Parah! 3 PNS Disdik Garut Gelapkan Uang Koperasi Rp1 Miliar Lebih dengan Jaminan Dana BOS
Kejahatan itu mereka lakukan dalam rentan tahun 2018-2019.
Kejahatan itu mereka lakukan dalam rentan tahun 2018-2019.
Tiga Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Garut diduga menggelapkan uang koperasi lebih dari Rp1 miliar.
Saat ini ketiganya sedang menjalani penahanan dan persidangan di Pengadilan Negeri Garut.
Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Garut, Jaya P Sitompul mengatakan, ketiga PNS berstatus terdakwa yakni Komalawati, Dadan Hamdani, dan Yayah Rokayah.
"Mereka ini sebelumnya menjabat sebagai Kepala Sekolah, Bendahara, dan Staf di Koordinator Wilayah (Korwil) Pendidikan," kata Kasie Intel Kejari, Kamis (14/12).
Ketiganya melakukan pemufakatan jahat menggelapkan uang koperasi simpan pinjam di Kabupaten Bandung sejak 2018 hingga 2019.
Kasus itu bermula saat Dadan Hamdani selaku kepala sekolah curhat kepada bendaharanya Yayah Rokayah sedang kesulitan keuangan.
"Mendengar hal tersebut, terdakwa Yayah memberikan informasi bahwa ada koperasi simpan pinjam yang berdiri sejak tahun 2012 di Kabupaten Bandung dapat meminjamkan uang dengan mengatasnamakan sekolah dengan jaminan pembayaran dari Dana BOS (bantuan operasional sekolah). Mendengar hal tersebut terdakwa Dadan tertarik untuk meminjam uang ke Koperasi tersebut,” jelas Jaya.
Kemudian, terdakwa Yayah menyarankan agar Dadan membuat buku tabungan baru dengan berpura-pura hilang ke bank.
Hal tersebut bertujuan meski buku tersebut dijaminkan, tetap bisa cari ke sekolah dan pinjaman tetap bisa dilakukan dengan mengagunkan satu buku tabungan lainnya.
Dalam pertemuan, disampaikan pengajuan Rp100 juta. Namun setelah dipotong administrasi dan lainnya menjadi Rp94.448.000.
Dalam prosesnya, pihak koperasi menyebut bahwa persyaratan pinjam harus menyertakan persetujuan dari bendahara Korwil Pendidikan.
Di sinilah peran Komalawati yang merupakan Bendahara Korwil Pendidikan tempat Dadan dan Yayah bertugas.
@merdeka.com
Karena melihat begitu mudahnya melakukan pinjaman ke koperasi itu, ketiganya melakukan permufakatan jahat untuk mengajukan pinjaman fiktif atas nama sekolah yang ada di sana.
Yayah dan Dadan bertugas memilih nama sekolah yang seolah-olah mengajukan pinjaman, sedangkan Komalawati bertugas melengkapi data pengajuan pinjaman karena posisinya sebagai bendahara memiliki dokumen lengkap.
"Terdakwa Komalawati selaku Bendahara Korwil Pendidikan memiliki data yang lengkap atas dokumen-dokumen tersebut karena para Guru se-kecamatan diwajibkan setiap tahun untuk mengirimkan data-data diri dari para guru. Hal tersebut memudahkan terdakwa Komalawati untuk mengumpulkan persyaratan yang diminta oleh koperasi," sebutnya.
Setelah data terkumpul, data diserahkan kepada terdakwa Yayah untuk kemudian memalsukan dokumen tersebut dibantu Dadan dan Komalawati dan melibatkan beberapa figuran fiktif.
Setelah lengkap, data-data itu diserahkan ke koperasi. Namun saat akan disurvey, dihalang-halangi dengan alasan jauh.
Sejak September 2018 hingga Januari 2019, ketiga berhasil melakukan pinjaman fiktif menggunakan data 14 sekolah. Jumlah uang yang dipinjam pun bervariatif, yang terkecil Rp35 juta dan terbesar Rp100 juta.
“Setelah uang diterima oleh kepala sekolah dan bendahara gadungan, langsung diberikan kepada terdakwa Yayah. Terdakwa mendapatkan bagian masing-masing yang bervariatif dalam berbagai kesempatan, sedangkan para figuran fiktif yang seolah-olah menjadi Kepala sekolah atau bendahara mendapat imbalan berkisar antara Rp500ribu sampai dengan Rp1 juta," katanya.
Aksi ketiganya akhirnya terendus oleh pihak koperasi setelah muncul kecurigaan ketika kepala dan bendahara sekolah gadungan diminta KTP asli saat pencairan. Semuanya beralasan ketinggalan.
"Karena kecurigaan itu, pihak koperasi datang langsung ke sekolah namun ternyata diketahui mereka tidak pernah sekalipun mengajukan pinjaman sehingga dipastikan pinjaman yang selama ini dilakukan adalah fiktif," ucapnya.
Atas perbuatan ketiga terdakwa, menurut Jaya, pihak koperasi merugi Rp1,5 miliar. Dari jumlah tersebut sekitar Rp 333.500.000 telah dikembalikan sehingga kerugian yang sesungguhnya mencapai Rp 1.166.500.000.
"Ketiganya kami dakwa sebagaimana diatur dan diancam Pasal 372 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP juncto asal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Mereka saat ini baru menjalani dua kali persidangan, dan statusnya ditahan,” katanya.
Informasi yang dihimpun, status PNS para terdakwa diketahui masih aktif. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut Ade Manadin belum memberikan keterangan resmi, begitu pun Kepala Bidang Sekolah Dasar Suryana.
Merdeka.com sudah mencoba menghubungi nomor telepon genggam keduanya. Namun nomor Ade Manadin tidak bisa dihubungi, sedangkan Suryana tidak mengangkat dan tidak merespon saat dikirimi pesan.
Besaran THR yakni penghasilan gaji 100 persen dari penghasilan satu bulan yang diterima pada bulan Maret
Baca SelengkapnyaKenaikan gaji sebesar 8 persen tidak langsung diterima oleh PNS, TNI-Polri di awal tahun.
Baca SelengkapnyaRealisasi belanja terbagi menjadi dua alokasi, pertama untuk pembayaran gaji dan tunjangan PNS sebesar Rp10,3 triliun lebih tinggi dibandingkan tahun 2022.
Baca SelengkapnyaMembandingkan PP yang pernah terbit di bulan Maret, Anas bilang kenaikan gaji pada saat itu tetap dicairkan di bulan Januari.
Baca Selengkapnya"Karena itu sudah masuk ke bukan lagi pelanggaran ASN ya gitu ya. Nanti bisa bagian hukum," kata MenPAN Anas.
Baca SelengkapnyaTHR yang dicairkan Kemenkeu untuk PNS, anggota TNI/Polri, hingga pensiunan.
Baca SelengkapnyaIa menjelaskan bahwa pengungkapan perkara itu berawal dari penemuan seorang lelaki dalam kondisi terikat lakban pada Sabtu.
Baca SelengkapnyaIngat, PNS Tak Netral saat Pemilu 2024 Bisa Kena Sanksi Pidana
Baca SelengkapnyaSecara keseluruhan jumlah satuan kerja (satker) yang sudah dibayar sebanyak 13.205 99,96 persen dari 13.210 satker.
Baca Selengkapnya