Mengenal Syawalan Gunung, Cara Masyarakat Magelang Gali Cerita Sejarah Leluhur
Syawalan itu digelar di puncak bukit. Puluhan ribu warga hadir dalam acara itu
Syawalan itu digelar di puncak bukit. Puluhan ribu warga hadir dalam acara itu
Bulan Syawal merupakan momen saling bersilaturahmi dan saling memaafkan atas kesalahan yang pernah diperbuat masing-masing individu dengan individu lainnya.
Namun ada kalanya syawalan menjadi momen untuk mengenang kembali cerita-cerita masa lalu, saat para pendahulu leluhur masih hidup dan berjuang demi nasib generasi setelahnya yang lebih baik.
Ada sebuah tradisi syawalan unik di Dusun Brigasan, Desa Pasangsari, Kecamatan Windusari, Magelang. Tradisi itu bernama Syawalan Gunung.
Kegiatan ini rutin digelar sejak tahun 2003.
Dalam pelaksanaan acara tersebut, warga dari enam dusun saling bergotong royong, yakni Dusun Wonolelo, Dimik, Karang Slamet Lor dan Kidul, Congkrang, dan Brigasan.
Kegiatan itu berlangsung selama dua hari. Pada tahun 2019, acara itu dihadiri sekitar 60 ribu pengunjung. Mereka tak hanya berasal dari desa setempat, namun ada juga yang berasal dari luar daerah.
Dalam acara itu, warga berkumpul di sebuah area makam yang berada di puncak Gunung Giyanti, di sana mereka tak hanya berziarah. Namun juga diberi wawasan sejarah mengenai makam tersebut.
“Sejarahnya itu dulu warga di sekitar sini mayoritas sumber ekonominya berasal dari hasil bumi atau bertani. Namun banyak babi hutan yang merusak ladang warga. Lalu warga menggunakan anjing untuk melindungi warga dan mengusir babi hutan,” kata Panitia Syawalan Gunung tahun 2019, Edi Masruri, dikutip dari Magelangkab.go.id.
Edi melanjutkan, karena peristiwa itu, salah seorang tokoh agama di desa tersebut, Mbah Misbahul Munir, meminta petunjuk kepada Allah SWT dengan melakukan mujahadahan dan salat malam.
Kemudian pada suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpinya, Mbah Munir didatangi oleh almarhum kakeknya dan diberi pesan untuk merawat makam leluhur yang berada di atas puncak.
Konon, jenazah yang dimakamkan tersebut termasuk tokoh keluarga Keraton yang tersingkirkan oleh Belanda dan seperjuangan dengan Pangeran Diponegoro di antaranya Kyai Bahaudin, Raden Mano, dan Kyai Kudi.
Setelah makam dirawat, dibersihkan, dan sering didatangi peziarah, maka hewan babi hutan yang meresahkan itu pergi dengan sendirinya. Akhirnya ladang warga aman dari ancaman babi hutan dan hewan liar lainnya.
Lokasi makam sendiri berada di puncak Gunung Giyanti yang menyuguhkan pemandangan alam yang indah. Hal ini membuat selain sebagai tempat ziarah, lokasinya juga bisa menjadi tempat wisata alam.
Makam itu berada di lahan milik perhutani yang ditanami berbagai tanaman produktif seperti kopi, kayu andra, dan tanaman lainnya. Untuk daerah makamnya luasnya dua hektare dan pengelolaannya dilakukan masyarakat sekitar, terutama untuk kegiatan keagamaan.
Semua warga tampak semringah mengarak gunungan ketupat keliling kampung
Baca SelengkapnyaStasiun itu merupakan salah satu stasiun penting di jalur kereta api Jogja-Magelang.
Baca SelengkapnyaGunungkidul konon dulu menjadi tempat yang nyaman bagi manusia purba
Baca SelengkapnyaMenurut kepercayaan masyarakat setempat, Desa Kawar tenggelam dan kemudian berubah menjadi danau Lau Kawar.
Baca SelengkapnyaSuku asli dari kota Pagaralam, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Muara Enim ini melakukan perlawanan terlama dalam sejarah.
Baca SelengkapnyaAcara Ngarot jadi pameran hasil tani khas Sumedang
Baca SelengkapnyaAcara Damar Sewu tak bisa dipisahkan dari kearifan lokal masyarakat Kuningan yang sarat makna
Baca SelengkapnyaBukan hanya gunungnya saja yang menyimpan misteri dan legenda, namun masyarakatnya juga memiliki ritual yang begitu unik.
Baca SelengkapnyaTari Serampang XII, kesenian tradisional dari Sumatra Utara yang menggambarkan kisah asmara dengan 12 ragam gerakan berbeda.
Baca Selengkapnya