannya sebagai seorang wakil khusus dari Komitern yang bertugas untuk menjelaskan strategi-taktik Komitern diberbagai Negara Asia Timur mengharuskan beliau untuk menetap di Kanton.

Setelah menyelesaikan segala macam tanggung jawabnya di organisasi, beliau mempersiapkan diri untuk berangkat ke Manila, Filipina agar dapat beristirahat dengan total untuk memulihkan kesehatannya. Namun upaya ini terganggu ketika ia mendapat kabar bahwa PKI merencanakan pemberontakan. Namun menurutnya, PKI belum cukup matang untuk melakukan pemberontakan.

Akhir Perjuangan Tan Malaka

Setelah sekian lama berkeliling dunia, pada akhirnya Tan Malaka dapat kembali ke negara kelahirannya. Setelah menyelesaikan MADILOG (1942-1943), beliau berhasil mendapatkan pekerjaan si sebuah kantor yang mengurusi Romusha (pekerja paksa di bawah penjajahan Jepang).

Seminggu setelah proklamasi kemerdekaan, Tan Malaka mengunjungi Ahmad Subardjo. Teman baiknya inilah yang kemudian mengenalkan Tan Malaka kepada beberapa politisi Jakarta seperti Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, Buntaran Martoatmodjo, dan Muhammad Hatta. 

Selain dengan politisi tersebut, Tan Malaka juga dipertemukan dengan Soekarno di rumah dr. Suharto, dokter pribadi presiden pertama Republik Indonesia. Pertemuan kedua tokoh besar ini diperantarai oleh Sayuti Melik, sekertaris pribadi Soekarno.

Dalam perjumpaan dan perbincangan ini Soekarno begitu terpesona oleh pendapat-pendapat Tan Malaka. Soekarno bahkan menyatakan ingin menyerahkan kepemimpinan revolusi kepadanya. Pernyataan Soekarno ini jelas bukan sebuah basa-basi atau guyonan semata, apalagi jika mengingat pernyataan tersebut dinyatakan dengan berulang-ulang.

Tan Malaka kemudian menceritakan hal ini kepada kepada Subardjo yang kemudian berinisiatif untuk melegalkan janji Soekarno tersebut dalam bentuk tertulis. Inisiatif ini berbuah menjadi kenyataan, tepat pada 1 Oktober 1945, statement politik itupun resmi diluncurkan.

Tan Malaka mengambil inisiatif untuk mengadakan wadah (organisasi) guna mengorganisir perjuangan-perjuangan itu dengan tepat, organisasi ini kemudian dikenal dengan nama Persatuan Perjuangan.

Pada 17 Maret 1945, Sjahrir melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Agar perundingan dengan Belanda berjalan lancar, Persatuan Perjuangan harus bungkam. Oleh karena itu, tokoh-tokoh penting di dalamnya yang tidak mau tunduk oleh kebijakan Sjahrir ditangkap dan dimasukkan ke penjara. Tan Malaka pun kemudian ditangkap dan resmi menjadi tahanan politik pemerintah.

Dua tahun kemudian Tan Malaka dibebaskan dari statusnya sebagai tahanan politik karena kesalahannya tidak dapat dibuktikan. Setelah dua bulan menghirup udara bebas, beliau mendirikan Partai Murba, tepatnya pada 7 November 1948.

Di bulan yang sama, Tan Malaka juga mengingatkan pemerintah akan kemungkinan terjadinya serangan umum yang akan dilakukan Belanda akibat diplomasi yang tak kunjung menghasilkan keputusan yang memuaskan diantara kedua belah pihak. 

Serangan umum yang dilakukan oleh Belanda semakin menguatkan keyakinannya bahwa jalan perundingan dan mempercayai pihak penjajah adalah usaha yang sia-sia. Pperjuangan mesti dilakukan dengan angkat senjata.

Pada 21 Desember, melalui siaran radio Tan Malaka menyampaikan seruannya kepada rakyat yang kemudian mengakibatkan timbulnya rasa tidak senang dari pihak militer maupun pihak pemerintah (yang lebih memilih cara bernegosiasi kepada sekutu) kepada Tan Malaka.

