Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Sejarah Panjang Perbudakan di Batavia

Sejarah Panjang Perbudakan di Batavia Pedagang budak Belanda bersama istrinya dan dua budak yang dikawal tiga penjaganya. ©2021 www.nemokennislink.nl

Merdeka.com - Bagaimana sistem perbudakan menjadi trend di kalangan para bangsawan, pebisnis dan kolonialis di masa lalu.

Penulis: Hendi Jo

SUDAH hampir dua tahun ini, Jalan Sultan Agung terlihat agak longgar. Kendaraan bermotor yang biasanya memenuhi ruas jalannya, berjumlah tidak begitu banyak. Padahal sebelum pandemi melanda, jalur yang memanjang di depan Pasar Rumput itu dikenal sebagai salah satu titik kemacetan Jakarta. Itu terjadi karena deretan para pedagang kaki lima yang tidak mengindahkan aturan dan angkutan umum yang berhenti sembarangan, sehingga arus lalu lintas sering tersumbat.

"Terutama kalau di waktu pagi dan sore, wah macetnya enggak ketulungan dah," ujar Zaini, salah satu warga Jakarta yang tinggal di kawasan Manggarai.

Di era Hindia Belanda berkuasa, Jalan Sultan Agung masih bernama Jan Pieterzoon Coenstraat (Jalan Jan Pieterzoon Coen). Itu nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda terkemuka yang dalam sejarah, orang Betawi menjulukinya sebagai 'Tuan Mur Jangkung'. Menurut almarhum Alwi Shahab, nama Jan Pieterzoon Coen dihapus saat militer Jepang berkuasa di Indonesia pada 1943.

"Sebagai gantinya Jalan Jan Pieterzoon Coenstraat diganti menjadi Jalan Sultan Agung, yang tak lain adalah musuh politik Jan Pieter dari Kesultanan Mataram Islam," ujar penulis sejarah Jakarta itu.

Namun tak banyak orang tahu jika pada tahun 1800-an, wilayah tersebut pernah dijadikan sentra penjualan budak di Batavia, terutama para budak yang berasal dari Manggarai di Nusa Tenggara Timur. Bisa jadi itulah yang menyebabkan kawasan tersebut kemudian dinamakan sebagai Kampung Manggarai.

"Belakangan setelah perbudakan dilarang, Manggarai dijadikan tempat penjualan pakan untuk kuda. Maka muncullah nama Pasar Rumput," ungkap Abah Alwi (panggilan akrab Alwi Shahab).

Sejarah bisnis perbudakan di Batavia diawali saat Coen berhasil menaklukkan Jayakarta pada 1619. Ketika pasukannya memasuki Jayakarta (kemudian diberi nama Batavia), kota tersebut ada dalam kondisi nyaris tanpa penduduk. Itu disebabkan orang-orang Jawa dan Sunda yang tadinya menetap di Jayakarta, karena takut dibunuh, kabur ke selatan Jakarta. Terutama ke Jatinegara dan Bogor.

"Sedangkan untuk membangun Batavia pasca penaklukan, orang-orang Belanda itu memerlukan tenaga kerja," tulis Alwi Shahab dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi.

Sebagai solusi, orang-orang Belanda lantas mendatangkan para tawanan perang dari berbagai tempat seperti Manggarai, Bali, Bugis, Arakan, Makassar, Bima, Benggala, Malabar dan Kepulauan Koromandel (India). Mereka dipekerjakan dalam berbagai proyek pembuatan benteng, loji, jalan dan rumah-rumah para pejabat kompeni.

Seiring perkembangan Batavia yang begitu pesat, bisnis perbudakan di Batavia semakin marak. Selain untuk memenuhi tenaga kerja, budak-budak perempuan pun kemudian didatangkan guna mengurus rumah tangga dan bahkan memenuhi nafsu biologis kaum laki-laki penghuni Batavia.

"Lelaki di Batavia (Belanda, Tinghoa, Melayu dan Arab) 'membutuhkan' budak untuk kawin, sebab wanita Belanda, Tionghoa dan Arab asli hampir tidak ada,” tulis Adolof Heuken SJ dalam Historical Sites of Jakarta.

Mula-mula harga budak ditentukan oleh usia dan tenaga saja. Tetapi pada abad ke-18, harga jual seorang perempuan muda meroket tinggi, jauh dua sampai tiga kali lipat harga seorang budak lelaki.Dalam penilaian Heuken, itu terjadi karena pada saat itu permintaan akan budak perempuan (terutama dari kalangan pebisnis Tionghoa) sangat tinggi sekali.

Macam-macam selera pembeli para budak itu. Jika orang-orang Tionghoa tidak pilih-pilih etnis dan suku, maka orang-orang Eropa lebih memilih budak-budak perempuan dari Nias dan Bali sebagai favorit. Seorang gadis Nias yang cantik dan sehat dihargai sekira seribu dollar, demikian menurut J.Barrow, anggota misi diplomatik Inggris untuk Tiongkok yang sempat mampir di Batavia pada 1792.

