Misi Rahasia TNI Serang Markas Pasukan Elite Belanda & Coba Habisi Westerling

Selasa, 16 Mei 2023 07:26 Reporter : Tim Merdeka
Misi Rahasia TNI Serang Markas Pasukan Elite Belanda & Coba Habisi Westerling Kapten Westerling. ©2023 Merdeka.com

Merdeka.com - Dianggap orang yang harus bertanggungjawab atas aksi-aksi bengis yang dilakukan pasukannya, komandan unit elit tentara KNIL itu diburu Batalyon Djaja Pangrerot.

Oleh: Hendi Jo

Suatu hari di tahun 1948. Para perempuan desa Gunung Halu (sekarang masuk dalam wilayah Bandung Barat) diperkosa prajurit KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda).

Para orang tua dan anak-anak dipisahkan di tempat tersendiri. Dalam todongan senjata serdadu-serdadu berbaret hijau itu, mereka hanya bisa terdiam dalam rasa takut.

Sementara itu, belasan meter dari sana, satu regu pasukan TNI dari Batalyon Djaja Pangrerot hanya bisa menyaksikan pemandangan tersebut dari ketinggian sebuah bukit. Pasukan pimpinan Mayor Soegih Arto memang tak bisa berbuat banyak.

Selain kurang unggul dari segi persenjataan dan personel, sang mayor pun mengkhawatirkan keselamatan para orang tua dan anak-anak kecil yang berada dalam penyanderaan anak buah Kapten RPP Westerling tersebut.

"Rasanya masih terdengar jelas jeritan dari para perempuan yang diperkosa itu," ujar Soegih Arto dalam biografinya, Saya Menulis Anda Membaca, Pengalaman Letjen (Purn) Soegih Arto.

2 dari 4 halaman

Aksi Balas Dendam

Tidak terima dengan perlakuan sadis anak buah Westerling, pasukan Djaja Pangrerot tergerak untuk melakukan aksi balas dendam. Beberapa hari usai kejadian tragis itu, mereka memutuskan untuk menyerang markas besar KST di Asrama Batujajar (sekarang menjadi Pusat Pendidikan Latihan Kopassus TNI AD).

"Kami ingin membalas rasa sakit hati karena tak bisa berbuat apa-apa waktu di Gunung Halu," ungkap Moehidin, kelahiran 1920, eks anggota Batalyon Djaja Pangrerot.

Masih segar dalam ingatan Moehidin, mereka bergerak pada suatu malam pada Juli 1948. Bersama kawan-kawannya yang dipimpin oleh Letnan Satu Udaka, Moehidin menyergap secara tiba-tiba pasukan lawan. Kontan, mereka yang tengah beristirahat di markas itu menjadi panik dan kacau.

Tapi namanya pasukan khusus, para prajurit KST itu cepat berkoordinasi kembali dan berhasil menahan laju serangan anak-anak Djaja Pangrerot hingga mundur. Kendati demikian, pasukan Letnan Satu Udaka sempat memasuki lingkungan markas dan membunuh beberapa anggota KST sekaligus merampas senjatanya.

Bahkan salah seorang gerilyawan Djaja Pangrerot berhasil membuat aksi corat-coret di tembok markas KST.

"Inilah gajah Soegih Arto!" Demikian salah satu bunyi tulisan tersebut, mengacu kepada lambang Batalyon Djaja Pangrerot yakni kepala gajah.

3 dari 4 halaman

Upaya Membunuh Westerling

Sepulang dari penyerangan ke Batujajar, Mayor Soegih Arto lantas merancang operasi pembunuhan terhadap Kapten Westerling. Maka disebarlah para telik sandi di sekitar markas KST. 

Salah satu dari mereka mendapatkan informasi bahwa Westerling akan melewati suatu jalan di Gunung Halu. Rencana pengadangan segera disusun.

Begitu tiba waktu-nya, anak buah Soegih sudah bersiap di suatu bukit kecil. Dari kejauhan nampak sebuah jip militer berjalan dalam kecepatan tinggi. Saat lewat di titik penghadangan, tembakan gencar pun dilepaskan. 

Terjadilah pertempuran cukup seru. Namun begitu musuh bisa dilumpuhkan, Soegih harus menemukan kenyataan tidak ada Westerling di antara para penumpang jip yang telah tewas itu.

"Kelompok kecil itu hanya dipimpin seorang sersan mayor saja," ujar Moehidin.

4 dari 4 halaman

Tak Mau Dijebak Seperti Diponegoro

Tewasnya tiga prajurit KST itu membuat Westerling berang. Dia kemudian balik memburu Mayor Soegih Arto dan membuat undian berhadiah bagi siapa saja yang bisa memberikan kepala komandan Batalyon Djaja Pangrerot tersebut.

Namun Soegih Arto cukup licin. Beberapa kali disatroni, dia selalu berhasil luput. Sampai suatu hari Westerling memutuskan untuk menggunakan jalan lunak: dia mengundang Soegih Arto untuk berunding secara damai di Asrama Batujajar.

Undangan itu ditolak mentah-mentah Soegih Arto. Bukan karena dia anti perdamaian, namun dia memiliki alasan unik. Khawatir diperlakukan seperti Pangeran Diponegoro saat berunding dengan komandan pasukan Belanda di Magelang.

Di akhir perang, Westerling sendiri bisa meloloskan diri ke negeri Belanda. Dia meninggal tahun 1987 dalam usia tua.

[ian]
Komentar Pembaca

Ingatlah untuk menjaga komentar tetap hormat dan mengikuti pedoman komunitas kami

Be Smart, Read More

Indeks Berita Hari Ini

Opini