Tan Malaka berakhir di kaki Gunung Wilis Kediri dengan dieksekusi mati atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Devisi IV Jawa Timur pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung.

Saat itu, Tan Malaka sedang gencar-gencarnya melawan Agresi Belanda dengan Jenderal Soedirman yang berada di Yogyakarta. Keduanya menolak kebijakan diplomasi dari pemerintahan Soekarno-Hatta karena menurut Tan Malaka untuk mencapai merdeka 100 persen bukan dengan jalan diplomasi. Tan Malaka tewas ditangan bangsa yang selama ini ia bela dengan segenap jiwa dan raganya.

(mdk/edl)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
4 April: Hari Lahir Persandian Nasional, Berikut Sejarah dan Tujuannya
4 April: Hari Lahir Persandian Nasional, Berikut Sejarah dan Tujuannya

Hari Persandian Nasional adalah peringatan yang diadakan setiap tanggal 4 April di Indonesia.

Baca Selengkapnya
Terbunuhnya Mahatma Gandhi 30 Januari 1948, Berikut Sejarahnya
Terbunuhnya Mahatma Gandhi 30 Januari 1948, Berikut Sejarahnya

Mahatma Gandhi, lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, India, dikenal sebagai pemimpin revolusioner dan arsitek gerakan kemerdekaan India.

Baca Selengkapnya
Sejarah Pertempuran Lima Hari Lima Malam, Perang Tiada Henti Pasukan TRI Melawan NICA di Kota Palembang
Sejarah Pertempuran Lima Hari Lima Malam, Perang Tiada Henti Pasukan TRI Melawan NICA di Kota Palembang

Perjuangan dan semangat yang dimiliki pasukan tentara Indonesia melawan Belanda demi mempertahankan kemerdekaan begitu besar dalam peristiwa ini.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Momen Lawas Upacara 17 Agustus Tahun 1969 di Istana, Banyak Nyonya Bule Berpakaian Tanpa Lengan
Momen Lawas Upacara 17 Agustus Tahun 1969 di Istana, Banyak Nyonya Bule Berpakaian Tanpa Lengan

Presiden Soeharto memimpin langsung Upacara HUT Kemerdekaan RI ke-24 di Istana Merdeka, Jakarta pada 17 Agustus 1969.

Baca Selengkapnya
Pemenang Pemilu Tahun 1955, Berikut Sejarahnya
Pemenang Pemilu Tahun 1955, Berikut Sejarahnya

Pemilu 1955 di Indonesia merupakan salah satu tonggak sejarah penting dalam proses demokratisasi dan konsolidasi negara setelah merdeka pada tahun 1945.

Baca Selengkapnya
Hari Istiqlal 22 Februari: Memaknai Sejarah dan Nilai Persatuan
Hari Istiqlal 22 Februari: Memaknai Sejarah dan Nilai Persatuan

Setiap tanggal 22 Februari 2024, Indonesia memperingati Hari Istiqlal.

Baca Selengkapnya
70 Pantun Lucu Bahasa Jawa yang Kocak dan Bikin Ngakak, Punya Makna yang Dalam
70 Pantun Lucu Bahasa Jawa yang Kocak dan Bikin Ngakak, Punya Makna yang Dalam

Merdeka.com merangkum informasi tentang 70 pantun lucu bahasa Jawa yang kocak dan bikin ngakak, serta punya makna yang mendalam.

Baca Selengkapnya
60 Pantun Jawa Lucu yang Kocak, Cocok untuk Hiburan Sehari-hari
60 Pantun Jawa Lucu yang Kocak, Cocok untuk Hiburan Sehari-hari

Merdeka.com merangkum informasi tentang 60 pantun Jawa lucu yang kocak dan bikin ngakak. Pantun-pantun ini cocok untuk hiburan sehari-hari.

Baca Selengkapnya
Ada di Mana Soeharto Saat  Momen Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945?
Ada di Mana Soeharto Saat Momen Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945?

Ini kesaksian Soeharto saat revolusi terjadi. Apa yang sedang dikerjakannya?

Baca Selengkapnya