Di era kekuasaan Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra (1761-1775), setiap tahun didatangkan kurang lebih 4000 budak dari pelosok Nusantara. Itu menjadikan pembelian budak pun marak dan kepemilikan akan budak menjadi gengsi tersendiri di kalangan orang-orang Belanda.

"Orang kaya seperti van Riemsdijk (1782), di rumahnya yang ada di Batavia saja, memiliki 200 budak yang jika ditotalkan seluruhnya maka akan seharga dengan uang 33.000 rijksdaalder," ungkap Heuken.

Lakunya para budak di kalangan orang-orang kaya Batavia tidak berbanding lurus dengan nasib mereka. Alih-alih diperlakukan baik, mereka justru sering menjadi obyek penyiksaan kejam dan pemerkosaan.

Menurut Heuken, sampai tahun 1814, Batavia memiliki 14.239 manusia berstatus sebagai budak. Itu berlangsung terus menerus, hingga bahkan ketika secara resmi sistem perbudakan dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1860. Orang-orang Belanda masih hobi menangkapi sekaligus menjual secara diam-diam orang-orang di pedalaman Nusantara. Hal yang sama juga dilakukan oleh orang Arab dari Ende, orang Tidore dan orang Bali Praktik perbudakan di Nusantara mulai jarang terdengar dan mulai habis ketika zaman memasuki abad ke-20.

(mdk/noe)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Sejarah Padang Mangateh, Peternakan Tertua dan Terbesar di Sumatra Barat Warisan Kolonial

Sejarah Padang Mangateh, Peternakan Tertua dan Terbesar di Sumatra Barat Warisan Kolonial

Sebuah daerah khusus peternakan ini dikenal mirip seperti padang rumput yang berada di Selandia Baru dan didirikan langsung oleh Pemerintah Hinda Belanda.

Baca Selengkapnya
Mengenal Sistem Pemilu di Indonesia, Lengkap Beserta Asas dan Tujuannya

Mengenal Sistem Pemilu di Indonesia, Lengkap Beserta Asas dan Tujuannya

Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses demokratis yang dilakukan secara periodik di suatu negara untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin tertentu.

Baca Selengkapnya
Sejarah Kurug, Pakaian Jawa Kuno yang Sudah Ada di Abad ke-10

Sejarah Kurug, Pakaian Jawa Kuno yang Sudah Ada di Abad ke-10

Dulu, busana ini memiliki makna yang digunakan hanya pada acara-acara formal. Namun, zaman telah berubah, kini telah melebur menjadi pakaian sahari-hari.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Diusulkan Jadi Cagar Budaya, Ini Fakta Menarik Eks Stasiun Banjarnegara

Diusulkan Jadi Cagar Budaya, Ini Fakta Menarik Eks Stasiun Banjarnegara

Stasiun Banjarnegara punya peran strategis dan nilai sejarah yang tinggi

Baca Selengkapnya
Tabrakan dengan KA Lokal Bandung, Begini Sejarah Kereta Turangga Namanya dari Hewan Tunggangan Bangsawan

Tabrakan dengan KA Lokal Bandung, Begini Sejarah Kereta Turangga Namanya dari Hewan Tunggangan Bangsawan

Kereta api Turangga adalah salah satu kereta api yang memiliki sejarah panjang, nama kereta ini diambil dari kendaraan mitologi tunggangan para bangsawan Jawa.

Baca Selengkapnya
Sejarah Candi Prambanan yang Eksotis, Sarat Nilai Budaya Hindu

Sejarah Candi Prambanan yang Eksotis, Sarat Nilai Budaya Hindu

Candi Prambanan adalah peninggalan agung dari masa kejayaan Kerajaan Mataram Kuno yang masih eksis hingga sekarang.

Baca Selengkapnya
Sejarah Indonesische Persbureau, Kantor Berita Indonesia Pertama yang Didirikan Bumiputera

Sejarah Indonesische Persbureau, Kantor Berita Indonesia Pertama yang Didirikan Bumiputera

Selain penyalur informasi terkini, kantor ini juga menjadi sarana penghubung antara pers Belanda dan pers yang ada di Hindia Belanda.

Baca Selengkapnya
Sejarah Pelabuhan Muara, Pintu Gerbang Perdagangan Masa Lampau di Kota Padang

Sejarah Pelabuhan Muara, Pintu Gerbang Perdagangan Masa Lampau di Kota Padang

Pelabuhan menjadi tempat paling penting dalam distribusi komoditas dan berlangsungnya proses jual beli pada tempo dulu.

Baca Selengkapnya
Sejarah Pesanggrahan Menumbing, Saksi Bisu Pengasingan Tokoh Nasional dan Perjanjian Roem-Royen

Sejarah Pesanggrahan Menumbing, Saksi Bisu Pengasingan Tokoh Nasional dan Perjanjian Roem-Royen

Bangunan yang didirikan kolonial Belanda ini pernah menjadi tempat pengasingan Soekarno dan tokoh nasional lainnya.

Baca Selengkapnya