Mengulik Kisah Gunung Kendeng di Sragen, Menjadi Tempat Peristirahatan Terakhir Sang "Dewa Judi"
Pada zaman penjajahan, bukit itu juga menjadi markas prajurit Belanda
Pada zaman penjajahan, bukit itu juga menjadi markas prajurit Belanda
Alkisah di sebuah bukit yang berada di sisi utara Sungai Bengawan Solo, hidup seorang tokoh bernama Morojoyo. Pada masa hidupnya ia dikenal dengan julukan “Dewa Judi”.
Kehebatan Morojoyo dalam hal berjudi tak diragukan lagi. Ia mendapat julukan itu karena selalu menang judi.
Sayangnya ia dibunuh musuhnya di daerah perbukitan itu setelah menang judi untuk kesekian kalinya di daerah Gesi. Para musuhnya dendam kepada Morojoyo karena selalu dikalahkan saat berjudi.
Kawasan bukit tempat tinggal Morojoyo dikenal masyarakat setempat dengan nama Gunung Kendeng. Letaknya berada di sebelah utara pusat Kota Sragen.
Di puncak bukit itu, terdapat sebuah tugu berbentuk segi empat dengan masing-masing sisinya berukuran 60 cm dan tinggi 2 meter. Pegiat kebudayaan Gesi, Jarwanto, mengatakan bahwa nama Kendeng di wilayah itu diyakini sebagai asal mula nama Pegunungan Kendeng yang terhampar di bagian utara Jawa Tengah-Jawa Timur.
“Konon dari cerita turun-temurun, kata Kendeng berasal dari adanya kabut yang berada di puncak bukit. Orang Jawa menyebut kabut itu seperti asap yang tebal. Dari sebutan itu kemudian muncul nama Kendeng,” kata Jarwanto.
Tugu yang berada di puncak bukit itu konon dibangun pada masa kolonial Belanda. Tugu itu menjadi tanda sekaligus pos pengintaian dan komunikasi pada zamannya.
“Dulu di atas tugu itu tertulis 350 meter di atas permukaan laut. Artinya puncak bukit itu berada pada ketinggian 350 meter di atas permukaan laut. Tapi sayang kini tulisan itu sudah hilang, mungkin dirusak oleh tangan jahil. Dari atas sana hampir seluruh wilayah Sragen terlihat,” lanjut Jarwanto dikutip dari Liputan6.com.
Jarwanto mengatakan, dulu di lereng selatan bukit itu, terdapat sebuah pos jaga personel Belanda. Tak jauh dari tempat itu terdapat sebuah lembah yang disebut Nglencong dan di ujung lembahnya disebut Mbekungkung.
Menurut Jarwanto, dulu lembah Mbekungkung menjadi tempat berburu raja Pakubuwono VIII. Nama “Mbekungkung” sendiri berasal dari sebuah alat menjebak macan atau harimau.
“Macan hasil tangkapan tidak dibunuh, tetapi digunakan untuk melatih prajurit pilihan. Yakni sebagai uji kelulusan melawan harimau dengan tangan kosong,” kata Jarwanto.
Saat masa penjajahan Belanda, lokasi kampung itu digunakan sebagai tempat para tentara Belanda melakukan kekerasan terhadap warga pribumi.
Baca SelengkapnyaPertempuran Tengaran terjadi pada masa Agresi Militer II, tepatnya sekitar tanggal 25 Mei 1947
Baca SelengkapnyaBelasan pendaki tersebut merupakan jemaah Majelis Buni Kasih.
Baca SelengkapnyaAda spesies kantong semar yang membuat dua orang asal Jerman rela ke Gunung Sibuatan hanya untuk melakukan penelitian terhadap tumbuhan tersebut.
Baca SelengkapnyaKyai Makmur ditembak Belanda karena tidak mau diajak bekerja sama.
Baca SelengkapnyaKonon kerajinan sangkar burung di sana sudah ada sejak zaman Penjajahan Jepang. Namun kini eksistensinya makin redup.
Baca SelengkapnyaAnak-Anak Gaza Main Perosotan di Kawah Bekas Bom Israel
Baca SelengkapnyaDi puncak gunung ini, ratusan anggota Brimob melalui berbagai tempaan dan upacara untuk mendapatkan baret biru.
Baca SelengkapnyaBanyak jejak tokoh perempuan ini yang masih dapat dijumpai hingga kini.
Baca SelengkapnyaSyawalan itu digelar di puncak bukit. Puluhan ribu warga hadir dalam acara itu
Baca Selengkapnya